Putri Intan begitu gembira ketika tanpa dinyana-nyana Pangeran Barat menawarinya untuk ikut pergi ke Sanggrahan. Kesempatan emas yang tidak akan pernah datang dua kali tentunya. Pangeran Barat sudah jarang mengajaknya pergi semenjak Putri Intan beranjak dewasa. Selain itu, datang ke Sanggrahan untuk sowan Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih, paman dan bibi mereka, merupakan hal yang langka.
“Aku minta ijin dulu kepada Ayahanda dan Ibunda,” kata Putri Intan di tengah perasaan bahagianya yang meluap-luap.
“Sebenarnya tidak perlu. Ayahanda dan Ibunda yang menyuruhku untuk mengajakmu. Kita berangkat besok pukul delapan. Berdua.”
Hari masih pagi saat putri bungsu raja itu selesai berdandan dan menunggu Pangeran Barat menjemputnya. Wajahnya bersinar ceria dalam dandanan yang secara jelas menampakkan dirinya sebagai putri bungsu seorang raja. Putri tunggal. Putri kesayangan.
Setelah menyusuri tepi Alun-Alun, Pangeran Barat membelokkan mobilnya ke arah utara sebelum berbelok lagi ke arah timur. Pangeran Barat sengaja melewati jalan itu agar dirinya nanti bisa berhenti sebentar di belakang pasar untuk mengambil buah tangan yang telah dipesannya untuk keluarga Gusti Bagus Mas.
Tak banyak kata-kata yang keluar dari Pangeran Barat. Kesibukannya mengemudikan mobil lebih diwarnai senandung lagu baru yang keluar dari speaker di bagian belakang mobil. Pangeran Barat pun seperti sengaja mendiamkan adiknya yang lebih banyak tercenung sambil memandang kosong suasana di depan.
“Jangan melamun,” keluar ucapan Pangeran Barat saat mobil memasuki jalanan sepi.
“Ehm, tidak melamun.”
“Atau, sedang memikirkan sesuatu?”
“Tidak.”
“Biasanya, gadis seusiamu tidak suka kalau diajak pergi. Lebih senang bepergian sendiri. Iya, kan? Nah, ….”
“Aku merasa senang bisa pergi ke rumah Tu Tih,” potong Putri Intan, “ada Ni Mas Sulih, kan? Sudah lama aku tidak bertemu dengan Ni Mas Sulih.”
“Hanya karena Lian? Ni Mas Sulih?”
Tangan kanan Putri Intan menepuk pundak Pangeran Barat. “Awas kalau dilanjutkan.” Namun tak urung, Putri Intan harus berusaha keras menahan senyum agar Pangeran Barat tak mengetahui perasaannya.
Halaman pendopo terasa sepi ketika mobil mereka memasuki pelataran rumah Gusti Bagus Mas dan istrinya Ratu Ratih. Sejatinya memang, pemilik pendopo tak pernah tahu kalau pagi ini mereka akan kedatangan tamu. Tidak pernah menyangka bila Pangeran Barat dan Putri Intanlah yang akan bertandang. Pun memang, tidak pernah ada pemberitahuan awal tentang kedatangan mereka.
“Kanjeng Pangeran, …, Kanjeng Putri, …,” salam hormat diberikan Gusti Bagus Mas, Ratu Ratih, dan Lian kepada Pangeran Barat dan Putri Intan.
“Saya dan Nimas Intan sowan Paman Gusti dan Ratu Ratih,” Pangeran Barat membalas salam hormat paman dan bibinya. “Mohon dimaafkan, tanpa pemberitahuan sebelumnya.”
Gusti Bagus Mas mempersilakan kedua tamunya duduk di ruang tamu. Meskipun sedikit heran dengan kedatangan tamu-tamunya, Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih terlihat gembira mendapat kunjungan putra dan putri raja, saudara sepupu mereka.
“Angling sedang tidak di rumah. Bahkan, beberapa hari ini belum pulang.”
“Rayi Mas Pameling memang sedang mendapat tugas dari Ayahanda,” Pangeran Barat berusaha menjelaskan. “Paman Gusti dan Tu Tih jangan khawatir.”
Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih mengangguk. Mereka memang tidak mengkhawatirkan Angling. “Semoga Angling mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan dapat segera pulang.”
Pangeran Barat melirik ke arah Putri Intan. Berusaha menangkap basah kekecewaan adiknya setelah tahu Angling tak ada di rumah yang mereka kunjungi. Tetapi di pagi itu, lirikan mata galak Putri Intanlah yang diterima Pangeran Barat.
“Lian, …,” suara Ratu Ratih terdengar memanggil perlahan. Terisi nada memerintah secara halus. “Jerang air, …, buat minuman teh.”
Lian mengangguk. Langkah kakinya beranjak pergi meninggalkan ruang tamu. Sebenarnya ia cukup mengerti tugas itu. Setiap ada tamu, dirinyalah yang harus menyiapkan dan mengantarkan hidangan. Ayah dan ibunya memang mengajarkan seperti itu.
“Biar saya temani Ni Mas Sulih di dapur,” Putri Intan berdiri menyusul Lian.
“Silakan Kanjeng Putri, tapi jangan sampai baju Kanjeng Putri kotor. Ah, Kanjeng Putri masih ingat nama Lian ternyata.”
“Tentu, Tu Tih. Tidak akan lupa. Nama lengkapnya, Putri Sekar Sulih, kan?”
Waktu merambat perlahan. Pangeran Barat berbicara banyak kepada Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih tentang keadaan istana, wilayah kerajaan, kehidupan masyarakat, hubungan kerajaan dan negara, serta tugas khusus yang sedang dilakukan Angling. Tak ketinggalan, Pangeran Barat menyampaikan pesan dari ayahanda dan ibundanya yang mengingatkan Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih tentang kesetiaan istana pada negara.
Sementara di dapur, Lian dan Putri Intan segera bercanda dalam gaya mereka. Sambil menunggu air mendidih, Putri Intan berkeliling melihat-lihat bagian dapur rumah Lian.
“Jangan bandingkan dengan dapur di istana.”
“Aku tidak membandingkan. Aku bahkan tidak tahu persis dapur istana seperti apa. Ha, ha, ha, senang saja hatiku melihat dapur di rumahmu.”
“Yu Mas Intan,” panggil Lian setelah melihat putri bungsu raja itu berhenti berkeliling.
“Ya, ….”
“Yu Mas ikut ke dapur, mau bertanya tentang Angling, kan?”
Putri Intan sedikit terkejut dengan pertanyaan terus terang yang disampaikan Lian. Namun dengan cepat ditutupinya. “Kok nuduh?” candanya ringan.
“Ha, ha, semua teman yang ikut aku ke dapur, ujung-ujungnya selalu bertanya tentang Angling.”
“Oh, berarti banyak yang bertanya tentang kakakmu ya, Ni Mas?”
“Lumayan banyak. Eh, jangan mendadak cemburu seperti itu,” goda Lian.
“Eh, siapa yang cemburu? Aku jarang bertemu dengan kakakmu di istana. Teramat jarang. Dan, memang tidak ada apa-apa antara aku dan Rayi Mas Pameling.”
Lian tahu. Meskipun isi kalimat Putri Intan seperti itu, ada nada lain dalam ucapan putri bungsu raja junjungannya. Tersirat kilatan mata yang lain dalam tatapan mata Putri Intan setiap kali mengucapkan nama kakaknya. Andaikata itu tidak terjadi pun, Lian mempunyai sesuatu untuk mengarahkan dugaannya.
“Yu Mas, ikut aku sebentar.”
“Kemana? Terus air yang lagi dipanaskan?”
“Sebentar saja. Airnya masih lama mendidih.”
Putri Intan mengikuti langkah Lian. Ia belum pernah berjalan-jalan di dalam rumah Lian dan mau tak mau hanya mengikuti terus. Sampai di depan sebuah pintu, Lian berhenti sejenak. Menunggu Putri Intan untuk lebih dekat.
“Ini kamarmu?”
Lian menggeleng. “Masuk saja. Sebentar. Tidak apa-apa. Aku mau tunjukkan sesuatu ke Yu Mas Intan.”
Putri Intan terpaksa mengikuti. Masuk ke kamar bersama Lian.
“Ini kamar Angling. Jorok memang, tetapi coba lihat ini,” Lian menarik sebuah laci dan menunjukkan sesuatu di dalamnya kepada Putri Intan.
Wajah Putri Intan memucat. Kaget. Tak percaya. Tidak pernah membayangkan ada barang itu di laci meja Angling. Sebuah lukisan. Lukisan wajahnya. Lukisan wajah Putri Intan.
Lian menutup laci meja itu lagi. Mengajak Putri Intan beringsut meninggalkan kamar Angling dan kembali ke dapur.
“Mau mengelak bagaimana sekarang?” Lian langsung memojokkan Putri Intan dengan sebuah pertanyaan telak ketika mereka sudah sampai di dapur lagi.
“Aku benar-benar tidak tahu. Itu, …?”
“Angling yang melukis sendiri. Aku sempat mengintipnya saat menyelesaikan lukisan itu. Benar. Aku tidak bohong. Pertanyaanku, Yu Mas, mengapa Angling melukis wajah Yu Mas kalau Angling tidak memiliki satu perasaan apa pun ke Yu Mas? Mengapa Angling hanya melukis wajah Yu Mas dan tidak melukis wajah orang lain, eh, eh, …, jangan cemburu lagi.”
Tangan Putri Intan melayang pelan ke dada Angling. “Kamu jahat.”
Suara air mendidih keluar dari cerek tempat Lian menjerang air. Dengan sigap Lian menurunkannya. Lalu menuangkannya ke kan kecil yang telah diisi dengan serbuk teh. Begitu cekatan. Seperti telah menjadi kebiasaannya sehari-hari.
“Biar aku yang menuangkannya ke cangkir,” Putri Intan menawarkan diri.
“Memang bisa?”
“Aku usahakan.”
“Ha, ha, ha, harus bisa. Berlatih supaya terbiasa. Kelak, Yu Mas yang harus menuangkan air teh ini dari kan ke cangkir Angling.”
“Eh, siapa juga yang mengharuskan?”
“Mau jadi istri solehah apa tidak?”
Putri Intan diam tak menjawab. Di tengah kesibukannya menuangkan air teh dari kan ke cangkir, pikiran putri bungsu raja itu mengembara tak tentu arah. Benar kata Lian tadi. Mengapa Angling hanya membuat lukisan wajahnya saja? Mengapa tidak membuat lukisan wajah yang lain? Tetapi apa alasan Angling melukis wajahnya? Untuk dihadiahkan kepadanya suatu waktukah? Atau untuk disimpan saja? Untuk Angling sendiri? Agar Angling mudah dan merasa dekat dengan dirinya? Tetapi apa alasannya?
Kalau Angling menganggap lukisan yang dibuatnya itu memiliki makna yang dalam, mengapa Angling tak pernah menyatakan itu? Mengapa setiap bertemu, walaupun bukan pertemuan yang disengaja, Angling diam saja? Atau, jangan-jangan Angling pernah menyampaikan sesuatu kepada Pangeran Timur dan Pangeran Barat? Menyampaikan sebuah hasrat yang memang belum berani dibukanya secara langsung. Tetapi bukankah selama ini kedua kakaknya juga tak pernah berbicara tentang Angling kepada dirinya? Tidak. Ketika berangkat tadi, Pangeran Barat seperti menggodanya.
Putri Intan menghela nafas panjang tanpa sadar. “Tetapi pendekar Cin?” Huh. Mengapa selalu nama ini yang datang mengganggu setiap kali dirinya memikirkan Angling? Mengapa kedekatan pendekar Cin dan Angling seperti onak di dalam daging? Bisa menyayat. Mampu melukai. Mengoyak keteguhan. Bukankah pendekar Cin memang ditugaskan Pangeran Barat untuk membantu dan menemani Angling? Mestinya, …, seharusnya, ….
“Sudah?” tanya Lian mengagetkan.
“Sudah, sudah. Keempat cangkirnya sudah aku isi.”
“Maksudku, sudah selesai melamunkan Angling Tengil, kakakku itu?”
“Ih, kamu,” Putri Intan melotot. Tentu pelototan mata bercanda. “Kita hanya membuat minuman empat cangkir?”
“Iya, aku tidak minum teh, Yu Mas. Hanya untuk Kanjeng Pangeran Barat, Yu Mas, Bapak, dan Ibu. Atau harus lima? Untuk Angling?”
“Heh, sudah. Jangan dilanjutkan.”
“Kenapa tidak boleh? Malu?”
“Iya, aku malu. Satu, aku dan Angling tidak ada apa-apa. Belum ada apa-apa, paling tidak. Belum pernah membicarakan apa-apa. Kedua, aku harus berpikir panjang jika harus mempunyai adik ipar cerewet seperti kamu.”