Pelabuhan Terakhir

Rusmini
Chapter #16

Bagian 15

POV RANI

Katanya, kebahagiaan jika hanya diukur dari seberapa banyak kita tersenyum dan menang, maka selamanya kita hanya akan mengeluh dan merasa tidak cukup dengan apa yang kita punya. Namun ternyata, untuk mencapai taraf bahagia yang penuh syukur itu begitu sulit. Saat kita harus mengatakan bahagia padahal terluka, saat bibir kita menerima padahal hati menolak.

Dan bahagia, butuh pengorbanan. Bahagia bukan tentang aku seorang, tapi tentang orang-orang yang bahagianya terletak pada apa yang aku punya. Dan aku bahagia, melihat mama tersenyum dengan apa yang aku lakukan.

"masya Allah Rani, kamu cantik banget"

Kulihat Mia dan Mei yang masuk kedalam kamarku, kedua sahabatku ini kompakan bolos kuliah untuk menemani detik-detik terakhirku melepas masa lajang. Padahal mereka tahu jika membolos di matkul Mr. James sama dengan menyerahkan diri untuk mengulang semester depan.

Meski aku tahu, mereka tak benar-benar bahagia mendengar kabar pernikahanku. Bagaimana tidak? Selama ini Mia dan Mei lah yang menjadi saksi kisahku dengan Aldwin. Merekalah yang selalu jadi tempat cerita saat lelaki berkemeja kotak-kotak dan berkacamata itu mengirimkan makanan atau barang yang ditempel menggunakan sticky note bertuliskan kalimat singkat dan sederhana, namun ternyata mampu membuatku bahagia sepanjang hari.

"semoga ini pilihan terbaik ya Ran..

Lupakan sepupu bodohku yang berengsek itu, aku yakin a Fajar bisa menjadi suami yang baik untukmu"

Kami bertiga saling berpelukan, air mataku sudah berlomba-lomba berjatuhan jika saja Mia tak mengingatkanku untuk tetap tegar dan stay cool agat tak merusak make up yang kupakai.

Mia pergi keluar untuk mencari mama, namun tak beberapa lama kemudian dia muncul sambil setengah berteriak histeris.

"tebak ada tamu istimewa di depan, siapa orangnya?"

Aku dan Mei saling pandang, apakah Aldwin ?

"Mr. James.....

Dia ke acara nikahan kamu, artinya dia gak ke kampus dan kita gak jadi bolos"

"kok dia bisa ke sini sih Ran? Diundang atau gimana?"

"kurang tahu, kayaknya sih mama yang ngundang karena beliau dulu salah satu muridnya ayahku"

Tak beberapa lama mama muncul diantar Mala menggunakan kursi roda, dia sudah baik mau menemaniku dan mama beberapa hari ini. Memang diantara keluarga ayah hanya uwa Jojo yang care dan memiliki simpati kepada kami. Semua keluarga dari pihak ayah bersikap acuh dan terkesan membuang kami. Alasannya karena ayah menikah dengan mama yang seorang yatim piatu yang besar di panti asuhan.

Meski waktu sudah berlalu, tidak merubah fakta bahwa mereka tetap saja tidak bisa menerima kelaurga kami, selain uwa Jojo.

"neng coba telpon Fajar, atau uwa Jojo..

Ini acara sudah mau mulai kok mereka belum datang juga"

Aku mencari-cari handphoneku yang tadi tergeletak diatas Kasur, karena tertutup banyak barang dan baju sedikit sulit menemukannya. Wajar lah karena aku melangsungkan akad dan pesta di rumah jadinya kamarku berantakan karena dijadikan tempat rias pengantin.

Setelah menemukannya aku langsung menghubungi nomer a Fajar, tapi tak juga diangkat. Apakah dia sedang dalam perjalanan?

Aku menghubunginya yang ke 4 kali, tapi tak juga diangkat. Akhirnya aku menghubungi no uwa Jojo, pada deringan ke 3 suara wa Jojo terdengar.

"neng istighfar dulu..

Tolong jangan sampai mama tahu ya,......"

Aku yang mendengar nada khawatir uwa Jojo kontan langsung izin ke kamar mandi, menjauhakan diri dari mama.

"Fajar kecelakaan, tadi pagi-pagi sekali dia bawa mobil ke luar, gak bilang mau kemana, karena buru-buru uwa gak sempat tanya...

Dan tadi uwa dihubungi sama pihak kepolisian bahwa mobil Fajar ditabrak truk...

Sekarang kondisinya kritis"

Aku terduduk lemas dipojok kamar mandi, tiba-tiba saja kepalaku pening dan terasa berat.

"tolong neng jagain mama, jangan sampai mama tahu...

Uwa lagi perjalanan menuju rumah sakit"

Saat itu semua terasa gelap dan aku seperti terhempas ke dalam dasar jurang yang dalam, sedalam rasa dukaku.

Dengan terhuyung aku keluar kamar mandi dan menemukan semua orang yang terheran dan cemas melihat kondisiku. Mia dengan sigap membantuku berjalan menuju kamar.

Mama, Mala, dan juga Mei masih berada di dalam kamarku. Mereka sama kagetnya melihatku yang nampak lemas. Dengan pelan aku berbisik pada Mala agar membawa mama keluar kamar, aku tak ingin sesuatu yang lebih buruk mungkin terjadi dengannya.

"ada apa neng? "

Lihat selengkapnya