Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #5

Lampu Kota

“Ternyata sulit ya, Lung?” Togog melemparkan keluhannya ke Mbilung. Di wajah Togog, peluh membanjir ke bawah. Sebagian menetes ke leher dari bawah bibir dan dagunya. Joroknya, Togog jarang menggunakan sapu tangan atau tissue untuk mengeringkan. Kebiasaan buruk yang selalu berulang. Menggunakan lengan baju dan sesekali memakai ujung kerah baju. Hanya untungnya, siang itu Togog mengenakan baju batik warna gelap.

“Wajar kalau sulit, Gog.”

Kok wajar?”

“Karena si Paijan juga ngawur,” Mbilung melengos.

“Paijan? Siapa?”

“Pangeran sok cakep dari Eropa itu.”

“Adorjan, …, kok Paijan. Enak saja kamu mengganti nama orang.”

“Ha, ha, ha, …, pantesnya kita panggil Paijan, Gog. Sudah datang ke Pulau Jawa, …, sekalian saja kita namai dengan nama Jawa.”

Togog menahan tawanya. Dirinya tahu, Mbilung tak begitu suka dengan Adorjan. Hanya, Togog tidak tahu persis alasan Mbilung tak menyukai Adorjan.

Tak jauh dari mereka, Adorjan duduk meluruskan kaki di atas rumput. Setali tiga uang dengan Togog, Adorjan pun harus disibukkan dengan keringat yang membanjir di badannya. Bahkan lebih parah. Wajah Adorjan memerah terbakar. Seperti udang turun dari penggorengan. Togog dan Mbilung tentu tidak tahu. Jauh di dalam hati Adorjan, keluhan dan ratapan mengalun bergantian. Mengeluh karena usahanya sejauh ini belum menampakkan hasil. Meratap lantaran siksa cuaca khatulistiwa hampir-hampir tak bisa dilawannya.

Sambil membuka nasi bungkus berlauk orek tempe, goreng telur, sambal teri, dan sayur kacang panjang, Togog membagikan es teh dari tas plastik hitam. Satu diulurkannya kepada Mbilung.

“Orang kok nggak bisa mengorangkan orang,” Mbilung masih menunjukkan rasa mendongkol saat menerima es teh pemberian Togog.

“Wah, …, bahasamu itu.”

“Coba dipikir, Gog. Paijan datang ke sini tujuannya apa? Mencari Lintang Pelangi kan? Terus kalau sudah ketemu? Berkenalan? OK. Terus, …? Lama-lama mengajak menikah kan?”

“Nampaknya begitu.”

“Nah itu yang aku tidak cocok.”

“Maksudmu, …, Paijan tidak boleh menikahi Lintang Pelangi?”

“Bukan. Bukan itu. Menikahi orang itu boleh-boleh saja. Siapa pun boleh. Kalau memang jodoh, tak akan lari kemana, Gog. Aku percaya kalau jodoh, rejeki, dan mati itu di tangan Allah.”

“Terus?”

“Jalannya itu yang aku ga sepaham.”

“Maksudmu?”

“Kenal lewat Facebook. Terus didatangi karena, …, wkwkwk, jatuh cinta. Kok cepat banget. Jatuh cintanya karena apa? Karena Lintang Pelangi ayu, manis, cantik? Nah, …, ini. Mengukur perempuan kok dari paras yang menawan saja. Kenapa bukan dari kepinterannya?”

“Alasan orang jatuh cinta kan macam-macam, Lung.”

“Benar, …, tetapi jangan dari sisi fisik semata.”

“Hmmmh, ….”

“Seperti merendahkan perempuan kalau hanya dari sisi fisik,” Mbilung berusaha mempertegas kalimatnya dengan memberi penekanan saat mengucapkan kata merendahkan.

“Kok bisa?”

“Iya kalau secara fisik baik, nah kalau tidak memiliki fisik atau wajah yang baik? Apa harus tidak terpilih?” Mbilung berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan ucapannya setelah meneguk es tehnya. “Contohnya kamu, Gog. Wajahmu kan auto ditolak perempuan. Pasti sakit hati kan kamu, kalau hal itu terjadi?”

Ada benarnya kata-kata Mbilung. Dalam satu hal, kadang-kadang Togog harus mengakui kebenaran ucapan-ucapan Mbilung. Kecerdasan ala Mbilung. Kecerdasan pikiran dan kecerdasan hati.

“Paijan jauh-jauh datang dari Eropa karena merasa dirinya ganteng? Paling ganteng sejagat? Wow, …, keliru. Di tanah Jawa, di bumi Indonesia, tidak sedikit yang ganteng. Banyak banget. Aku contohnya,” Mbilung memfitnah dirinya sendiri.

Togog diam-diam mencuri pandang ke arah Adorjan.

“Arjuna, penengah Pendawa, itu jelas lelakinya dunia. Ganteng habis. Gagah gas poll.”

“Lung, …, sudah. Kasihan Adorjan kalau mendengar omonganmu.”

“Biar saja. Apa dipikir yang dari Eropa, dari luar negeri, dari mancanegara itu selalu lebih baik? Belum tentu.”

“Lung.”

“Biar sajalah, Gog. Aku jengkel soalnya, …. Apa Paijan pernah memikirkan itu? Apa Paijan pernah membuat pertimbangan, kalau laki-laki yang bakal menyukai Lintang Pelangi tidak hanya dia?”

“Lung, …, sudah.”

Berbeda dengan Togog dan Mbilung yang makan nasi bungkus dengan  lahap, Adorjan terlihat setengah hati memakannya. Lidah dan matanya belum bersahabat dengan tata makanan yang harus dihadapinya sehari-hari di Sragen. Ingin kembali ke selera asal, tak mudah bagi Adorjan mendapatkannya. Makanan Eropa Timur di kota sekecil Sragen bak jarum di tumpukan jerami. Mustahil ditemukan. Adorjan tak akan bisa menemukan goulash, halaszle, atau porkolt. Andai ada yang mirip pun, pasti rasanya berbeda.

“Makan, Jan,” Togog menegur. “Jangan hanya dilihat.”

Adorjan mengangguk. Tetapi tangannya tidak segera menyentuh nasi bungkus di dekatnya. Dirinya seperti tak tahu kalau nasi bakal dingin, jika terlalu lama dibiarkan. Tak lagi enak jika disandingkan dengan orek tempe, goreng telur, sambal teri, dan sayur kacang panjang di saat sudah dingin.

Togog berdiri. Berjalan mendekati Adorjan. Lantas menyemburkan nasihat. “Harus tetap makan, Jan. Enak atau tidak enak di lidahmu, kamu harus makan. Perutmu harus diisi. Biar tidak masuk angin.”

Adorjan sedikit mendongak. Sebenarnya sudah beberapa kali ini Adorjan mendengar Togog mengucapkan kata masuk angin. Frasa yang aneh menurutnya. Sulit dicerna Adorjan dengan logika barat. Namun demikian, Adorjan juga tak sempat bertanya lebih jauh. Togog telah meninggalkannya dan kembali ke tempat Mbilung.

“Cie, …, cie, …, perhatian,” ledek Mbilung.

Asemik, …, malah.”

Sampai sejauh ini, Adorjan, Togog, dan Mbilung belum menemukan Lintang Pelangi. Kota sekecil Sragen seperti menyimpan Lintang Pelangi dengan rapat. Menyembunyikannya di sudut terdalam. Penduduk kawasan Plumbungan pun tak bisa banyak membantu mereka. Saat nama Lintang Pelangi mereka sebut, hanya gelengan kepala yang mereka terima.

Tiga orang ketua RT yang didatangi secara tegas mengatakan kalau Lintang Pelangi bukan penduduk di daerah mereka.

“Kontrak kita kapan berakhir, Gog? Sampai kapan harus menemani Paijan?”

“Masih tiga minggu. Sudah bosan, Lung?”

“Bosan dan jengkel, Gog.”

“Sabar, ….”

“Karakter pangeran-pangeran yang kita temani selalu sama. Cenderung menganggap gampang semuanya. Sombong. Datang dengan style yakin. Sing penting yakin, ….”

Togog membiarkan saja Mbilung mengomel.

“Giliran waktunya tiba, …, ha, ha, ha, …, kecewa, frustrasi, patah hati.”

Mendadak Togog dan Mbilung terhenyak. Dua pasang telinga mereka mendengar dengan jelas ucapan Adorjan yang memanggil nama mereka. Dua mata milik Togog dan Mbilung kemudian menyaksikan dengan pasti saat Adorjan menunjuk ke suatu arah.

“Gog, Lung, …, itu Lintang Pelangi.”

“Mana, Jan?” Mbilung masih tak percaya. Menganggap Adorjan terjebak ke dalam halusinasi.

“Itu. Di sana. Benar, Lung. Dia Lintang Pelangi,” kata Adorjan sambil berdiri dan berjalan mengejar Lintang Pelangi.

Nasi bungkus Adorjan tersebar berhamburan. Ditinggalkan begitu saja. Jelas. Adorjan tidak mau kehilangan jejak Lintang Pelangi.

“Lung, …, ayo,” Togog mengajak Mbilung mengejar Adorjan.

“Sabar, …,” balas Mbilung.

 

 

*****

 

 

Balasan pesan datang begitu cepat. Secepat kehadiran pendekar Cin di depan Angling. Pendekar cantik itu memberi hormat, selayaknya sikap hormat prajurit istana kepada junjungannya. Dihaturkan pada seorang pangeran. Meskipun Angling yang bergelar Pangeran Pameling bukanlah pangeran dari anak raja yang tengah berkuasa, pendekar Cin sangat tahu tata krama. Kepada Angling, ia akan tetap menempatkan laki-laki itu sebagai seorang junjungan. Apalagi saat ini, Angling telah ditunjuk Raja secara resmi untuk menyelesaikan sebuah tugas dan pendekar Cin diminta mendampingi kemana pun Angling pergi bergerak.

“Benar. Akan ada pertemuan di bukit pinus. Tak jauh dari telaga di Bangunangin.”

“Kamu tahu tempatnya?”

Pendekar Cin mengangguk.

Angling menunjukkan wajah puas. Tak sia-sia ia menyuruh pendekar Cin mencari kabar tentang pertemuan yang akan dilakukan di Bangunangin.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya pendekar Cin kemudian.

“Tidak ada. Kita tunggu saja dulu.”

Keraguan menyelimuti wajah pendekar Cin mendengar jawaban itu. Ada keheranan yang berkembang di benaknya. Bergemuruh dan membuatnya seperti tak percaya dengan kalimat Angling yang baru didengarnya. Dirinya disuruh mencari kabar ke Bangunangin dan setelah kabar itu didapat serta diselidikinya, tidak ada satu tindakan apa pun yang akan dilakukan.

“Percayalah. Benar-benar tidak ada yang harus kita lakukan.”

“Saya tak begitu paham, Tuan.”

“Lama-lama akan kamu pahami,” Angling bertutur datar. “Ehm, …, ada sesuatu yang harus aku katakan kepadamu. Perkara lain. Tidak terkait dengan pertemuan Bangunangin.”

Pendekar Cin semakin bingung. Satu perkara belum diselesaikan hingga tuntas, kini Angling menghadirkan perkara baru. Pembicaraan lain. Tetapi apa yang bisa dilakukannya selain menuruti ucapan Angling. Pendekar Cin pun hanya dapat menurut ketika Angling memintanya duduk.

“Sedikit mengulang sebenarnya, …,” Angling memulainya dengan suara pelan, “jangan memanggilku dengan Tuan.” Setelah berhenti sejenak, Angling mengarahkan tatapan matanya kepada pendekar Cin. “Itu sudah aku katakan kepadamu beberapa hari yang lalu.”

Tanpa sadar pendekar Cin mengangguk.

“Selain itu, …., orang akan mudah mengenali kita kalau di antara kita terlihat ada jarak. Sikapmu yang tetap menempatkan aku sebagai seorang pangeran, akan membuat aku mudah dikenali. Pedang yang ada di punggungmu, juga akan membuat dirimu mudah dikenali.”

Lihat selengkapnya