Malam setelah bertemu pria tua misterius itu, tujuh sahabat nggak bisa tidur nyenyak. Kata-kata pria tua itu terus terngiang, dan perasaan nggak enak makin menghantui mereka. Suara ombak yang biasanya terdengar menenangkan, malam itu malah seperti desis yang penuh bisikan, membawa bayangan yang tak terlihat.
Pagi-pagi, Haikal, yang biasanya paling santai, tiba-tiba memutuskan untuk cerita soal mimpi yang dialaminya malam tadi.
Haikal: “Guys, gue mimpi aneh banget semalam. Di mimpi itu, gue kayak ditarik sama ombak, terus pas gue coba keluar dari air, ada sosok besar yang menarik kaki gue. Wajahnya… kayak wajah pria tua yang kita temuin semalam.”
Dimas yang biasanya skeptis, kali ini malah ikut merasakan keanehan.
Dimas: “Kebetulan atau nggak, gue juga mimpi sesuatu yang mirip. Gue kayak dengar suara di tengah malam, suara yang memanggil nama gue, terus seolah-olah ada yang jalan di sekitar tenda kita. Gue coba bangun, tapi pas buka mata, nggak ada apa-apa di luar.”
Mendengar itu, yang lain mulai saling pandang. Semuanya punya perasaan yang sama: mimpi dan suara aneh yang entah dari mana asalnya. Mereka mulai bertanya-tanya, apa arti dari semua ini? Apakah pria tua itu meninggalkan pesan yang lebih dalam?
Jevano, yang biasanya paling logis, akhirnya mencoba mengusulkan sesuatu.
Jevano: “Mungkin kita harus balik ke tempat semalam. Kita cek jejak kaki itu lagi, cari tanda-tanda yang mungkin kita lewatkan. Kadang, hal yang gak kita sadari bisa nyimpan jawaban. Atau… paling enggak bikin kita tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Dengan sedikit rasa was-was tapi penuh rasa penasaran, mereka akhirnya setuju buat balik ke tempat itu. Mereka menyusuri pantai, kembali ke tempat bebatuan di mana mereka pertama kali ngeliat pria tua itu. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Pagi yang cerah itu terasa tenang, seolah nggak pernah ada tanda-tanda misteri.
Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba Dewa berhenti.
Dewa: “Tunggu, liat ini deh! Jejak kaki besar itu masih ada di sini, tapi… kayaknya ada yang beda.”