Sepatuku meninggalkan bekas tapak terakhir, sebelum kakiku melintasi gerbang pagar rumah. Kulepas tatapan mata ke depan. Bebas tanpa halangan. Warna putih, coklat tua, dan sedikit abu-abu menerkam bola mata. Menjajah ingatan.
Pendopo di depanku terlihat kokoh. Seperti tengah duduk bersandar pada lereng gunung jauh di belakangnya. Atap dengan hiasan seng coklat berkarat berbentuk sayap ayam runcing menjadikan pendopo seperti tergantung di langit. Sekilas, seperti penilaianku yang dulu-dulu, pendopo di depanku selalu terkesan angkuh. Congkak. Sombong. Jumawa.
“Baru sampai, Ngling?” ibuku menyapa. Terbiasa perempuan yang teramat kuhormati ini memanggilku dengan Angling. Dan, sumpah, aku begitu hafal dengan kalimat-kalimatnya yang segera meluncur. Bahkan saat mulutku belum terbuka untuk menjawabnya.
Aku menelan ludah tanpa sengaja.
“Cepat ke kamarmu. Keluarkan seluruh isi tas. Bawa ke tempat cuci. Biar Ibu yang mencuci semuanya. Tasmu juga. Mandi sekalian. Keramas. Handukmu sudah Ibu siapkan, ….”
Anggukan kecil kuperlihatkan. Dan sekali lagi aku menelan ludah.
Oh, …, entah. Mendadak ibu menyentuh daguku. Sedikit mengangkatnya. Tak lama. Sangat sebentar bahkan. Ibu pun nampak harus membatalkan ucapannya saat dari dalam kudengar omongan Bapak.
“Tidak usah salaman. Jaga jarak. Kopit, …, kopit, ….”
Aku dan ibu tersenyum mendengar itu. Di mana-mana sama. Protokoler banget. Tatapan mata ibu mengajak bicara.
“Kamu kenapa, Ngling? Wajahmu keruh, ….”
*****
Memang keruh. Air di bak mandi sama sekali jauh dari kata jernih. Agak buram. Mungkin ibu tak sempat membersihkannya. Terlalu repot dengan tugas-tugas hariannya. Atau, …, ah sebenarnya itu tugasku. Membersihkan dinding bak mandi, mengganti dan memenuhi airnya, serta menggosok lantai. Namun semenjak aku tak lagi selalu berada di sini, semua jadi terbengkalai. Lantai kamar mandi pun agak licin sekarang.
Aku yakin. Kekeruhan itu tak hanya di wajahku.
Bapak pun pasti begitu.
Bagaimana tidak? Hidup bapak tentu tak nyaman akhir-akhir ini. Siang dan malam, waktunya harus dihabiskan di dalam kamar. Bernafas dengan udara yang hanya berputar-putar di situ. Mata bapak akan selalu terpaku pada empat dinding putih. Atau kadang-kadang saja bisa terlempar keluar, bila bapak berdiri di dekat jendela kamar.
Ibu tak pernah berlama-lama di kamar. Hanya membuka pintu, melangkah sedikit untuk menaruh makanan, lalu keluar lagi sambil membawa baju-baju kotor bapakku. “Sabar,” sepenggal kalimat itu saja yang akan terucap dari bibir merekah ibu.
Kutahu pasti. Bapak tak akan menjawab. Paling hanya mendengus kesal. Atau melempar tubuhnya ke kasur kapas. Membiarkan semuanya sampai ibu benar-benar tak berada lagi di kamar. Teriakan-teriakan bapak hanya akan keluar di saat memerlukan sesuatu. Terutama, …, membutuhkan perhatian.
Dari luar pintu kamar mandi, kudengar kalimat ibu. “Kalau lapar, makan sendiri ya. Ibu sudah makan. Lian belum pulang. Biasanya mendekati Mahgrib, adikmu baru pulang.”
“Nggih, Bu.” Aku mengiyakan. Kalimat yang dulu biasa terlontar dari jawabanku itu kini terasa aneh. Jarang kuucapkan dan tak biasa lagi kugunakan. Tercederai kebiasaan baru. Siap. Oke. Baiklah. Lapan enam. Oh, …, para leluhurku pasti merasa asing dengan itu semua.
Lian, adik perempuanku, seperti kata ibu tadi, pasti belum bisa kutemui. Entah sedang berada di mana. Mungkin di rumah tetangga. Atau sedang di desa sebelah. Bisa jadi di tepian sawah. Di bawah pohon rindang. Menunggui tetangga-tetanggaku yang sedang mengolah sawah.
Aku tersenyum sendiri. Lian tidak mungkin turut masuk ke sawah. Selain dilarang tetangga-tetanggaku, Lian tak pernah berani berkawan lumpur. Adikku itu akan menjerit-jerit jijik kalau telapak kakinya terbenam ke lumpur. Bila dulu aku nakali dengan menempelkan lumpur di betisnya, …, oh, bisa seminggu dia memasang wajah raksasa betina jahat.
“Kita tuh sekarang keluarga petani,” aku membela diri. “Kamu tidak boleh takut lumpur”
“Kakiku kotor. Ga mau. Betisku, ….”
Harus kuakui, betis adikku sepertinya memang tak boleh bersahabat dengan lumpur. Terlalu indah dengan kulit halusnya yang berwarna kuning. Sekali lagi aku tertawa kecil mengingatnya.
Kutarik kursi mendekati jendela kamar. Sedikit berderit karena aku tak mengangkatnya. Lantas aku duduk di situ. Bersandar dengan satu kaki kulipat. Menunggu angin segar menghampiri. Sambil melihat pelepah kelapa di atas sana berayun-ayun.
Kamar yang aku tempati berada di belakang sisi kanan pendopo. Cukup luas. Pintunya dari kayu jati yang seingatku selalu dibiarkan berwarna coklat tua. Persis kayu jendela di dekatku. Tak pernah tersentuh cairan pembersih, selain sesekali dalam sebulan merasakan usapan kain di tangan ibu.
Tak jauh dari kamarku, agak ke depan dan ke arah dalam, terletak kamar Lian. Berbeda dengan kamarku, kamar Lian selalu terlihat lebih terang. Isi kamarnya pun tidak semenyedihkan kamarku. Barang-barang di dalamnya tertata rapi. Bahkan tak ada satu pun pakaian yang tergantung di balik pintu kamarnya. Jika aku merasa terlalu menderita di kamar, aku biasa menyelamatkan diri ke kamar Lian. Dan hasilnya mudah ditebak. Aku akan segera diusirnya. Benar-benar adik tak berbakti.
Tak usah banyak bertanya tentang kamar bapak dan ibuku. Adat Jawa keluargaku meyakini kalau kamar orang tua harus berada di belakang kamar anak-anaknya. Tutur bijak leluhurku, kamar belakanglah yang menyangga kamar depan. Orang tualah yang menopang anak-anak. Sepertinya mirip dengan ruang kerja bapakku di kantornya. Berada di belakang meja kerja bawahannya. Tata ruang feodal tulen. Harus melewati banyak meja sebelum mencapai meja Sang Penentu.
Sudut mata awasku menangkap dua bayangan yang berkelebat cepat. Gerak mereka sangat cepat dan ringan. Melesat pesat. Nyaris tanpa menimbulkan hembusan angin. Aku agak terpana karenanya. Aku hanya seperti menangkap coretan warna putih dan biru muda.
Seketika itu pula aku berniat meloncat keluar dari jendela. Berusaha mengejar berkelebatnya bayangan itu. Bahkan bila tak ada tangan yang tiba-tiba menarikku, aku pasti masih sempat mengambil pedang tipis yang tergantung di dinding kamar.
“Tak usah buru-buru,” kata ibu saat menyentuh bahuku, “tak usah bawa senjata”
“Tetapi, …,” kalimatku tak tuntas. Ibu meletakkan telunjuk jarinya ke bibir. Memintaku diam.
“Keluar dari pintu depan dan temui mereka.”
“Mereka siapa?”
“Bayangan putih dan biru muda.”
“Ooh, ….”
“Kenapa ooh? Mereka memang berbaju putih dan biru muda.”
*****
Biru muda membisu. Langit di atas menampakkan warnanya yang terang. Aku tak merasa aneh. Langit di desaku selalu berwarna biru seperti itu. Kalau ada gumpalan awan putih, ini hanya di beberapa tempat.
Tetapi siapa pemilik bayangan putih dan biru muda yang harus kutemui itu? Aku mengenal merekakah?
Seperti menggoda mataku, bayangan putih dan biru muda itu berkelebat lagi. Aku berlari cepat mengejar. Sial. Bayangan itu hilang teramat singkat. Tak kurang akal, aku meloncat ke sebuah pohon. Memanjat cepat untuk memudahkanku menebar pandangan.
Dari atas, aku melihat dua orang berdiri diam seperti menantiku. Berjajar. Badan mereka hanya sedikit terhalang sudut pagar batu yang mengelilingi pekarangan rumahku. Kulepas nafas perlahan, sebelum turun dari pohon dan kemudian berjalan mendekati mereka.