Kucium bayi mungil itu dengan gemas. Curang memang, semua yang ada pada papanya di ambil olehnya. Mata, hidung, warna kulit, bahkan bentuk dan irish matanyapun sama. Sepertinya aku hanya menjadi media untuknya tumbuh dalam rahimku.
“cup cup cup Aisha haus ya, dari tadi miminya banyak banget”
“Ooaaaaa……”
“duh kok jadi nangis, kangen papa ya…..
Bentar lagi papa pulang nak, ayo kita tunggu diluar sambil lihat matahari”
Aku menggendong Aisha menuju teras rumah, kalau sore begini paling adem lihat langit biru sambil siramin tanaman bunga di depan, sambil nunggu suami pulang tentunya. Biasanya Aisha kutaro diayunan khusus bayi sambil main saat aku membersihkan pekarangan luar.
Sudah setahun ini aku berhenti mengajar dikampus, aku ingin focus merawat Aisha dimasa-masa emasnya, meskipun suamiku tak melarang sedikitpun jika aku ingin kembali mengajar sebagai dosen di kampus. Hmm, aku masih mempertimbangkannya, mungkin setelah usianya lebih besar dan sudah bisa ditinggal atau tidak rewel ketika dibawa ke kampus. Kan bisa gantian ngasuh, kalau aku ada kelas dia yang jaga. Begitupun sebaliknya.
Suara mesin mobil masuk garasi membuat Aisha kaget dan menangis, dia paling takut kalau dengar suara mesin mobil papanya pas pulang. Aku langsung mencuci tangan dan membawa Aisha dalam gendonganku sambil memeluk dan menenangkannya.