POV Aldwin
Pada akhirnya aku tetaplah orang yang sama, lelaki bodoh yang menyedihkan. bahkan kini dengan pengecutnya aku tidak mampu untuk melihat orang yang kucintai hidup bersama orang lain.
Adakah yang lebih menyedihkan dari pada ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya? Kutahu, ini bukan pilihan yang kami inginkan. Tapi mampukah aku melawan takdir Allah yang terlalu mustahil untuk kuraih?
Kawin lari? Jangan harap Rani mau melakukannya, kecintaannya pada mamanya terlalu sulit untukku gapai. Bahkan terhadap Fajar yang kuyakini sebagai salah seorang lelaki yang membuat Rani selama ini bertahan.
Ya, pada akhirnya aku bukanlah siapa-siapa tanpa Allah.
“pergilah ketempat dimana kamu bisa melupakannya, cinta terlalu konyol jika hanya merubahmu menjadi kacau…
Banyak hal yang harus kamu perbaiki, tentu saja untuk kebahagiaan dirimu sendiri”
Akhirnya aku menerima tawarannya pak Joko untuk melanjutkan S2 di Oslo, di universitas dimana beliau menyelesaikan program Thesisnya disana. Beliau yang tahu keadaanku yang semakin kacau akhirnya sedikit memaksaku agar berangkat secepat mungkin. Bahkan dihari pernikahan Fajar dan Rani.
Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggalku secara langsung, atau lebih tepatnya aku memang tidak bisa menemuinya secara langsung. Aku tidak ingin dia tahu keadaanku yang semakin menyedihkan. Biarlah aku mengubur perasaanku sedalam mungkin, sedalam perasaanku.
Bahkan saat Fajar berulang kali menghubungiku melalui wa, aku lebih memilih mengabaikannya dan mengalihkan diriku dengan jalanan kota Jakarta yang sedikit padat. Aku tahu, pada akhirnya aku bukan lelaki yang pantas bersanding dengan Rani, kualitas diriku terlalu jauh jika dibandingkan dengan Fajar. Atau memang kebiasaanku yang selalu kabur dan menghindari setiap momen yang menyudutkanku, yang mengganggapku tan pantas dan merasa buruk.
Sekali lagi aku pergi untuk melindungi diriku sendiri, aku tidak ingin selamanya hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Rasa trauma yang sejak dulu hadir takan pernah bisa mau berkompromi jika aku tak berusaha menyembuhkannya. Dan aku pikir, aku perlu waktu untuk itu.
Maka untuk terakhir kalinya aku memandang gedung-gedung pencakar langit itu sambil bergumam. Selamat tinggal Depok, selamat tinggal Indonesia, selamat tinggal cintaku…
Maharani dwi Pratiwi.
000
Aku mengeratkan tali trench coat berwarna biru gelap yang kupakai. Saat musim dingin begini, cuaca Oslo bisa sampai -20, setelah hampir seminggu aku terkena flu dan demam dan memlilih mengurung diri di dalam flat, akhirnya aku bisa menikmati kilauan salju putih sambil menenteng sepotong hot dog yang dijual di Coop Prix atau minimarket yang lumayan murah tak jauh dari tempatku tinggal.
“Hi, Aldwin… professor Haitami mencari kamu
When will you join the KBRI? Orang orang pada nanyain kamu loh, jangan lupa lusa kesana ya, katanya ada nasi liwet dan ayam bakar khusus buat mahasiswa Indonesia”
Aku melambaikan tanganku kearah Jess, saah satu teman kampusku yang saat ini tengah berteriak di dalam apartemennya yang berada di lantai tiga, kepalanya menyumbal dibalik jendela. Padahal cuaca lagi dingin begini, sempat sempatnya dia meneriakiku yang berjalan menuju gedung apartemen.
Aku memberinya kode agar kembali menutup jendela dan menyuruhnya berbicara menggunakan telpon genggam. Dia tersenyum sambil menutup jendela apartemennya.
Aku masuk ke dalam gedung dan menekan tombol 10 dimana aku bersama beberapa mahasiswa lain tinggal. Sesuai request pak Joko akhirnya aku memutuskan untuk tinggal dengan room mate lebih banyak. 5 orang mahasiswa dengan fakultas yang berbeda. Sesuai anjuran dokter pula untuk menyembuhkan traumaku. Aku harus tinggal dengan banyak orang dan menghindari kesendirian.
Lalu bagaimana keadaanku disini? Jauh lebih baik tentu saja, aku lebih memilih menyibukan kegiatanku dengan penelitian dan acara-acara social yang diadakan KBRI, hanya saja sudah beberapa minggu ini aku tak datang karena mendapat panggilan kerja di waktu yang sama disebuah perusahaan Oslo Academic Solution yang perusahaan yang bergerak di bidang higher web education marketing.
Rasanya tubuhku terlalu lelah untuk bersedih dan mengeluh. Bagaimana tidak selama sehari hanya 2 jam aku bisa istirahat untuk tidur. Belum lagi panggilan dari mommy yang selalu saja menyuruhku untuk pulang ke Bandung.
Sudah cukup waktu pengasinganku katanya, tapi aku masih saja beralasan dengan penelitian thesisku yang belum juga selesai. Atau aku memang sengaja menundanya agar lebih lama tinggal disini.
Dua tahun lalu setelah kepergianku mommy akhirnya bisa menerima keputusanku dengan lapang, disusul papa yang kuyakin tak bisa lama-lama mendiamkanku. Mommy bahkan sempat beberapa kali memarahiku karena mangkir sholat jum’at, padahal saat itu aku memang dalam keadaan sulit untuk keluar mencari masjid terdekat karena cuaca yang sangat dingin atau berbentrokan dengan ujian di kampus.
Atau aku yang malas puasa senin kamis, dan mommy memarahiku lewat video call. Katanya kalau aku beragam gak boleh setengah-setengah (pada saat itu mommy belum paham arti dari Sunnah dan wajib). Mommy mengira setiap puasa harus dilakukan mau puasa wajib atau Sunnah. Bahkan menurut berita yang kudengar dari papa, mommy lagi serius baca buku tebal yang ada dikamarku. Buku berjudul Islam masa kini karya A Tohir pemberian Fajar sewaku awal-awal aku hijrah.
BTW ngomongin Fajar bagiaman ya kabarnya kini, sudah lama semnejak aku memutuskan kontak dengan teman-teman yang ada di Indonesia. Pasti saat ini dia tengah bahagia dengan Rani, atau bahkan mereka sudah dikaruniai seorang anak yang lucu. Atau….
Anaknya sudah dua.
Aku menggelengkan kepalaku No problem, mereka berhak untuk bahagia. Dan Rani tak berhak bersuamikan diriku yang plin plan dalam segala hal. Love has the right to be happy.
Jangan seperti diriku yang masih bingung mendefinisikan bahagia itu seperti apa.
“pulang kalau kamu masih ingin melihat mommy masakin sop ayam buat kamu”
Lagi-lagi aku membaca pesan singat mommy, sebuah pesan dibarengi gambar sop yang mendidih di dalam panci, mendadak air liurku hampir jatuh membayangkan saat ini makan siangku semangkuk sop ayam ditaburi bawang goreng, plus nasi panas dan ikan bakar sambal terasi.
Tapi faktanya makan siangku hanya sepotong hot dog panas dengan secangkir kopi dicuaca ekstrem begini.
“udah jangan diliatin aja fotonya, kalau kangen ya pulang…”
Farhan, room mate ku yang saat ini tengah asik mengunyah indomie rasa rendang. Ukh baunya sampai membuatku terbatuk. Dia hanya melihat sekilas sambil berkata Sorry dengan gaya sok easy going.