Pelabuhan Terakhir

Rusmini
Chapter #15

Bagian 14

Tidak ada yang lebih memilukan, dari pada hati yang pergi tanpa bisa memiliki. Bahkan harapan yang berlalupun tak bisa bangkit saat raga sudah tak lagi bermetamorfosis. 3 hati yang terluka sudah terlanjur patah dan tak bisa kembali seperti semula.

Ini bukan tentang cinta lagi, tepi tentang rasa kehilangan yang sudah tak bisa dibendung dengan sekedar harapan. Karena pada akhirnya, tak ada yang benar-benar bahagia di dunia ini tanpa dibarengi rasa syukur pada tuhanmu.

Fajar, lelaki yang penuh semangat itu akhirnya mengerti mengapa hatinya begitu patah tanpa sisa. Alasannya karena melihat dua sosok manusia yang menangis di lorong rumah sakit. Menangis karena pada akhirnya berpisah tanpa sempat bersatu.

Janji mereka tak bisa terwujud karena takdir yang harus mereka jalani. Haruskah Fajar melanjutkan takdir tuhan dan memilih meremukan kepingan hati dua orang yang saling mencintai itu tanpa sisa.

POV Aldwin

Aku memeluk mommy dengan pedih, anggaplah kali ini aku seorang lelaki payah yang pada akhirnya pergi pada satu sarang ternyaman selama aku hidup. Sarang itu berupa pelukan terhangat mommy. Saat sedih dan tak tahu harus kemana. Akhirnya aku memutuskan pulang ke Bandung malam-malam dan sampai dirumah tepat dini hari. Mommy yang merasakan firasat anaknya sedang tidak baik-baik saja, mendadak tak bisa tidur semalaman.

Kemudian terkaget saat melihatku berdiri didepan pintu rumah dalam keadaan kacau, tanpa bisa dibendung aku memeluk dan menumpahkan kesedihanku dalam pelukannya. Melupakan fakta bahwa hubunganku dengan mommy dan papa masih belum baik.

Aku tak peduli, sungguh saat ini aku hanya ingin melihatnya

"inilah yang mommy khawatirkan, kamu berislam karena jatuh cinta pada seorang perempuan. Dan ketika dia memilih lelaki lain hanya kecewa yang akan kamu dapatkan. Perbaiki niat lagi nak, kenali tuhanmu karena kamu jatuh cinta kepada-Nya, bukan pada gadis itu"

Aku memandang mommy dengan perasaan haru, benarkah yang mommy ucapkan barusan? Aku terlalu banyak berharap pada Rani sampai melupakan fakta bahwa Allah lah yang memiliki segala hati.

Akhirnya aku mengerti, ada yang salah dari hubungan kami

"Antum gak pacaran, tapi bilang akan menunggunya sampai selesai wisuda. Itu namanya komiteman...

Dan di dalam islam, tidak ada komiteman selain pernikahan.."

Akhirnya aku memutuskan kembali ke Depok besoknya dan nekat menemui ustadz Fajri, mentor liqoku untuk meminta nasihatnya.

"bagaimana?

Kalau antum siap, saya ada kenalan akhwat yang baru lulus juga kemarin. Dia muridnya istri saya di kampus tempatnya mengajar. Beliau mau melanjutkan S2 ke Norwegia. Cuman pengen nikah dan bareng suami disana. Biar ada mahram katanya"

Ustadz Fajri memandangku dengan penuh minat

Menikah? Secepat itukah aku melupakan Rani?

Aku hanya membalas dengan senyuman

"sulit rasanya harus menikah dengan gadis lain saat masih ada satu nama dalam hati saya tadz"

Ustadz Fajri menepuk pundaku pelan

"perbanyak istighfar Ald...

Lupakan gadis itu, dia sudah akan menjadi istri orang"

"bagaimana cara saya melupakannya tadz, rasanya saya sudah tidak sanggup lagi"

"pergilah....

Ketempat kamu bisa melupakannya, atau menikah dengan gadis lain"

Itulah percakapan terakhirku dengan ustadz Fajri sebelum aku berpamitan pulang ke apartemen. Aku butuh istirahat setelah menempuh perjalanan Depok-Bandung-Depok dalam satu hari.

Setelah sampai ke apartemen, aku terduduk dipojok ruangan sambil mengadahkan pandanganku keatas langit langit kamar dengan perasaan nanar. Rasanya baru kemarin aku jatuh cinta dan bahagia pada gadis itu. Lalu besoknya harus mendapatkan kabar bahwa dia akan menikah dengan kakak angkatnya.

Dan kakak angkatnya adalah Fajar, seseorang yang paling berjasa dalam proses hijrahku selama ini.

Aku mengetahui fakta tersebut setelah bertanya pada Mia dan Mei, karena setelah bertemu Rani di rumah sakit kemarin, aku tak sanggup lagi untuk sekedar melihat matanya atau bertanya tentang lelaki pilihan ibunya.

Pantaskah aku mengkhianati Fajar karena mencintai Rani?

Bahkan dibandingkan aku, Fajar adalah sosok yang mendekati sempurna untuk menikahi Rani. Dia bukan hanya sholeh dan tampan, tapi juga pekerja keras dan bertenggung jawab. Tidak seperti diriku yang masih bingung dan plin-plan.

Lalu perasaan minder itu kembali muncul, perasaan yang membuatku selalu merasa buruk dibandingkan orang lain. Perasaan yang sama saat dulu semua orang menertawakanku karena sering di bully dan diperlakukan dengan buruk. Merampas uang sakuku dan melempariku dengan telur dan terigu.

Perasaan yang membuatku selalu menghindari keramaian dan lebih sering mengurung diri di dalam rumah. Menekuk lututku di pojor ruangan sambil menangis, ketakutan akan menemui dunia di luar sana yang kembali hadir sekarang.

Aku takut, jika aku tak bisa merelakannya. Maka selamanya perasaan ini akan terus hadir di dalam hidupku.

Untuk sekali ini saja, aku ingin hidup dengan normal seperti beberapa bulan ini saat aku hijrah dan bertemu dengan Ilham dan Faruq.

aku....

Lihat selengkapnya