Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #4

Perdana

Daun aren satu. Sebuah pesan kembali datang. Jatuh tak jauh dari kaki Angling. Begitu tiba-tiba. Tanpa suara saat datang dan hanya terlihat menggelinding pelan saat mengenai lantai. Ketika Angling berusaha mencari orang yang mengirimkan pesan itu, ia tak menemukan siapa-siapa. Ah, …, orang yang melemparkan pesan itu tentu berilmu sangat tinggi. Mampu mengendalikannya tanpa suara dan tanpa jejak sedikit pun.

Pesan resmi tentunya. Pesan yang dikhususkan untuk Angling.

“Perempuan Pelangi bikin ulah lagikah?” sergah ibu Angling dari dalam rumah. Indera tajam tuanya bisa mendengar kalau sesuatu telah dilemparkan seseorang ke rumahnya.

“Bukan, Bu,” Angling menggamit lengan ibunya.

Dengan hati-hati diserahkannya pesan tadi kepada ibunya. Tak boleh ada orang lain yang tahu.

“Itu pesan untukmu, Ngling. Bukan untuk Ibu.”

Angling mengangguk. “Benar. Tetapi seperti biasanya, Ibu harus tahu. Bapak pun perlu tahu. Ehm, …, bagaimana keadaan Bapak sekarang?”

“Buka dulu pesan yang kamu terima.”

Angling mengikuti saran ibunya. Membuka pesan. Memperhatikannya dengan cermat dan kemudian dua kali melirik ke arah ibunya. Saat Angling melihat ibunya mengangguk, ia melipat pesan itu lagi. Dibakarnya di longkangan.[1] Tinggal abu kertas lebar yang segera diinjak-injaknya hingga hancur.

“Bapakmu di dalam,” ibu Angling berujar pendek.

Entahlah. Tetapi Angling merasa, ibunya memang sudah mengurutkan hal-hal yang harus dilakukannya. Dari membaca pesan, menghancurkannya, hingga kemudian seperti memintanya pergi ke dalam. Tidak terlihat direncanakan, tetapi dapat dirasakan Angling sebagai langkah-langkah yang tersusun rapi.

Di dalam, bapak Angling seperti sudah menunggu. Duduk di kursi yang sudah dua minggu tak ditempatinya. Sejak mulai mengurung diri di kamar. Sejak ibu Angling tahu kalau badan suaminya terkena demam dan sering mengeluh sakit di dada dan di leher. Seperti dulu, wibawa bapak Angling memancar bila sedang duduk di situ. Sorot mata tajam seperti elang. Dua lengan yang kokoh menempel di pinggir badan. Cara duduk yang khas dengan kaki sedikit terbuka. Juga, dagu keras namun terawat bersih. Berkulit putih tanpa satu rambut pun yang muncul di sekitarnya.

Di belakangnya, gambar Panglima Besar Jenderal Soedirman terpampang. Cukup besar, meskipun warnanya tak lagi begitu jernih dan terlihat agak kekuningan dengan beberapa bercak di sejumlah tempat. Menandakan kalau itu gambar lama dan, kalau sampai di pasang di situ, tentu memiliki makna yang dalam bagi keluarga Angling. Utamanya bagi bapak Angling.

“Kapan kamu mau berangkat, Ngling?” pertanyaan dengan suara tegas dan dalam mendesak gendang telinga Angling.

Bagi Angling, ini bukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan bapaknya tak berbeda dengan sebuah perintah yang harus dijalankan dan dituntaskannya. Cepat berkemas, segera berpamitan, dan sebisa mungkin tak berada lagi di rumah. Toh sudah cukup lama ia bersama mereka.

Waktu itu ia pulang ke rumah, karena Lian memintanya pulang. Kata Lian, ia diperintah ibu untuk berkabar kalau bapak harus diisolasi di kamar khusus di dalam rumah. Angling pun menurut. Meninggalkan kota raja. Pulang ke rumah berpendoponya. Sampai Angling menemui beberapa kejadian yang begitu tiba-tiba. Kemunculan pendekar Tan dan pendekar Cin yang membawa separuh peta, kedatangan Gumang yang membawa separuh peta yang lain, kematian pendekar Tan, hingga kunjungan serta kedatangan Arjuna dan Stanley.

Ah, …, sudahkah Arjuna menemukan Kenanga? Bisakah Arjuna dan Stanley menjumpai Kenanga? Di mana mereka bertemu akhirnya? Bagaimana pertemuan yang terjadi di antara mereka? Menggembirakan? Ehm, …, tersirat sedikit rasa sedih dan tidak terima di wajah Angling.

“Segera, Pak. Sehabis sholat.”

“Begitu lebih baik.”

“Ibu sudah menyiapkan bekalmu, Ngling,” suara lembut ibunya mengalun. Keibuan. Namun tetap terasa tegas dan dalam satu nada dengan kata-kata bapak Angling.

“Bekal apa, Bu? Tidak perlu. Dari rumah sini ke kota raja, tak lebih dari tujuh belas kilo.”

Terdengar langkah kaki Lian. Datang dan segera bergabung dengan mereka di ruang tengah.

“Sesungguhnya, adikmu yang menyiapkan,” senyum ibu Angling terkembang mengiringi ucapannya, “kamu pasti menyukainya.”

Angling menoleh ke arah Lian.

“Apa lihat-lihat?”

“Nggak, ….”

“Nggak apa?”

“Nggak ya nggak.”

Suara ibu Angling terdengar menengahi. Perempuan itu begitu memahami cara anak-anaknya bercanda. Kadang saling sengak. Sekata balas sekata. Sekalimat balas sekalimat. Namun di balik itu semua, Angling dan Lian saling menyayangi. Terlebih Angling. Meskipun kerap menggoda Lian dan membuat adiknya itu mengomel seharian, Angling sangat menyayangi adiknya. Teramat melindungi.

“Lian membuatkanmu lemet,[2] Ngling.”

Angling kumat. Direngkuhnya bahu Lian. Lalu diciumnya pipi ranum adiknya. “Terima kasih, Lian cantik.”

“Ih, …,” Lian merasa risih. Ia begitu tahu kalau Angling berusaha membasahi pipinya dengan ludah di lidahnya. “Aku tidak mau dicium!” katanya geram. “Aku sudah besar.”

Angling tertawa kegirangan.

“Awas kalau mencium lagi,” Lian mengeluarkan ancaman, “makanan satunya tidak boleh kamu bawa.”

“Eh, …, kamu masak apa lagi?”

Wader[3] goreng.”

“Wader? Wow, …, siapa yang mencarikan di sungai?”

Tak ada jawaban langsung. Tetapi Angling tahu, Lian dan ibunya saling melirik. Memberi kode tertentu untuk tak membuka nama pencari ikan wader yang kemudian digoreng Lian.

Angling tersenyum. Ada rasa bahagia di hatinya. Bahagia karena Lian dan ibunya begitu memperhatikan kesenangannya. Lemet akan nikmat sekali dimakan sambil duduk di kursi depan rumah tempat tinggalnya di kota raja. Berteman teh hangat, kental, dan manis. Sedang wader goreng, …, akan terasa sangat nikmat dipakai lauk makan malam. Nasi hangat berlauk wader goreng.

“Sudah, …,” suara tegas bapak Angling terdengar. Terhiasi perasaan sayang dan bahagia. “Segera bersiap, Ngling. Jangan lupa, …, sholat dulu.”

 

 

*****

 

 

Dulu memang berbeda.

Dulu mudah bagi Angling untuk masuk. Jam berapa pun Angling datang, tak seorang pun menghalanginya. Tanpa harus menunjukkan penanda identitas, Angling dapat bebas bergerak ke mana pun. Bila ada antrian panjang di depan, Angling dapat memilih pintu masuk lain untuk segera bertemu dengan orang yang ingin dijumpainya. Tas di punggungnya kebal dari pemeriksaan. Tidak ada yang berani bertanya ini itu.

Dulu, Angling hanya perlu menganggukkan kepala sambil tersenyum. Atau mengangkat telapak tangan sedikit untuk berbagi sapa. Atau pura-pura batuk agar orang yang tak melihat kedatangannya segera menghampiri. Atau sekadar berjalan lurus, tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan.

Di bangunan besar di kota raja, rumah yang oleh-oleh orang di kota raja sering disebut sebagai istana, Angling kerap berpindah dari satu ruang ke ruang lainnya. Tak ada yang melarang. Bahkan bila Angling datang ke sebuah tempat khusus, ruang yang tak boleh sembarang orang mendekatinya, ia dapat menyapa secara bebas seorang putri yang tinggal di situ.

Tetapi tidak di petang itu.

Angling harus berhenti ketika dua orang penjaga menghalanginya. Ia pun harus menjawab satu per satu pertanyaan yang mereka lontarkan. Kadang dijawabnya dengan pendek. Kadang pula terpaksa harus dijawabnya dengan kalimat panjang. Agar mereka jelas. Supaya kedua orang yang menghadangnya bersedia membagi senyum. Tak harus selalu memasang wajah garang.

Bukan karena Angling tak mengenal dan dikenal mereka. Bukan pula karena Angling sosok baru bagi mereka. Angling dan mereka sudah saling kenal. Kerap pula bercanda atau hanya untuk sekadar bercakap-cakap.

“Pangeran Barat baru selesai siram,[4]” salah satu dari mereka berucap pelan. Memberitahu sesuatu yang bagi Angling agak aneh.

“Baiklah, …, tak apa-apa. Aku bisa menunggu dulu di kursi taman.”

Keduanya tersenyum kepada Angling. “Maafkan sikap kami tadi, Pangeran. Kami hanya menjalankan tugas. Pangeran Barat yang memerintahkan kami untuk seperti itu. Kepada semua orang, tanpa kecuali. Ehm, …, maaf. Kecuali kepada Raja dan Ratu, ayahanda dan ibunda Pangeran Barat.”

“Aku mengerti. Tak apa-apa. Kalian menjalankan tugas dengan baik,” Angling mencoba tetap ramah. Menawarkan kelegaan bagi mereka. Juga, menaruh hormat pada para petugas istana yang tadi menghadangnya. “Boleh aku masuk sekarang?”

“Silakan, Pangeran.”

Matahari memang belum terlalu lama terbenam. Semburat sisa sinarnya masih sedikit memberi bekas. Meninggalkan garis-garis kemerahan tak rata di langit sebelah barat.

Petang di taman. Bangunan tempat tinggal Pangeran Barat terlihat indah. Dinding putihnya tersaput warna kuning dari empat buah lampu yang berada di berbagai sudut. Warna kuning ini pula yang menerangi rumput dan pepohonan di taman. Juga menerangi kursi besi bercat hijau lumut yang kini diduduki Angling.

Lihat selengkapnya