Adorjan bisa mengejar Lintang Pelangi. Pemuda Szentendre kelahiran November saat musim dingin ini berhasil mengejar gadis pujaannya tepat saat Lintang Pelangi sampai di depan rumah. Adorjan tak perduli pada tatapan orang yang beberapa hari lalu mengatakan kalau Lintang Pelangi bukanlah penduduk Plumbungan.
Tak sia-sia penantian Adorjan jadinya. Tak terbuang percuma waktunya habis di kota Sragen. From Hungary with Love-nya bakal segera masuk finding the queen. Cinta membuta Adorjan bisa segera tertumpah pada ratu hati dan permata asmaranya.
Thanks, God. Tak henti-henti Adorjan berterima kasih dan memuji nama Tuhannya. Köszönöm, Tivadar. Köszönöm, Tatya. Bantuan dan doa tulus kalian benar-benar warbiyasah.
Dua puluh meter di belakang Adorjan, nafas Togog dan Mbilung terlihat tersengal-sengal. Togog sampai membungkuk dengan mulut terbuka lebar. Mirip moncong soang bersiap menyantap potongan ubi. Mbilung lebih parah. Sepasang matanya mendadak tak kompak, saat pneumonia-nya kambuh. Langkah raksasa Adorjan mengejar Lintang Pelangi, sejatinya sukses menyiksa kehidupan Togog dan Mbilung.
“Perlu ambulan, Lung?” Togog sok care nan nyesekin.
“Buat nabrak bibirmu?” balas Mbilung tak kurang nylekit.
“Edan. Ditanya baik-baik, malah begitu jawabanmu.”
“Lah omonganmu ya seperti ubi rebus, kok. Bikin seret.”
Togog dan Mbilung saling mencibirkan bibir. Jelas Togog pemenangnya. Ia dikaruniai takdir bentuk bibir yang mendukung. Bahkan sebelas trophy telah dikumpulkannya untuk kontes bibir tak berbentuk di tingkat nasional.
Di depan pagar rumah tak jauh dari tempat Togog dan Mbilung berada, Adorjan dan Lintang Pelangi terlihat saling menyapa. Suara mereka terdengar jelas memecah suasana yang tadinya sepi.
“Aku Adorjan. Ingat?”
“Iya, …, iya, …, aku tahu”
“Berhari-hari mencarimu. Tak ada yang tahu namamu di sini.”
“Oh, …, memang. Penduduk di sini hanya tahu kalau namaku Kenanga. Dan namaku memang Kenanga,. Tentu tak ada yang tahu kalau kamu mencari Lintang Pelangi.”
“Untung akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” Adorjan tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di hatinya.
“Iya. Kamu sangat beruntung hari ini. Aku juga baru pulang dari Surabaya. Ehm, kebetulan ada temanku lainnya yang juga mau datang. Nanti aku kenalkan. Namanya Arjuna dan Stanley.”
Gleg, …, gleg, …. Dua kali Adorjan menelan ludah. Ada rasa khawatir yang tiba-tiba muncul di dada Adorjan. Siapa dua nama yang baru saja disebutkan Lintang Pelangi? Kompetitorkah? Atau sekadar teman Kenanga? OMG. Belum-belum sudah ada cobaan.
“Mulai sekarang, panggil aku Kenanga ya.”
Adorjan tidak tahu harus bersyukur atau mengeluh. Mengganti nama menjadi Kenanga dan tidak lagi Lintang Pelangi perlu dipikirkannya atau tidak. Dua nama yang baru saja terdengar di telinganya, Arjuna dan Stanley, benar-benar mengganggu. Membuat hatinya koyak.
“Modar,”[1] Mbilung mengucap sepatah kata yang membuat Togog terhenyak.
“Kenapa, Lung?”
“Itu, Paijan. Lihat saja sendiri. Sekarang sudah bingung karena kaget.”
“Lah kenapa?”
“Aku pernah bilang. Laki-laki yang suka Lintang Pelangi, pasti tidak hanya Paijan. Tentu ada orang lain yang juga menyukai. Mendekati. Naksir. Benar, kan?”
“Lah memang ada siapa?”
“Arjuna.”
“Aduuh,” Togog ikut lemas begitu Mbilung menyebut nama Arjuna. Dirinya tahu reputasi Arjuna yang dapat dipastikan bakal menjadi lawan berat. Tidak bisa disepelekan. Harus diwaspadai.