Szentendre di sebuah pagi. Kota kecil cantik ini berada di sebelah barat laut Budapest. Sekitar dua puluh kilometer jaraknya. Letaknya di tepi Sungai Danube dengan kurang lebih dua puluh lima ribu penduduk. Tak begitu banyak untuk ukuran sebuah kota di Eropa.
Matahari bersinar tak begitu menyengat di Szentendre. Atau mungkin juga di seluruh Hungaria, negeri yang dikelilingi Kroasia, Serbia, Rumania, Moldova, Slovakia, dan Austria. Kehangatan sinar matahari musim semi kerap membuat penduduk Szentendre berada di halaman depan rumah. Sambil menata taman atau sekadar minum teh dan menyantap kue-kue lokal.
“Jo reggelt uram,”[1] sapa seorang gadis kecil pada Pak Jakab.
“Jo reggelt kisasszony,” balas Pak Jakab melebarkan senyumnya.
Keramahan dan kehangatanlah yang dirasakan penduduk kota Szentendre. Saat anak-anak sudah berada di sekolah mereka, orang-orang tua yang sudah tak bekerja akan pergi ke pertokoan. Membeli kentang, daging, dan buah-buahan. Di antara mereka banyak yang kemudian sekadar duduk minum kopi di café-café kecil kawasan Old Town.
Adorjan, dengan celana drawstring berwarna krem, berjalan kaki menyusuri trotoar di Sztaravodai ut. Sebuah skivvy lengan panjang berwarna dasar putih dan bergaris mendatar coklat muda membungkus tubuhnya. Tadinya Adorjan mau mengenakan topi, tetapi ibunya kemudian melarang. Tak pantas di musim semi memakai topi.
Bersama kedua orang tuanya yang sudah pensiun, Adorjan tinggal di sebuah rumah di Cseby Antal utca. Rumah mereka, seperti kebanyakan rumah di Szentendre, bercat putih dan bergenting merah. Tak jauh dan sebenarnya hanya berada di balik Sztaravodai ut. Bila dari rumah ingin ke pergi Sztaravodai u, Adorjan hanya perlu memutar melintasi Feny u t.
Halaman luas terhampar di belakang dan sisi kanan rumah Adorjan. Hanya berbatas tembok rendah dengan rumah tetangga-tetangganya. Sementara taman berumput rapi tertata di depan rumah. Sama sekali tanpa pagar depan. Orang yang melintas di trotoar depan rumah dengan mudah akan mendapati keasrian taman dan tampang depan rumah Adorjan.
Menjelang siang, langkah kaki Adorjan berhenti di Korona Etterem. Restauran Korona ini berada tak jauh dari sungai Szentendrei-Dunaag. Dinding putih kusam dan abu-abu di bagian bawah melatarbelakangi bangunan restauran dua lantai ini. Bentuk bangunannya tak berbeda jauh dengan rumah-rumah yang dijadikan restauran lainnya. Hanya berbeda pada warna cat dindingnya.
Adorjan menarik sebuah kursi dan kemudian mendudukinya. Hanya ada empat meja di luar restauran. Dan meja tempat Adorjan menduduki kursinya berada di sisi terluar. Kebetulan memang hanya meja itu yang tersisa saat Adorjan membuat reservasi.
“Szia, hogy vagy,”[2] sapa seseorang sambil menepuk bahu Adorjan.
“Jo vagyok. Sajnalom, hogy baj van.”[3]
Tivadar, orang yang menepuk bahu Adorjan, tersenyum lepas. Tangannya cekatan menarik sebuah kursi di samping Adorjan. Diletakkannya dua gadget di dekat vas bunga di atas meja.
“Aku harus melayani klienku tadi. Untung cepat selesai. Dia tak banyak bertanya dan langsung menyetujui tawaranku. Enak mempunyai klien seperti ini.”
Giliran Adorjan yang tersenyum. Dalam pandangannya, Tivadar benar-benar beruntung. Pekerjaannya sebagai ahli IT telah mengubah hidup Tivadar. Penghasilannya tak bisa dikatakan tinggi sekali memang. Tetapi jelas, jauh di atas penghasilan rata-rata penduduk Szentendrei. Dari penghasilan itu, Tivadar telah mampu hidup nyaman sekarang. Sebuah rumah, meskipun berada di tepi kota, dan sebuah mobil telah dipunyainya.
Hanya pacar yang belum dipunyai Tivadar. Maklum, paras Tivadar tak seberuntung Adorjan. Latar belakang ekonomi keluarganya pun dulu tak begitu bagus. Bisa dibilang, ketidakberuntungan Tivadar dalam hal ini membuat ia jarang dilirik gadis-gadis Szentendrei. Bahkan ia pun tak masuk dalam daftar lelaki yang perlu dijadikan pacar oleh teman-teman perempuan sekolahnya.
“Ini,” kata Tivadar sambil menunjukkan sesuatu di gadgetnya.
Adorjan mendekatkan kepalanya ke gadget Tivadar.
“Gadis pujaanmu berada di Indonesia. Di Jawa Tengah. Kota Sragen. Dekat Solo. Ini alamat lengkapnya,” Tivadar melirik. Seperti menunggu pancaran bahagia wajah Adorjan. “Aku perlu tiga jam untuk mendapatkannya tadi malam.’
“Koszonom,”[4] kata Adorjan pendek. “Akhirnya kudapatkan,” senang sekali Adorjan mendapatkan itu, “mari kita rayakan.”
Tivadar mengangguk tanpa sadar.
Sebotol wine diantar Tatya, waiters cantik yang sudah dikenal Adorjan dengan baik, ke meja.
“Wine favoritmu, Adorjan. Seperti biasa. Wine Kana,” senyum ramah Tatya terkembang. “Wine dari Jerusalem. Hmmh, …, boleh kubukakan untuk kalian?”
Adorjan mengangguk.
“Untuk gelasmu juga, Tatya.”
“Wow,” riang hati Tatya mendengar ucapan Adorjan. “Nampaknya ada yang sedang berbunga-bunga sekarang. Kamu atau Tivadar? Hmmmh, …, terima kasih. Tetapi aku tak bisa ikut minum banyak. Aku masih harus bekerja.”
“Tak harus banyak.”
Sesungguhnya, kepiawaian Tivadar dalam menelusuri keberadaan orang yang dicari Adorjanlah kuncinya. IT benar-benar membantu. Tivadar hanya meminta waktu kepada Adorjan agar ia dapat tenang mencarinya.
Adorjan telah lama mengenal gadis itu. Lewat Facebook. Berkomunikasi dengan bahasa Inggeris di situ. Banyak yang mereka percakapkan. Begitu banyak cerita yang terlontar di antara mereka.
Tetapi setiap kali Adorjan menanyakan alamat gadis itu, jawaban yang diterima selalu membuat Adorjan patah semangat.
“Rahasia, ….”
*****
Penasaran dengan rahasia yang disimpan Togog, langkah kaki Mbilung segera melenggang cepat. Dirinya harus secepat mungkin sampai ke rumah Togog. Bahkan kalau punya sayap, Mbilung pasti memilih terbang. Biar segera sampai. Supaya cepat menjumpai karib lamanya itu.
Berbeda dengan Togog yang berkesejatian dewa, Mbilung sebenarnya pensiunan raja. Pertemanan yang terjalin antara Togog dan dirinya tak lepas dari permintaan Togog kepada penguasa kahyangan. Untuk mengusir sepi. Agar tak terlalu merasa sendiri.
Berlainan pula dengan Togog yang bertubuh cukup tambun, perawakan Sarawita, yang kemudian kerap dipanggil dengan Mbilung, lebih kecil. Mendekati kerempeng.
“Kita dapat proyek, Lung,” ucap Togog saat menyambut kedatangan Mbilung di pintu depan.
“Proyek apa?”
“Biasa, …, ini. Baca sendiri,” pesan di aplikasi Whatsapp disodorkan ke wajah Mbilung. Hampir mengenai tulang hidung.
“Eh, …, kalau kamu menyuruhku membaca, dekatkan ke mata. Jangan ke hidung.”
“Hidungmu tidak bisa dipakai membaca?” Togog menahan tawa.
“Bisa, Gog. Dengan syarat.”
“Syarat apa?”
“Bibirmu diseterika dulu. Supaya rapi.”
“Sial.”
Pesan Whatsapp itu dibaca cepat. Isinya memang seperti yang dikatakan saat Togog menyambut Mbilung tadi. Proyek. Pekerjaan. Tugas berbayar.
“Besar banget honor kita, Gog?”
“Seperti biasa, Lung. Klien kita orang terpandang. Pangeran dari tanah manca. Dari jauh. Dan karena kita selalu mendapat klien-klien seperti ini, penghasilan kita memang besar.”
“Iya, Gog,” Mbilung mengamini.
“Masuklah. Kita bicara di dalam rumah.”
Bukan senang. Mbilung biasanya sedih kalau diajak masuk ke dalam rumah. Mbilung paham banget. Di dalam rumah Togog, ia tak akan mendapatkan apa-apa. Tak akan ada makanan. Tak akan tersedia pula minuman hangat. Hal yang pasti, …, hanya akan ada pekerjaan dapur. Membersihkan semua sisa makanan Togog. Mbilung begitu hafal dengan cela Togog yang ini.
Bagusnya, meskipun kerap menjadi tukang bebersih makanan, Mbilung kerap mendapat bonus. Sahabatnya itu tak pernah pelit kalau soal berbagi uang. Cenderung mengalah nampaknya. Mungkin karena tak memiliki banyak kebutuhan. Sekadar untuk hidup dan, yang paling sering, memberi uang kepada ketiga keponakannya saat mereka datang berkunjung.
“Kita harus berbahasa apa?” Mbilung sedikit khawatir.
“Tenang saja. Pangeran itu sudah belajar bahasa kita.”
“Oke.”
Togog mengunyah kacang rebus yang digenggamnya. Entah. Dikupas dulu atau langsung dikunyah bersama kulitnya. Toh bibirnya termasuk jenis bibir yang tak ramah pada camilan kecil-kecil.
“Ehm, …, kapan datangnya?”
“Dua minggu lagi. Sedang mengurus Visa. Negara kita belum ada kesepakatan pembuatan Visa on Arrival dengan negaranya.”
Sepi. Mbilung bingung mau omong apa lagi. But, saved by the bell. Mbilung selamat dari kebingungannya. Seorang anak kecil nampak datang ke rumah Togog. Tubuh dekil dan baju kusamnya menandakan ia anak keluarga miskin. Tetapi sesuatu dibawa anak itu.
“Pak Dhe Togog,” teriaknya memanggil.
“Iya. Masuk saja, Ngger Nang.”[5]
Anak itu menyerahkan bingkisan yang dibawanya ke Togog. “Parcel, Pak Dhe,” katanya bangga. “Aku beli beberapa di pasar. Pakai uangku sendiri.”
Togog menarik nafas dalam-dalam. Hatinya tercekat. Nada haru mengalun lembut. Menyusuri garis-garis perasaan Togog. Betapa tidak. Anak itu pasti berjuang keras menyisakan uangnya untuk membuat parcel. Bukan karena berlebih. Mungkin juga ditabungnya dengan diam-diam. Dan sekarang, parcel sederhana anak itu diberikan kepada dirinya. Dengan wajah bangga dan sinar wajah bahagia.
“Terima kasih, Ngger Nang. Kamu baik hati.”
“Pak Dhe juga baik.”
Togog merengkuh kepala bocah itu. Memeluknya hangat. Tak lupa, Togog mengambil beberapa lembar uang. Menyelipkan sebagian ke kantong celana sebelah kiri dan sebagian lagi ke kantong sebelah kanan.
“Ini untuk kamu,” kata Togog saat menyelipkan ke kantong sebelah kiri, “ini tolong berikan Bapak atau Ibumu. Hati-hati. Jangan sampai hilang atau jatuh di jalan. Kamu terus puasa kan, Ngger Nang?”
Anak kecil itu mengangguk.
Nafas lega mengiringi kepergian anak kecil itu. Togog tahu, parcel yang diterimanya tentu tak sebanding dengan uang yang diberikannya. Tetapi jerih payah anak itu benar-benar membuatnya terharu. Trenyuh.
“Aku tidak kamu beri, Gog?”
“Diberi apa?”
“Uang. Bocah itu kamu beri uang. Aku tidak?”
“Kamu bukan bocah.”
“Tapi aku kan bocahmu, Gog. Teman seperjuangan. Teman tour leader para pangeran dan putri raja.”