Kemuning bersenandung. Kemilau pagi. Entah lagu siapa? Kemuning jarang mengingat nama penyanyi aslinya. Sebatas tahu lirik dan nada lagunya, itu sudah cukup bagi Kemuning untuk bernyanyi. Toh Kemuning tidak akan pernah menyanyikan lagu dengan utuh. Tak akan sempat. Baru separuh lagu pun, pasti ada saja yang menyebabkannya harus berhenti.
Kecuali satu lagu. Sakura. Kemuning begitu suka dengan lagu itu. Dan tentu, Arjunalah yang mengenalkan lagu lama itu pada Kemuning. Kata Arjuna waktu itu, “Mun, lagu ini pas banget untuk kamu. Sakura dan Kemuning. Sama-sama kembang. Sama-sama bunga.” Kegombalan Arjuna inilah yang dulu meluluhlantakkan perasaan Kemuning.
Tetapi itu dulu. Saat Kemuning dan Arjuna masih on fire. Belum end. Saat keduanya masih terlibat dalam percintaan ekspresif yang bebas dari gangguan, hambatan, dan larangan. Di masa ketika bangun pagi masih melihat foto Arjuna di sudut kamar. Di waktu menjelang tidur, Kemuning masih bisa membisikkan kata manja, “Mimpiin aku ya, Jun.”
Sekarang, haish, jangankan foto Arjuna, jangankan kata-kata manja, ingatan tentang Arjuna pun telah disirnakannya. Sudah dikubur dengan diiringi doa untuk melupakannya.
“Pergi dulu, Bu. Tak lama.”
“Kemana?” tanya ibu Kemuning khawatir.
“Mall, ” jawab Kemuning enteng.
“Hati-hati. Jaga perutmu. Ingat, perutmu sudah empat bulan.”
Kemuning mengecup kening ibunya. Berbalik sambil tersenyum, melangkah ke dalam mobil, dan kemudian menenggelamkan tubuhnya ke kursi mobil bagian belakang. Bersandar penuh setelah meletakkan tas hitam kecilnya di pangkuan.
Rencananya, pagi ini Kemuning akan membeli alat-alat kecantikan baru. Lipstick dan pensil alis. Juga bedak dan saputnya. Kemuning terhitung boros untuk hal-hal seperti itu. Prinsip hidupnya hanya dua. Satu, harus selalu tampil cantik. Dua, lebih baik menghias wajah sendiri daripada wajahnya dihias orang lain. Kemuning pun berencana membeli sejumlah pakaian untuk calon bayinya. Ia harus mulai mencicil hal-hal kecil yang kelak pasti digunakannya. Padahal, ibu Kemuning sudah menawarinya untuk membuatkan baju-baju untuk cucunya. “Beli kain saja. Biar Ibu yang menjahitkan.” Tetapi mana mau Kemuning dengan usul ibunya itu. Ia tak ingin ibunya kecapaian.
“Tunggu di parkiran ya, Pak. Nanti saya telepon kalau sudah selesai,” pesan Kemuning kepada sopirnya ketika sampai di depan mall.
“Iya, Non, eh, baik, Nyonya.”
Ha, ha, …. Nyonya Kemuning. Sopirnya itu masih sering terpeleset lidah. Masih terbawa suasana dulu saat Kemuning masih seorang gadis yang selalu diantarnya ke sekolah. Lupa kalau sekarang Kemuning bukan lagi gadis remaja. Lupa kalau Kemuning sudah menjadi seorang nyonya muda. Setidaknya, calon seorang ibu. Tak lama. Lima bulan lagi.
Bagai telah terencana rapi, Kemuning keluar masuk sejumlah outlet di dalam mall. Langkahnya pelan, namun begitu pasti saat datang, mengambil barang, dan melakukan pembayaran. Tanpa memilih sama sekali. Bagai telah hafal dengan semua barang yang dibutuhkannya.
“Mun,” sebuah suara menyapa Kemuning saat hendak melangkah keluar dari outlet pakaian bayi.
Kemuning terkesiap. Ia begitu hafal dengan suara orang yang memanggilnya. Ia juga tak menyangka kalau akan bertemu dengan orang itu di sebuah tempat yang mestinya hanya didatangi ibu-ibu. Atau orang itu juga sedang mempersiapkan kelahiran anaknya? Tak mungkin.
“Jun,” bergetar suara Kemuning. “Kok kamu di sini?”
Konyol. Pertanyaan aneh.
Namun Kemuning memang tak bisa berucap dengan pertanyaan yang lain. Hanya kalimat seperti itu yang terlintas di benak dan kemudian ditanyakannya. Kemuning tak punya waktu untuk berpikir lama dan bertanya tentang hal-hal yang berbeda.
“Aku mau ke toko sepatu. Kebetulan lewat di sini,” suara Arjuna terdengar lebih tenang, “Kamu sendirian?”
Tak urung, muncul pula pertanyaan konyol Arjuna. Sudah jelas Kemuning seorang diri yang dilihatnya. Tanpa orang lain. Tak ada saudaranya, sopirnya, pembantunya, atau suaminya.
“Iya. Sendiri,” nada tertahan meluncur dari bibir Kemuning.
Arjuna bisa merasakan itu.
Seolah sama-sama ingin mempercepat selesainya pertemuan tak sengaja itu, Kemuning dan Arjuna beranjak pergi. Berlawanan arah. Tak penting outlet mana yang kemudian mereka masuki. Tak juga penting kejadian saling menoleh seperti film-film India atau FTV. Sepertinya Arjuna ingin segera terbang ke planet lain dan Kemuning ingin cepat-cepat ambles ke dalam bumi.
Tak mudah ternyata. Meskipun Arjuna tak ada lagi di dekatnya, Kemuning merasa terus diikuti Arjuna. Laki-laki yang pernah dicintai dan juga dilukainya itu seperti membayangi. Seakan terus melangkah tanpa suara di belakangnya.
Pasti Arjuna tadi melihat perutnya yang telah membesar. Mata Kemuning jelas merekam arah tatapan Arjuna ke perutnya. Tentu Arjuna tak menyukai hal itu. Marah melihat perut buncit berisi bayi yang dikandungnya. Bayi dari seorang laki-laki yang menjungkalkan tahta cinta Arjuna dari hati Kemuning.
Pufff.
Kemuning menciptakan raksasa di depan matanya. Dihantui perasaan dan dugaan yang belum tentu benar. Padahal dulu, Kemuning pula yang melarang Arjuna membayangkan hal yang tidak-tidak jika kecemburuan laki-laki itu menyala saat ia bersapa kabar dengan seseorang. Kemuning akan mengelus pundak dan pipi Arjuna sambil berujar ne crée pas un géant devant tes yeux.[1]
Lain dulu lain sekarang. Kini Kemuninglah yang terjebak dalam kalimat bijak semacam itu. Kemuning menjadi pelaku yang memerankannya. Dirinya menjadi orang yang dikejar-kejar perasaan tak berdaya dan juga rasa bersalah. Tak berdaya karena harus berpikiran buruk tentang Arjuna. Juga merasa bersalah karena dulu tega mematikan perasaan Arjuna secara paksa.
Di dalam mobil yang membawanya pulang, Kemuning segera mengambil smartphone-nya. Ia harus menelpon seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Cerita tentang pertemuannya dengan Arjuna.
Namun tanpa dinyana, sebuah pesan mendahului masuk. Dari nomer yang tak dikenal.
Semoga bayi dan dirimu selalu sehat. Aamiin.
Duh. Kemuning mengutuk dirinya sendiri.
*****
Kutukan seorang ibu kepada Malin Kundang berakhir. Kisah rakyat itu diperankan dengan bagus oleh anak-anak SMA yang tengah menggelar pesta perpisahahan siswa kelas tiga. Penonton bertepuk tangan. Juga guru-guru mereka. Dan tentu Kepala Sekolah yang merasa paling berjasa karena telah mengarahkan para penampil untuk melakonkan cerita Malin Kundang.
“Ini supaya kalian tak lupa pada ibu kalian. Ibu, ibu, dan ibu. Itu orang yang harus selalu kalian ingat.”
Drama Malin Kundang dipilih bukan dengan mudah. Siswa pengikut ekstrakurikuler drama awalnya ingin mementaskan kisah Bawang Merah dan Bawang Putih, Ande-Ande Lumut, atau Jaka Tingkir. Bahkan Kempong Gembul mengusulkan cerita Gajah Tertipu Kancil yang dikarangnya dan tentu berharap dia pula yang akan memerankan gajahnya.
Namun semua ide pementasan cerita-cerita itu ditolak Kepala Sekolah. Veto. Kekuasaan sangar digunakannya. Ancaman ditebar. Bila itu yang dipentaskan, sekolah tak akan memberi bantuan dana untuk properti.
Hingga akhirnya, Kepala Sekolah menyodorkan cerita rakyat tanah Minang.
“Pilihannya hanya ini. Malin Kundang.”
Pilihan tunggal.
Bukan pilihan sebenarnya kalau hanya satu yang diajukan dan harus disetujui. Namun para siswa jelas tak bisa apa-apa. Hanya mengangguk dan tersenyum hambar. Senyum pahit tepatnya. Sepahit obat yang harus dikunyah dan tak boleh ditelan langsung (delapan ratus tahun kemudian, kisah kemengkalan yang dituangkan dengan judul Apa Dayaku Karena Aku Pelajar menjadi bahan bacaan wajib kesusastraan Indonesia).
Kempong Gembul jelas kecewa. Naskah Gajah Tertipu Kancil ciptaannya di bakar di tengah lapangan basket di halaman sekolah. Pakai acara sok drama segala. Menangis, mengiba, dan meratapi nasib naskahnya. Geblek juga. Ditulis sendiri. Dibakar sendiri. Ditangisi sendiri. Nelangsanya lagi, tak ada satu teman pun yang bersimpati pada penderitaan lahir batinnya.
Singkat kisah, drama Malin Kundang dipertunjukkan dalam gelar acara perpisahan siswa. Mungkin ada yang suka. Terharu. Atau bahkan bangga. Mungkin juga ada yang tak suka. Nggonduk. Tertawa. Atau malah ada yang meninggalkan kursi dan memilih asyik dengan gawainya.
“Mainmu bagus, Lian. Kamu memang pantas memerankan istri Malin.”
“Terima kasih. Semoga hanya dalam peran drama ini. Aku tidak membayangkan bila kelak benar-benar menjadi istri, Tatan, pemeran Malin itu. Kamu saja deh yang jadi istri Tatan. Secara, dia memang naksir kamu.”
“Eh, no way. Tidak masuk dalam kriteria dasarku.”
“Kenapa?”
“Wajahnya under score.”
Mereka berdua tertawa. Saling memandang penuh arti sebelum kembali sibuk membersihkan make up dari wajah. Lebih dari dua puluh menit mereka berkutat dengan bedak, rambut, kostum, dan alat-alat make up yang lain. Bagusnya, mereka melakukan semua itu dengan rapi dan teratur.
“Pa, Puspa?” Lian memanggil Puspa setengah berteriak. Dilihatnya Puspa sudah selesai dan mulai melangkahkah kaki meninggalkan ruang make up.
“Iya, Lian.”
“Tungguin. Bareng.”
“Lama sih.”
“Eh, bukan lama. Wajahku harus benar-benar bersih. Biar kembali cantik. Bebas dari noda peran bini Malin Kundang.”
“Ha, ha, nggak suka banget sih kayaknya kamu berperan sebagai bini Malin.”
“Lah, memangnya kamu bangga berperan sebagai emaknya Malin?”
“Nggak.”
“Nah.”
“Aku tidak membayangkan bila benar-benar harus mengutuk anakku. Wk, wk, wk. Jangankan mengutuk anak, mengutuk laki-laki saja aku tidak berani. Takut kuwalat. Susah dapat jodoh.”
“Ehm, artinya, kamu mau sama Tatan. Daripada kualat.”
“Enak saja. Nggak lah. Jika Tatan mendekatiku, akan kusingkirkan makhluk itu, tanpa harus kukutuk,.”
Lian tertawa ngakak. Lalu katanya, “Mak, mainmu tadi juga bagus.” Pujian yang tulus meluncur dari bibir Lian untuk Puspa.
“Mak, …, Mak, …, namaku Puspa, bukan Mak.”
“Kan kamu emak mertuaku.”
“Benar juga, ya.”
Petaka malam hari pun datang menghadang. Di depan gedung pertunjukan, seseorang berdiri menanti mereka. Berdandan rapi. Dari raut wajahnya, terlihat kalau orang itu memang sengaja menunggu Lian dan Puspa.
“Tuh, calon suamimu,” Lian menggoda, “eh, anakmu juga ya, Mak. Ha, ha, ha, anak bakal jadi suami. Incest. Parah kamu, Mak.”
“Namaku Puspa, Lian sayang. Bukan Mak. Dan ingat ya, aku tak akan pernah menjadikannya suamiku.”
Benar saja. Tatan memang menunggu Lian dan Puspa. Cinlok di drama Malin Kundang membuat Tatan mencoba memberanikan diri mendekati Puspa. Jalan awal yang dilakukannya mau tak mau harus dengan menebar pesona kebaikan. Memberi perhatian. Menawarkan sesuatu.
“Hai, Tan, ” sapa Puspa dan Lian bersamaan. Senyum teriring. Sapaan dan senyum full basa-basi. Setelahnya, Lian menyenggol bahu Puspa dan Puspa membalas dengan diam-diam mencubit pinggang Lian.
“Pulang dengan siapa?” Nah, kan. Aktor drama, tapi gagal membuat improvisasi kreatif. Begitu lurus. Mengulang-ulang pendekatan yang akan selalu dilakukan banyak orang.
“Belum tau, Tan,” Puspa menjawab jujur.
“Aku antar? Sejalan kan kita?”
“Naik?”
“Aku bawa motor.”
“Terus Lian?” strategi halus Puspa keluar. “Aku sama Lian saja, Tan. Thank you banget.”
Tatan mati langkah. Mati gaya. Tewas berdiri. Mulutnya juga meninggal. Tak punya cara lain lagi untuk mengajak Puspa pulang bareng.
“Lagi pula, aku dan Lian mau menyusul kakakku karaokean.”
Karaokean di mana? Ingin rasanya Tatan bertanya seperti itu. Boleh gabung apa tidak? Kita bisa bareng-bareng? Tetapi, malam itu, Tatan benar-benar tak bisa bersuara. Ia tak menyiapkan amunisi kata-kata yang banyak. Otaknya juga mendadak tumpul. Sementara kepasrahannya justru menjulang.
Tatapan mata kecewa Tatan menyertai kepergian Puspa dan Lian. Setiap langkah yang diayunkan kedua teman dramanya itu bagai menendang dada dan meninggalkan luka. Cinta pertamanya kandas. Terjebak karang tajam di antara deburan perasaan yang tak menentu.
Puspa dan Lian tak kuat menahan tawa lagi. Meledak lepas ketika mereka melihat dari sudut mata Tatan melangkah lunglai.
“Ha, ha, bagus kan?”
“Dasar, ehm, memangnya kita mau karaokean?”
“Nggak. Badanku capai. Lain waktu saja kita karaokean.”
Lian mengiyakan tanpa sadar. “Sama siapa?”
*****
Siapa yang sebenarnya hinggap di hati Kenanga? Perjalanan ribuan mil yang dilakukan Adorjan atau pesona duniawi yang ditawarkan wajah Arjuna? Atau sebenarnya Kenanga telah memiliki tambatan hati sendiri? Bukan Adorjan dan bukan pula Arjuna. Justru orang lain.
Sejujurnya, Kenanga begitu kagum dengan tekad besar Adorjan. Hanya bermodal chit-chat di Facebook, laki-laki itu nekat melakukan perjalanan lintas benua. Dari Eropa ke ujung benua Asia. Seorang diri, meskipun di sini ada Togog dan Mbilung yang menemaninya. Benar-benar sendiri. Tanpa Tivadar, karib kentalnya. Tanpa Tatya, gadis yang rajin melakukan video call ke Adorjan dan katanya pengin banget melihat wajah Kenanga secara langsung.
Bukan untuk berwisata. Bukan pula lantaran menghadiri suatu acara. Adorjan benar-benar datang karena ingin berkenalan langsung dengan Kenanga. Mengenal lebih jauh bila memungkinkan. Mengenal lengkap keluarga Kenanga, jika Tuhan memberkati.
Keterusterangan Adorjan pun membuat Kenanga semakin kagum. “Szeretlek,”[2] kata Adorjan di hari ketiga kedatangannya ke rumah Kenanga. Tidak berbelit-belit. Langsung mengekspresikannya. Mungkin karakter orang-orang Hungaria memang seperti itu. Tembak langsung untuk urusan rasa.
“Nem, Adorjan. Nem tudom elfogadni ezt. Ez túl gyors nekem.”[3] Toh, Kenanga mampu menolaknya dengan halus. Baginya, pernyataan Adorjan terlalu cepat. Belum waktunya. Masih panjang proses yang harus dilalui. Tidak sekadar datang, bertemu beberapa kali, lantas mengungkapkan perasaan secara terus terang. Kalau kelak ada apa-apa, kepada siapa aku harus mengadu. Le sambat kaliyan sinten?[4]
“Harus menunggu berapa lama, Kenanga?” sebuah pertanyaan yang wajar namun terasa sebagai suatu desakan bagi Kenanga.
“Tidak secepat ini. Okey, kita memang sudah cukup lama saling mengenal di dunia maya. Tetapi, berkenalan secara langsung beberapa hari. Masih banyak yang perlu aku ketahui tentang dirimu.”
Nada kecewa mengalun di dada Adorjan.