Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #2

Jersey

Lebih dari setengah lapangan, bola itu dilambungkan jauh ke depan. Dua orang berlari. Berusaha mendapatkannya. Gerak lari mereka sama-sama cepat. Sama-sama lincah. Sama-sama bertenaga. Tetapi tentu, ada satu yang lebih cepat. Lebih dahulu menguasai bolanya. Segera membawa bola sedikit ke tepi. Berkelit indah, lalu melarikannya ke depan.

Penonton bertepuk tangan menyemangati. Riuh gemuruh pula suara yang keluar dari mulut mereka. Menyuruh membawa lari. Mengingatkan ada lawan yang berusaha merebut. Berulangkali memaksa untuk segera mengoper pada pemain lain.

Ah, dasar penonton. Suara mereka seperti orang yang lebih pintar dari pemainnya sendiri. Lebih ahli dari pelatih aslinya. Para penonton itu tak ubahnya komentator sepakbola yang kerap mengkritik pelatih, menyalahkan strategi, melempar kata “seharusnya” saat ada pergantian pemain. Pasti sudah paham. Kalau ada sebelas pemain di lapangan, pelatihnya berjumlah belasan atau puluhan ribu. Plus komentator dan penyiar sok cerdas itu.

Bola akhirnya diterima dengan gerakan cantik pemain di tengah lapangan. Sedikit dimain-mainkan. Lantas ditendang keras terarah ke gawang. Gol tercipta. Di menit terakhir. Gol penentu. Gol yang mengiringi lahirnya seorang pahlawan di pertandingan final yang menentukan.

Arjuna.

Pahlawan di babak final itu bernama Arjuna alias Permadi alias Janaka. Ketenarannya melebihi Messi, Ronaldo, Beckham, dan Kapten Tsubasa. Kelihaiannya menggocek bola sekelas di atas Zidane, Saha, ataupun Cantona. Keuletannya mempertahankan bola beberapa tingkat di atas Ronaldinho, Kaka, ataupun Darmin anaknya Mbok Darmi.[1]           

Tak masalah jika hanya satu gol yang diciptakannya. Arjuna pun baru di menit ke-87 dimainkan. Masuk sekadar sebagai pemain cadangan, lantaran kakinya lama dibekap cedera berkepanjangan. Bahkan Arjuna dulu pernah berniat gantung sepatu. Pengin beralih ke cabang olahraga yang lain. Dari pemain sepakbola menjadi pemain catur, rencananya. Hanya saja keinginannya itu terkendala masalah ijin. Pengurus pusat catur sedunia melarang keinginan Arjuna dengan mengacu pada pakta integritas atlit profesional.

Arjuna pun menerima keputusan itu. “I love football”, menjadi mantra saktinya saat memutuskan turun ke lapangan hijau kembali. Penggemar-penggemarnya langsung sujud syukur. Sebagian membuat kenduri. Sebagian berdoa menurut agama mereka masing-masing.

We are the Champion,” teriak girang kapten kesebelasan ke arah Arjuna. Ia mengangkat tubuh Arjuna ke atas. Berterima kasih atas gol yang dibuat Arjuna. Perilaku kapten kesebelasan itu seperti seorang ayah full bahagia yang melemparkan anak kesayangannya ke atas.

Tak ayal, pemain-pemain lainpun mengerubungi Arjuna. Ada yang memeluk. Beberapa menepuk kepala. Dan yang lain mengacak-acak rambut Arjuna.

“Jaga jarak,” teriak pelatih kepala geram. “Senang boleh. Bahagia silakan. Bangga, wajar. Tetapi ingat. Jaga jarak. Disiplin pada player distancing.”

Uh, repotnya.

Keriangan sebagai juara harus di-discount karena virus keparat.

Dan sesungguhnya bukan baru sekali ini saja Arjuna kecewa. Hari Senin lalu, Arjuna gagal memancing karena ikan-ikan menggunakan masker. Hari Selasa, Arjuna tak jadi bertanding panco melawan atlit Mongolia karena lawannya menolak memakai hand sanitizer. Hari Rabu, Arjuna terpaksa membatalkan niatnya mengunjungi Candra Ayu karena pintu rumah gadis itu bertuliskan lockdown. Hari Kamis, malam Jumat, Arjuna tak bisa kemana-mana lagi karena harus home learning.

Toh sekarang, Arjuna bisa bangga bukan kepalang. Ia tak bisa menyembunyikan hal itu. Bagaimana tidak? Hampir satu stadion meneriakkan namanya. Kala trofi kemenangan diangkatnya, stadion bagai meledak. Menggemakan nama Arjuna berulang-ulang.

Tak hanya di dalam stadion #partypartyparty ini berlangsung. Saat hendak menaiki bis, Arjuna hampir tak memiliki kesempatan untuk melangkah. Kerumunan penonton memaksanya untuk bergeser setapak demi setapak. Jersey yang dikenakannya ditarik-tarik. Entah oleh siapa a.

Jersey-ku sobek, tau!!!”

Penonton-penonton irasional tak peduli. Mereka semakin menghimpit. Dan jersey Arjuna bak gunungan terbuat dari kacang panjang pada acara tradisional Sekaten di kraton Yogyakarta. Menjadi bahan rebutan. Secuil sobekan pun akan dianggap pembawa berkah. Rasa lega baru dapat dirasakan Arjuna ketika ia sudah berada di dalam bis. Tak lagi didesak-desak supporter. Bebas menghirup udara yang kini segar dari semburan AC bis. Hanya canda riang pemain-pemain lain yang masih terdengar.

Saat bis bergerak perlahan menyibak kerumunan penonton untuk meninggalkan stadion, tatapan mata Arjuna terhenti pada sosok di tepi jalan di sebelah barat stadion.

Sosok cantik berambut panjang. Tinggi semampai. Bercelana jeans biru. Berkaos garis merah dan putih. Sosok itu berdiri di antara kawan-kawan gadisnya. Terlihat menonjol karena keelokan parasnya.

“Tertarik? Pengin kenal? Namanya Kenanga, …,”

 

 

*****

 

 

Kenangan lama itu hinggap kembali. Menyergap lembut. Menghadirkan keindahan.

Arjuna kerap tersenyum sendiri setiap kali mengingatnya. Bahkan Arjuna bisa berjam-jam terbawa arus kenangan itu. Melupakan yang lain. Meniadakan dan meminggirkan kesenangan-kesenangan yang sempat dirajutnya kemudian. Tetapi kenangan lama itu juga membuka luka lama Arjuna. Mengiris perih. Membawa kepedihan tak terperi. Lelakinya para lelaki dunia, lelaki tertampan sejagat, lelaki penakluk para jelita, dan lelaki penebar cinta ini tak jarang harus menyembunyikan tangisnya. Tumbang lantaran cintanya yang patah.

Namanya Kemuning.

Kecantikan putri pengusaha yang senang berburu dollar ini tak ada yang menandingi. Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Dasamuka dan berusaha diselamatkan Hanoman, kalah cantik dibadingkan Kemuning. Kulit halus gadis-gadis yang rajin ke klinik kecantikan di mall-mall masih tak semulus kulit Kemuning. Tak hanya itu, dandanan Kemuning pun jauh di atas dandanan para pesohor dengan Hermes dan LV-nya.

Arjuna menyukai wangi kulit dan riap lembut rambut Kemuning. Arjuna kesengsem kehalusan kulit dan paras jelita Kemuning pujaannya.

Terpesona.

Otak kiri dan otak kanan Arjuna mudah terbelenggu pemujaan pada Kemuning. Hati dan perasaan Arjuna gampang terselimuti kerinduan pada Kemuning. Degup jantung Arjuna selalu ternadakan derap langkah anggun Kemuning.

Arjuna jatuh cinta.

Tak bertepuk sebelah tangan. Cinta Arjuna terbalas sempurna.

Siapa gadis yang tak akan mau didekati Arjuna? Siapa gadis yang tak mengharap ayunan asmara Arjuna? Siapa pula yang tak ingin dicintai dan mencintai pemuda tampan bernama Arjuna?

Konon, viralnya percintaan Arjuna dan Kemuning membuat belasan gadis muda patah hati. Menjadikan belasan pemuda tak bersemangat lagi menghirup oksigen. Banyak yang memasang #dukamasal atau #inipatahhati.

“Kita menikah. Pesta meriah. Bulan madu, ….”

“Kemana, Jun?”

Arjuna tak langsung menjawab. Dibiarkannya Kemuning menunggu.

“Ih, …, jahat. Kemana?”

“Kamu pengen kita kemana, Mun?”

“Bali, ah, sudah sering. Entebe, boleh sih. Wakatobi? Atau ke Raja Ampat?”

Arjuna menyahut cepat. “Raja Ampat, setuju,” sebelum kumatnya kambuh, “Ehm, …, kamu yang bayar ya.”

Demi cinta, Kemuning mengangguk.

Demi cinta, Arjuna ngelunjak.

Demi cinta, keduanya tak rasional.

Arjuna dan Kemuning tak pernah menyangka kalau semua rencana mereka akan runtuh begitu cepat. Saat Arjuna datang menemui orang tua Kemuning, muka galak bapak Kemuning dan wajah sinis ibu Kemuninglah yang menyambut. Bagai sonic bomb, suara bapak Kemuning menggetarkan dan melempar Arjuna hingga tersandar di kursi.

“Kemuning akan menikah dengan, ….”

Arjuna tak mau lagi mendengar. Ia sudah tahu akhir dari semua omongan itu nantinya. Bakal menjadi the final chapter of love-nya dengan Kemuning. Akan berujung pada keharusan untuk melepas dan merelakan Kemuning.

Kemuning yang duduk di lain ruangan diam membisu. Meremas-remas jemari seperti terapis panti pijat kehabisan pelanggan.

“Maafkan aku, Jun,” rintih Kemuning terendam dalam diam.

Sejatinya, Arjuna telah jatuh ke titik terendah ketegaran dirinya. Arjuna tak lagi menjadi Arjuna yang terbiasa dipuja. Baru sekali ini dalam hidup, Arjuna harus menyerah pada cinta. Harus rela memangkas rasa cinta. Terpaksa tunduk. Padahal biasanya, …, ketampanannya meluluhlantakkan perasaan perempuan. Kehebatan dirinya menjadi magnet yang menghirup habis segala pujian. Kemapanannya selalu menjadi pengantar mimpi selebriti-selebriti yang ingin hidup nikmat berlimpah publikasi media. Pesona Arjuna setali tiga uang dengan tikung-menikung perkawanan sosialita.

Kini, Arjuna bagai mendapat karma.

Cintanya tak boleh berlanjut. Segala mimpi dan harapannya musnah. Terbawa angin. Terbang.

 

 

*****

 

           

Terbang ke kahyangan, Arjuna menggugat.

Sebagai jalma terkasih, mudah bagi Arjuna pergi dan masuk ke kahyangan. Ia tak harus menunggu di alun-alun Repat Kepanasan seperti makhluk lain yang ingin ke tempat para dewa. Ia pun tak harus melewati metal detector di gapura Suralaya yang dijaga raksasa kembar Cingkara Bala dan Bala Upata.

Free pass VVIP yang dimiliki Arjuna memungkinkannya bertemu dengan Batara Guru dan para petinggi kedewaan secara langsung.[2]

“Eh, …, kamu, Jun.”

Arjuna memaksa diri tersenyum, “Salam sehat.”

Tanpa bersalaman, para petinggi dewa membalas salam sehat Arjuna. Hanya Batara Indra dan Yamadipati yang memilih diam dan beberapa kali berpura-pura membasuh tangan.

Luruh wajah Arjuna saat duduk menghadap para dewa. Suara Nella Kharisma yang melantunkan lagu Lungset di ruang sidang kedewaan menambah redup sinar mata Arjuna.

“Kenapa, Jun?” sapa Batara Guru. Sebagai ketua kahyangan, Batara Guru harus segera memulai rapim di Senin pagi setelah upacara bendera. Batara Narada diberinya tanda untuk menyalakan LED dan menggelar screen. Mengajak semua peserta rapim untuk menyimak dengan cermat.

Setitik air mata Arjuna jatuh. Mengalir di pipinya yang ranum. Bergantung sebentar di dagu sampai akhirnya jatuh melayang. Mengkilat bagai kristal terterpa cahaya.

“Batara Guru pasti juga sudah tahu. Cinta saya kandas. Kemuning tak bisa saya nikahi.”

“Iya, …. Terus maumu?”

“Saya minta keadilan.”

Batara Guru tersenyum. Mata kanannya berkedip. Memberi tanda kepada Batara Narada untuk ikut tersenyum. Lalu kembali menatap lurus wajah Arjuna. “Keadilan seperti apa menurutmu?”

“Saya harus menikah dengan Kemuning. Saya teramat mencintai Kemuning.”

Lihat selengkapnya