Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #10

Rembulan Strawberry

Café di dekat pintu masuk mall tidak begitu dipadati pengunjung. Hanya ada dua keluarga bahagia yang duduk di sisi bagian dalam. Sementara bagian café yang berada di sisi luar mall terisi empat pasang remaja. Seperti biasa, café semacam itu akan membagi layanannya menjadu dua area. Mengakomodasi kepentingan pengunjung perokok dan bukan perokok.

Tak jauh dari sudut sisi luar café, seorang satpam berdiri tegak. Sesekali kepalanya mengangguk pada orang-orang yang berlalu-lalang di dekatnya. Di balik badan kekarnya, ia harus tetap menunjukkan keramahan pada semua orang. Tak jarang, ia menyapa anak-anak yang berjalan di antara kedua orang tua mereka.

Beberapa kali satpam itu mengawasi seseorang yang berdiri di dekat metalen alvabak di dekat anak tangga teratas. Memastikan orang itu tidak sembarangan membuang abu dan puntung rokoknya. Dalam ingatannya, orang itu sudah empat kali menyalakan rokok. Tentu orang itu sedang gelisah menunggu seseorang. Entah orang yang ditunggunya belum datang atau sedang berbelanja di dalam mall. Perokok berat pastinya orang itu. Asap rokoknya seperti asap kepala kereta api. Ha, ha, ha, sejauh ini tak pernah ditemukan kereta api yang merokok. Dan bukankah kepala kereta api sekarang memakai mesin diesel?

“Gantian, …, aku yang berjaga di sini. Kamu berkeliling di dalam mall,” salah satu teman satpamnya mendekati.

“Siap.”

“Ada sesuatu?”

“Tidak. Hanya, lihat orang itu,” lirikan matanya memberi kode untuk mengawasi orang yang sedang merokok di dekat tangga mall. “Sudah empat kali ia menyalakan rokok baru.”

“OK. Aku akan mengawasinya. Oh, tidak perlu.”

Memang tidak perlu diawasi lagi. Orang itu terlihat langsung mematikan rokoknya ketika seorang perempuan menghampirinya dari dalam mall. Mereka berjalan pergi bergandengan dengan beberapa barang belanjaan di tangan. Meninggalkan kedua satpam yang kemudian saling melempar senyum.

Bukan hal yang salah bila kedua satpam itu harus waspada. Pekerjaan mereka memang harus mengawasi orang-orang yang datang ke mall. Menjaga keamanan mall. Menjaga ketertiban wilayah pekerjaan mereka. Mereka juga yang akan terkena akibat langsung bila sampai ketertiban dan keamanan mall terganggu.

Sejauh ini, mall tempat mereka bekerja memang aman. Tidak pernah ada keributan. Juga jarang menerima complaint dari pengunjung mall. Kendaraan yang terparkir di halaman mall atau di basement pun tidak pernah mengalami masalah. Tetapi, seperti kabar yang akhir-akhir ini beredar, kebanyakan mall meningkatkan kewaspadaan untuk menjaga keamanan mall dan pengunjungnya. Mall di kota lain telah mendapat bermacam-macam ancaman, meskipun kemudian tidak terbukti.

Di sebuah meja, di sisi bagian luar café, sedikit merapat ke dinding kaca yang tertutup blind screen dari dalam, Kenanga duduk dengan seseorang di situ. Tempat mereka sedikit tersembunyi, namun memberi kemudahan untuk dipakai melihat situasi di sekeliling. Juga membebaskan Kenanga dan orang itu untuk melihat cahaya rembulan di langit.

“Gerhana nanti, kabarnya,” kata orang itu kepada Kenanga dalam bahasa Inggeris.

“Oh. Benarkah?”

“Ya. Gerhana bulan strawberry. Biasa terjadi di bulan Juni.”

Kenanga mengangguk. Sebenarnya ia cukup mengerti tentang gerhana bulan ini. Gerhana bulan panumbralah yang dimaksudkan orang itu, tentunya. Bukan yang lain. Biasanya berlangsung empat jam dengan puncak gerhana terjadi sekitar pukul dua dini hari.

“Aku akan berusaha melihatnya nanti. Semoga tidak mendung.”

Orang di dekat Kenanga itu berdiri. Ia lalu mengambil sebuah amplop coklat dengan isi yang menggelembung, meletakkannya di atas meja, dan kemudian sedikit mendorongnya ke arah Kenanga.

“Aku harus pergi sekarang.”

Kenanga memasukkan amplop coklat itu ke dalam tasnya. Berdiri dan lalu mengulurkan tangannya. “Terima kasih.”

Orang itu pergi meninggalkan Kenanga. Tanpa menoleh lagi ia berjalan menyelinap di antara meja-meja café, lalu menghilang di sebuah sudut. Beberapa pengunjung café yang berada di sisi luar mall sempat memperhatikan orang itu, sebelum memalingkan kepala ke arah Kenanga. Seakan heran melihat orang itu pergi sendiri dan meninggalkan Kenanga di situ.

Kenanga tidak perduli dengan wajah menyelidik dari orang-orang itu. Acuh dirinya mengambil alat make up, membenahi wajahnya supaya lebih rapi, menyisir rambutnya yang hitam dan panjang, lalu memasukkan kembali semua peralatan make up dan sisirnya ke dalam tas.

Sama seperti orang tadi, Kenanga berdiri dan kemudian berjalan melintasi beberapa meja yang ada. Dengan membawa tas berwarna biru tua di tangan, Kenanga berjalan masuk ke dalam mall. Menghilang di balik pameran mobil yang ada di dalam mall. Melebur di antara para pengunjung mall dengan tetap menjaga jarak.

Laki-laki yang bersama Kenanga tadi sama sekali bukan Adorjan. Logat bahasa Inggerisnya sangat berbeda dengan cara berbicara Adorjan. Sama-sama berperawakan tinggi dan berhidung mancung, laki-laki yang baru saja bersama Kenanga tadi memiliki badan yang lebih berisi. Otot-otot tangannya lebih terlatih dan jari-jarinya pun terlihat lebih kuat. Wajahnya terkesan ramah dan murah senyum, meskipun sinar matanya teramat dingin.

Kenanga belum terlalu lama mengenalnya. Waktu itu ia datang ke karaoke tempat Kenanga bekerja dan kemudian mulai terlihat akrab dengan Kenanga. Tidak seperti Adorjan yang secara tegas mengutarakan rasa suka terpendamnya, laki-laki ini sama sekali tak pernah membicarakan hal-hal seperti itu. Pembicaraan mereka lebih banyak berisi tentang lagu dan penyanyinya.

“Siapa namanya?” tanya Tatin, teman sekerja Kenanga.

“Greg.”

“Doyan bule ternyata kamu.”

“Mereka yang memilih aku, bukan aku memilih mereka. Orang-orang yang bekerja seperti kita, tak bisa memilih. Kita yang dipilih,” Kenanga berkilah. Tawanya meledak bersama tawa Tatin.

“Memang sih.”

“Tetapi, ” kata Kenanga kemudian tanpa melanjutkan lagi.

Tatin menoleh. Memperhatikan wajah Kenanga dengan serius. Berharap Kenanga segera melanjutkan kalimatnya.

“Tetapi apa?” tanyanya setelah melihat Kenanga hanya berdiam diri.

Kenanga menggamit tangan Tatin. Mengajaknya duduk di pinggir tempat tidur setelah menutup pintu kamar. Ada sesuatu yang akan dibicarakan Kenanga dengan Tatin tanpa orang lain boleh mengetahuinya. Rahasia. Dan Kenanga percaya kalau Tatin akan dapat menjaga rahasia itu.

“Aku jahat tidak?” tanya Kenanga memulai percakapan. “Greg menyuruhku menjebak Adorjan.”

“Adorjan? Orang yang mengejar cintamu itu, kan? Lah. Kok bisa. Apa urusan Greg dengan Adorjan? Kapan Greg menyuruhmu melakukan itu?”

“Beberapa hari lalu. Kata Greg, aku harus berpura-pura menerima Adorjan. Berkencan dengannya, ….”

“Terus?” Tatin semakin tertarik.

“Greg akan membuat beberapa foto saat Adorjan mengencaniku.”

“Caranya?”

“Itu urusan Greg.”

“Terus?”

“Hanya itu. Setelahnya aku boleh pergi.”

“Untuk apa foto-foto itu nantinya? Dan wajahmu?”

“Kata Greg, aku tidak perlu tahu. Greg juga menjamin tidak ada wajahku dalam foto-fotonya.”

Hening. Tatin tenggelam dalam pikirannya. Menduga-duga sesuatu. Tetapi semakin ia berpikir, semakin dirinya tak menemukan alur kepentingan yang wajar dan bisa dinalar.

“Kamu tidak mencintai Adorjan sedikit pun?” pertanyaan Tatin terlontar perlahan. Begitu datar.

“Tidak. Sama sekali tidak. Kamu pernah melihat Adorjan di tempat kerja kita, kan? Malah kamu salah satu yang menemaninya. Nah, haruskah aku mencintai laki-laki seperti itu?”

Tatin menggeleng yakin. “Kita memang bukan orang baik-baik. Tetapi kita berhak dan tetap berhak mendapatkan yang terbaik menurut kita.”

“Tepat,” Kenanga mengambil tasnya.

“Kapan rencana Greg mau dilakukan?”

“Sudah.”

“Duniamu gila, Ken,” lalu lanjutnya, “dunia kita memang gila.”

Kenanga membuka lebar-lebar tasnya lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat. “Greg membayarku dengan ini.”

“Oh, banyak,” Tatin nampak tercenung.

Kenanga mengambil sebagian uangnya. Diangsurkannya pada Tatin. “Pakailah. Kita sama-sama membutuhkan. Ehm, Adorjan pasti akan mencariku dalam beberapa hari ini. Mungkin datang lagi ke rumahku di Sragen. Biarlah. Aku akan menghilang beberapa hari. Atau beberapa minggu. Sekadar menghindar dari Adorjan.”

“Dan Greg?”

“Aku tidak perduli dengan hasil foto yang didapatnya. Semoga benar seperti yang dikatakannya. Tanpa wajahku. Jika ia ingkar dan fotoku ikut tersebar luas, itu resiko tindakanku, Tin.”

Tatin mengangguk. Terdiam cukup lama. Tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya ia hanya membantu Kenanga melipat beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam koper.”

“Aku tetap belum bisa memahaminya, Ken. Mengapa Greg melakukan hal itu pada Adorjan? Tetapi, ah, sudahlah. Mereka bukan siapa-siapa. Tidak penting.”

*****

“Acara penting,” jawab Kemuning ketika Limbuk dan Cangik bertanya padanya tentang acara yang akan mereka datangi.

Bila Kemuning dengan dandanan hamil dan make up tipis sudah terlihat bersinar, maka berbeda dengan Limbuk dan Cangik. Keduanya sibuk mencari baju terbaru yang ada di almari. Bukan baju yang benar-benar terbaru sebetulnya. Lebih ke baju yang paling jarang mereka pakai. Baju selain baju yang biasa mereka kenakan di dapur.

Sekali Limbuk mencoba, berkaca, lalu bertanya pada Cangik, ibunya, tentang sepatu yang perlu dipakainya. Begitu pun Cangik. Sekali mencoba, berkaca seraya menggigit bibirnya yang hitam, lalu bertanya pada Limbuk tentang sandal yang pantas dipakainya.

Sebenarnya pula, itu semua bukan karena Limbuk dan Cangik ingin tampil wah saat menemani Kemuning. Mereka tidak bermaksud mengada-ada seperti selebriti yang mencari perhatian media. Keduanya hanya ingin berdandan sebagus mungkin sebagai tanda hormat mereka pada Kemuning yang berkenan mengajak mereka pergi. Sesederhana itu.

“Kalian memang kurang piknik,” komentar Kemuning menahan tawa saat melihat dandanan Limbuk dan Cangik. “Aku hanya mau ke Pawon Kulon, untuk makan nasi dengan sayur asam, ikan goreng, dan sambal mentah terasi. Sambil ketemu Mbak Riana.”

“Kata Nyonya, kita mau ke ‘acara penting’ tadi,” Cangik mengulang ucapan Kemuning.

“Makan kan juga penting?”

“Betul,” Limbuk kegirangan. Terbayang di benaknya dua piring nasi yang dipenuhi sayur asam, ikan goreng, kerupuk, tempe dan tahu goreng, serta sambal mentah terasi.

“Tetapi dandan biasa saja. Asal bersih. Jangan seperti mau datang ke acara halal bil halal keluarga besarmu.”

“Baik, Nyonya. Saya ganti lagi.”

“Eh, eh, tidak usah. Siapa tahu Mbok dapat kenalan,” goda Kemuning.

“Jangan!” teriak Limbuk. “Saya tidak mau memiliki bapak tiri.”. Wajah bulatnya langsung memerah membayangkan bencana yang bisa muncul bila dirinya mempunyai bapak tiri.

Cangik cengengesan melihat wajah aneh Limbuk. “Jadi bagaimana, Nyonya? Ganti atau tidak?”

“Tidak usah.”

Sopir membawa Kemuning beserta Limbuk dan Cangik ke Pawon Kulon. Tempat makan tradisional ini berada sedikit di luar kota. Cukup terkenal. Masakannya enak dan sesuai dengan lidah Jawa orang-orang jaman dahulu. Cukup besar tempatnya. Memungkinkan orang yang datang ke tempat itu untuk memilih tempat yang menyendiri jika ingin sambil mengobrol.

Dengan memegangi perutnya, Kemuning mengajak Cangik, Limbuk, dan sopirnya mencari gubug yang masih kosong di area Pawon Kulon. Dengan menyusuri tepi kolam buatan yang cukup luas, mereka mendapatkan gubug berukuran sedang di sisi kiri kolam. Cukup untuk delapan orang mestinya. Atau sebut saja cukup untuk tujuh orang, jika badan tambun Limbuk dianggap sebagai dua orang.

“Di sini saja. Kalian bebas memesan apa pun. Tetapi pesankan aku gurami goreng, sambal terasi, sayur asam, dan lalapan. Mbak Riana, …,” Kemuning meneliti sejumlah pesan yang masuk di smartphone-nya, “oh, masih agak lama. Mobil Mbak Riana masih dipakai menjemput anaknya.”

Limbuk dan Cangik jelas tak mungkin membaca. Mereka sama sekali tak bisa membaca dan hanya melihat-lihat gambar di daftar menu. Berulang kali mereka membuka daftar menu itu dari depan. Membalik halaman demi halaman yang ada tanpa bisa memutuskan pesanan yang mereka inginkan.

Kemuning tertawa melihat tingkah ibu dan anak yang telah bertahun-tahun menjadi asisten rumah tangganya itu. Ia pun tahu kalau Limbuk dan Cangik tak bisa membaca, namun mereka dibiarkan saja dengan sengaja. Supaya tahu betapa tidak enaknya bila tak bisa membaca dan menulis. Agar suatu ketika timbul greget di hati mereka, terutama Limbuk, untuk belajar membaca dan menulis.

Keberuntungan datang untuk Cangik dan Limbuk karena sopir yang ikut tertawa sedari tadi bersedia turun tangan. Menyelamatkan Cangik dan Limbuk dari ketidakberdayaan.

“Mun,” sebuah suara memanggil.

Semua menoleh. Lantas tercengang hampir bersamaan. Orang yang memanggil Kemuning benar-benar mempesona mata. Nada suara yang lembut menyertai kehadiran langkah sepasang kakinya.

“Jun, kok kamu di sini?” Kemuning menyambut panggilan Arjuna dengan rasa heran.

“Kesebelasanku dua hari lagi bermain di sini.”

“Oh,” Kemuning hanya mampu mengeluarkan suara pendek. Dirinya seperti harus bersusah payah ketika melanjutkannya dengan sebuah tawaran kepada Arjuna. “Duduklah, aku sedang menunggu Mbak Riana. Masih ingat?”

“Pemilik garmen itu, kan?”

Cangik menggamit tangan Limbuk. Mengajak menyingkir ke gubug lain. Begitu pun dengan sopir yang segera mengikuti Cangik dan Limbuk. Kelaziman dan tata krama. Bila majikan sedang menghadapi tamu, mereka harus menyingkir. Tidak sopan bila bergabung dan mendengar omongan mereka.

“Percaya ga, Mbok?”

“Apa?”

“Sekali bertemu, walaupun pertemuan tak sengaja, pasti akan diteruskan dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya.”

Lihat selengkapnya