Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #8

Tembok Istana

Lantai marmer terasa dingin di telapak kaki Putri Intan. Rasanya seperti menawarkan kesejukan lain di tengah pancaran sinar matahari yang terik membakar. Putri Intan menyukai rasa dingin itu. Sudah beberapa waktu pula dirinya sengaja melepas sandal kulit dan membiarkan telapak kakinya menyerap rasa dingin dari lantai marmer yang diinjaknya.

Kursi kayu bercat warna emas yang diduduki putri istana itu beberapa kali bergeser. Sedikit sedikit berpindah jika Putri Intan bergerak mengambil makanan kecil di meja marmer berpermukaan bulat di tepi ruangan. Entah sudah berapa belas tahun kursi itu setia menemani Putri Intan. Entah sudah berapa kali pula kursi itu diperbarui catnya.

Sejak Putri Intan mulai lancar menulis, kursi itu pula yang selalu dipakainya untuk duduk selagi belajar. Di saat dirinya masih kecil, dua lututnya naik ke atas kursi. Bertumpu dengan lutut agar tangannya bisa leluasa berada di atas meja. Juga saat Putri Intan mulai gemar melukis. Tak pernah berhenti kursi itu dipakai Putri Intan untuk duduk menekuni lukisannya.

Nasib kursi itu sedikit membaik saat Putri Intan benar-benar telah dewasa. Tidak terlalu sering didorong atau digeser-geser. Tak harus merasakan lipatan lutut yang menekan. Tak juga harus terhenyak karena dipakai duduk dengan melemparkan diri. Mungkin, satu-satunya penderitaan yang masih dirasakan kursi itu terjadi saat berat badan Putri Intan bertambah.

Dan Putri Intan menjelma sebagai putri raja yang ayu rupawan.

Kulit kuning halusnya begitu lembut membungkus sekujur tubuh. Sangat terawat. Nyaris tidak ada satu titik pun yang menodai kesempurnaan kulit Putri Intan. Dari kepala hingga ke kaki. Dari bahu kiri ke bahu kanan. Dari ujung jari tangan hingga ke ujung jari kaki. Begitu sempurna. Menyatu dalam tubuh dengan perawakan yang tidak kalah tinggi jika dibandingkan dengan Pangeran Timur dan Pangeran Barat.

“Aku mau istirahat, …, capai melukis terus,” kalimat lembutnya mengalir.

Satu abdi perempuannya berdiri. Menerima kertas lukisan yang masih basah dan kemudian menggantungkannya di sudut ruang. Menyatu dengan lukisan-lukisan lain yang telah diselesaikan Putri Intan, majikannya. Satu abdi perempuan yang lain membereskan alat-alat lukis yang ditinggalkan Putri Intan di atas meja.

“Ndoro Putri menghendaki tidur siang?”

“Tidak. Aku mau duduk di teras depan. Mencari angin.”

“Teras depan sedang panas, Ndoro Putri. Matahari sekarang berada di utara. Menyinari langsung teras depan.”

“Oh, baiklah. Aku mau ke teras samping timur. Melihat ikan di kolam. Sudah lama aku tak memberi makan pada ikan-ikanku. Ehm, kandang burung kenarinya sudah dipindah ke timur juga, kan?”

Kedua abdi perempuan itu mengangguk. Sama-sama bersuara lirih. “Sampun.”[1] Untung mereka tadi cekatan memidahkannya saat Putri Intan masih menekuni lukisannya.

Mereka bertiga beriringan ke teras timur. Putri Intan lalu duduk di kursi besi di samping kolam, sementara kedua abdi perempuannya menunggui. Beberapa kali tangan Putri Intan menaburkan makanan ke beberapa sudut permukaan air kolam. Beberapa kali pula bibirnya tersenyum melihat ikan-ikan itu seperti berebut makanan.

“Lukisanku tadi, gambar seekor burung kenari yang terbang di atas kolam penuh ikan.”

“Pasti sangat bagus lukisannya.”

“Akan lebih bagus kalau itu bukan lukisan. Burung kenarinya benar-benar terbang di atas kolam,” kata Putri Intan. “Atau kenari itu kita lepaskan?”

“Jangan, Ndoro Putri. Kenari itu akan menghilang kalau dilepaskan. Pasti tak hanya terbang sebatas di atas kolam. Dan lagi, raja akan marah kalau kenari itu terbang.”

“Iya. Aku juga tak akan melepaskannya. Sayang kalau lepas, meskipun aku kasihan juga melihatnya terkurung di sangkar.”

Putri Intan memainkan permukaan air kolam. Membuat ikan-ikan itu terkejut dan menyelam menjauh. Putri bungsu raja tertawa kecil melihat itu. Lalu sorot mata indahnya berpindah pada burung kenari di dalam sangkar. Pada burung kecil yang kerap meloncat-loncat indah. Sekali lagi Putri Intan tersenyum. Ia teringat pada kata-kata Raja, ayahandanya, saat memberikan kenari dan sangkarnya. “Pelihara dengan baik. Kenari ini ditangkap Pameling dan dihadiahkan padaku. Sekarang kuberikan kepadamu.”

Pameling, …, Pangeran Pameling, …, Angling. Dengan cepat Putri Intan mengingat nama itu. Selain memang masih berhubungan saudara, Pangeran Timur banyak bercerita tentang Angling akhir-akhir ini kepadanya. Mulai dari pesan yang dikirimkan melalui Gumang sampai ke pertemuan mereka di kediaman Pangeran Barat. Termasuk tugas dari raja yang diemban Angling serta cerita tentang pendekar Cin yang diminta membantu Angling menyelesaikan tugas itu.

Sama seperti Angling yang mempertanyakan ke Pangeran Barat dan Pangeran Timur tentang alasan raja memerintahkan dirinya, Putri Intan pun sempat terhenyak waktu Pangeran Timur mengatakannya. “Mengapa Ayahanda memberikan tugas itu ke Rayi Mas Pameling? Mengapa tidak ke kakak saja?”

“Ayahanda yakin kalau Rayi Mas Pameling lebih bisa melakukannya.”

Tentu Putri Intan hanya menganggukkan kepala setelahnya. Sejujurnya, ia pun tidak meragukan Pameling. Saudara jauh beda kakek dan neneknya itu cukup punya nama di istana. Dari cerita yang didengarnya, Pameling cukup dekat dengan kedua kakaknya. Bisa dikatakan, Pameling merupakan andalan Pangeran Timur dan Pangeran Barat untuk menyelesaikan berbagai tugas kerajaan. Itu juga yang kemudian membuat Pameling dianugerahi gelar dan dikukuhkan secara khusus sebagai seorang pangeran oleh raja. Tak berbeda dengan Pangeran Timur, Pangeran Selatan, Pangeran Barat, dan dirinya sendiri sebagai Putri.

“Aku sudah lama tidak bertemu dengan Pangeran Pameling,” tanpa sadar Putri Intan menggumamkan kalimat itu. Lirih, namun tertangkap dengan jelas oleh kedua abdi setianya.

“Pangeran Pameling sudah jarang datang ke istanakah? Kenapa, Ndoro Putri?”

“Karena tidak dipanggil Ayahanda, tentunya. Atau karena tidak ada pertemuan khusus yang harus dilakukan dengan kakak-kakakku.”

“Kami juga lama tidak melihat Pangeran Pameling di istana.”

“Sama,” Putri Intan berkata pendek. Lalu lanjutnya, “Aku pun sudah lama tidak bertemu dengan kakakku satunya, Pangeran Selatan. Mungkin, hanya kakakku itu yang jarang kutemui. Tidak seperti Pangeran Timur dan Pangeran Barat yang kerap aku temui.”

Kedua abdinya menunduk diam. Tanpa kata terucap, mereka mengiyakan pernyataan Putri Intan. Sepanjang yang mereka tahu, Pangeran Selatan memang jarang berada di istana. Tidak seperti Pangeran Timur, Pangeran Barat, dan Putri Intan. Pertemuan mereka sebagai abdi istana dengan Pangeran Selatan pun sejauh ini mungkin dapat dihitung dengan jari karena menurut kabar Pangeran Selatan sedang mempelajari sesuatu di luar lingkungan istana.

“Mbok Mar, Mbok Nah,” panggil Putri Intan di tengah tatapan matanya ke arah burung kenari di dalam sangkar. “Mendekatlah,” katanya kemudian sambil menuju ke sebuah kursi. “Ada yang mau kutanyakan.”

Dua abdi yang dipanggil dengan Mbok Mar dan Mbok Nah beringsut mendekat perlahan-lahan. Walaupun mereka merupakan abdi kinasih, abdi terpercaya, dan abdi terdekat, keduanya tetap menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada Putri Intan. Tidak sekadar rasa hormat seorang abdi kepada majikan putrinya, tetapi juga sebagai ungkap kesetiaan dan kepatuhan mereka terhadap keluarga kerajaan.

“Menurut kalian, ehm, ehm,” tersirat nada ragu saat Putri Intan memulai kalimatnya.

“Iya, Ndoro. Bagaimana?”

“Ah, aku malu menanyakan ini.”

“Hanya ada kita bertiga di sini, Ndoro Putri. Tidak ada yang lain. Artinya, apa pun yang Ndoro Putri sampaikan kepada kami, tidak akan tersebar.”

“Tetapi aku malu.”

Kedua abdi setengah umur itu memilih diam. Tentu tak sopan bila terkesan mengejar dan memaksa Putri Intan untuk mengatakannya.

“Kalian janji, ya, jangan katakan kepada siapa pun. Juga tak boleh kalian sampaikan ke Ayahanda Raja, Ibunda Ratu, atau kedua kakakku.”

“Kami tentu tak berani melanggar larangan Ndoro Putri.”

“Ah,” potong Putri Intan dengan cepat, “tembok istana kadang bisa berbicara, Mbok Mar dan Mbok Nah. Aku benar-benar malu kalau sampai ketahuan.”

Udara bertiup semilir. Menggoyang dedaunan dan ranting pohon asem yang tumbuh membesar di teras timur tempat tinggal Putri Intan. Tiupan angin itu sedikit memberi rasa nyaman. Meneduhkan dan menyejukkan. Mengalirkan dan menyalurkan kekuatan baru di dalam hati Putri Intan untuk segera mengatakannya kepada kedua abdinya itu.

“Menurut kalian, Pangeran Pameling bagaimana?”

Dua abdi setia Putri Intan bertatapan. Tak percaya dan juga bingung untuk segera menjawabnya. Keduanya seperti harus meraba-raba. Mengapa Pangeran Pameling yang ditanyakan majikan putri mereka? Dan, bagaimana seperti apa yang dimaksudkan junjungan mereka itu?

Namun dalam satu hal, kedua abdi perempuan itu dapat menduga ke satu titik yang sama. Putri Intan tentu memiliki perhatian khusus kepada Pangeran Pameling. Hatinya pasti tertarik pada Pangeran yang sering bertemu dengan Pangeran Timur dan Pangeran Barat.

“Bagaimana?” desak Putri Intan sedikit menyembunyikan wajah. “Iya, kan, kalian membuat aku merasa malu.”

“Pangeran Pameling baik, Ndoro Putri. Selalu baik kepada kami kalau kebetulan bertemu di halaman istana. Pangeran Pameling selalu menyapa ramah kepada kami terlebih dahulu, sebelum kami menghormat kepadanya.”

“Maksudku, bukan sikap Pangeran Pameling kepada kalian.”

“Terus, kepada Ndoro Putri? Bukankah Ndoro Putri yang lebih tahu dan lebih bisa merasakan itu semua.”

“Aku, …, aku,” Putri Intan mendadak gelagapan. Pipinya merona.

“Ndoro Putri suka pada Pangeran Pameling, kan?” tanya Mbok Mar memberanikan diri. Semakin menyudutkan Putri Intan untuk tidak mengelak. “Saya bisa merasakan, Ndoro? Kami berdua bisa merasakan.”

“Tidak, bukan seperti itu, aku, aku, ….”

Mbok Mar dan Mbok Nah tersenyum dalam hati. Tatapan mata mereka beradu. Sepaham.

“Iya, iya, aku memang suka pada Pangeran Pameling. Tetapi jangan sampaikan ini kepada Ayahanda, Ibunda, atau kakak-kakakku. Janji. Kalian harus berjanji.”

Putri Intan memetik sembilan kuntum bunga. Beraneka jenis dan warna. Menyatukannya dalam genggaman. Mengikatnya dengan seutas tali dari gedebok pisan yang sudah dikeringkan. Diserahkannya pada Mbok Nah untuk dimasukkan ke vas bunga dari keramik di atas meja di teras timur.

“Tetapi.”

“Tetapi apa, Ndoro?”

“Pendekar Cin?”

“Maksud, Ndoro Putri?”

“Ah, kalian pasti tahu maksudku.”

*****

Maksud kedatangan pendekar Cin di sore itu, ingin menemui Jagad. Sudah lama ia tak menjenguk bocah itu. Sudah sekian waktu dirinya seperti lalai pada bocah laki-laki yang disuruhnya menjadi pembersih gedung sehabis dipakai latihan. Bahkan pendekar Cin pun sebenarnya tak tahu, Jagad masih di rumah dan gedung latihan itu atau sudah pergi lagi tak tentu arah.

Sore hari saat sampai ke ruangan tempat Jagad semestinya menetap, pendekar Cin mendapati ruangan itu tertutup rapat. Sesore itu tak mungkin Jagad berada di dalam ruangan dengan mengunci pintu. Sepertinya tidak masuk akal pula bila Jagad tengah tidur sore. Bocah seperti Jagad tentu tak mengenal tidur sore. Waktunya akan dipakai untuk pergi dan bermain.

“Sudah dua hari bocah itu tak pulang,” seseorang berkata agak keras. Setengah berteriak di sela-sela batuknya yang seperti menyiksa dirinya. Laki-laki tua. Sekitar dua kali usia pendekar Cin.

“Dasar bocah,” pendekar Cin mencoba menenangkan hatinya sendiri. “Terima kasih, Paman Tio.”

Lihat selengkapnya