Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #11

Tanah Basah

Lian berdiri menunggu di depan pintu toko obat. Sesuai pesan yang diterima melalui gawainya dari Angling, ia harus sudah harus bersiap di situ lima belas menit lepas dari pukul empat sore. Tak boleh terlambat. Celakanya, Lian bahkan tak tahu alasan Angling menyuruhnya menunggu di situ.

Puff. Lian meniupkan udara ke ujung poni rambutnya. Sedikit resah, matanya melirik arloji di tangan kirinya. Masih ada tiga menit sebelum waktu yang ditentukan Angling. Tiga menit tentu tak lama. Hanya seratus delapan puluh detik. Tetapi karena tiga menit yang berjalan berupa sebuah penantian, tetap saja menjadi suatu rentang waktu yang sangat lama bagi Lian.

Anak bungsu pasangan Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih yang tinggal di Sanggrahan itu awalnya hanya chit-chat dengan kakaknya. Sekadar bertukar kabar karena telah sekian lama tidak bertemu. Sama sekali tak ada prasangka kalau pada akhirnya ia akan diperintah untuk menunggu di sore itu.

Dapat salam, Mas. Dari Yu Mas Putri Intan.

Makasih. Salam balik.

Begitu saja?

Terus? Aku harus jingkrak-jingkrak kayak kuda logo Ferrari?

Ya, sudah. Lian kira, Mas bakal senang?

Memangnya kenapa?

Gpp. Ga penting.

Eh, …, eh, ….

Masa bodoh.

Waktu itu, Lian memang tak melanjutkan chit-chat-nya dengan Angling. Menutup layar smartphone dan berniat memasukkannya ke dalam tas. Hanya saja, notofikasi khusus yang dipasangnya untuk Angling tiba-tiba berbunyi lagi.

Yu Mas Intan bilang apa? Salam saja? Nggak, kan? Pasti ngomongin hal lain. Mencariku?

Iya. Beberapa kali menanyakan Mas ke aku. Pernah datang juga ke rumah Sanggrahan.

Datang ke rumah?

Bersama Pangeran Barat.

Oh.

Cuma oh?

Ga. Ga. Sekarang serius. Mengapa Yu Mas mencariku?

Ehm, …

Kok ehm, ….

Dijawab ga, ya?

Jawablah

…..

…..

Katanya, Yu Mas Intan suka sama Mas.

Ha ha ha

Tuh, kan. Cuma dikomen begitu. Bersyukur kek. Bahagia. Senang tiada terkira. Apa jawab yang romantis biar bisa di-forward ke Yu Mas.

Lama Angling tak melanjutkan chit-chat-nya lagi. Mungkin sibuk. Mungkin memang merasa tak perlu melanjutkan. Beberapa kali Lian menengok layar smartphone-nya. Angling tetap tak muncul lagi. Sampai, ….

Sorry, tadi lagi diajak omong. Ehm, kok kamu tahu Yu Mas suka ke aku?

Yu Mas bilang sendiri.

Masa sih?

Serius. Yu Mas bilang ke aku. Yu Mas sudah melukis wajah Mas dan ditaruh di kamarnya di istana. Persis Mas yang menyimpan lukisan Yu Mas Intan di kamar.

Woooiiii. Kamu membongkar kamarku?

Pernah. Ibu memintaku membersihkan kamar, Mas. Dan aku menemukan lukisan Yu Mas Intan di kamar Mas waktu itu.

Itu memang lukisan yang mau aku hadiahkan ke Yu Mas. Entah kapan nanti.

Tidak usah mengelak. Mas juga menyukai Yu Mas Intan, kan, sebenarnya?

Iya.

Cie cie cie, nanti aku screen captured, terus aku kirim ke Yu Mas.

Eh, …, eh. Maksudmu? Jangan. Jangan. Jangan.

Lian tak perduli. Tidak mau membalas chat dari Angling lagi. Ia memasukkan smartphone ke dalam tas. Meletakkannya di tempat paling bawah. Ditimbun beberapa alat make up.

Toh Lian tak dapat bertahan lama. Telinganya berubah risih ketika notifikasi panggilan berbunyi beberapa kali. Entah dari siapa. Bisa dari Puspa, Putri Intan, ayah atau ibunya, atau dari Angling.

“Ya, Mas,” jawab Lian di telepon.

“Penting. Kamu lagi di mana?”

“Toko roti. Tetapi sudah selesai. Mau pulang, tetapi masih ada satu titipan Ibu yang harus kubeli? Pripun, Mas?”[1] Lian menangkap nada serius dalam kalimat Angling di ujung gawai.

“Bisa menyeberang? Tunggu di depan pintu toko obat. Empat lebih lima belas menit. Tunggu, ya. Penting.”

Lian menurut. Dari toko roti, gadis bungsu itu berjalan menyeberang. Mencapai tepian jalan satunya, kemudian berbelok kiri. Menuju ke sebuah toko obat seperti yang ditunjukkan Angling. Tak ada waktu baginya untuk membantah atau bertanya lebih jauh. Hanya satu keyakinan, pasti Angling benar-benar ingin menemuinya karena sebuah urusan penting.

Sudah lewat satu menit. Empat enam belas. Angling belum juga menampakkan diri. Secara tak sengaja, Lian melempar pandangan ke perempatan di dekatnya. Tak begitu padat lalu lintas yang ada. Bisa dikatakan sepi malah. Orang-orang masih menahan diri untuk tidak pergi kemana-kemana kalau tidak penting.

Lian tak menyadari ketika dua orang perempuan telah berdiri di sampingnya. Mengapit di sebelah kanan dan kiri.

“Mbak Lian? Ada pesan dari Kak Angling. Mari berjalan bersama kami. Santai saja. Jangan menampakkan gelagat aneh.”

Meskipun merasa tak yakin dan tak mengenal kedua orang itu, Lian melangkahkan kakinya bersama mereka. Toh mereka sudah mengenal namanya. Juga sempat menyebutkan nama Angling tadi. Menyusur ke arah selatan sekitar lima belas meter, lalu berbelok ke kanan.

“Jangan khawatir. Mbak Lian aman bersama kami,” bisik seseorang di sebelah kiri. “Maaf terlambat satu menit. Ehm, sebetulnya tidak terlambat, tetapi kami harus memastikan bahwa Mbak benar-benar Mbak Lian adik Kak Angling.”

Lian merasa lega. Aman. Semua telah jelas. Mereka kenal Angling. Mereka juga tahu persis waktu yang diminta Angling.

“Kalian?”

“Saya Dini.”

“Saya Dina.”

“Ehm, apanya Angling?”

“Istri ketiga,” seloroh Dini.

“Istri keempat,” Dina menambahi.

“Ehm,” Lian tersenyum untuk pertama kalinya. Dirinya sadar, Dina dan Dini sedang mencandainya. “Lalu, istri pertama dan istri kedua Angling siapa?”

“Sedang dicari,” jawaban Dini membuat Lian tak kuat sekadar tersenyum. Bibirnya merekah dengan tawa perlahan.

“Kalau tidak ketemu, kami masing-masing naik dua peringkat. Dini jadi istri pertama, aku kedua.”

Lian tertawa lagi. Perkenalan awalnya dengan Dini dan Dina langsung terasa bisa cair. Mengalir. Tanpa sekat. Mungkin karena Dini dan Dina pintar membawa diri. Bisa pula karena mereka seumuran. Sebaya. Kesetaraan usia yang akan selalu membuat kedekatan terasa lebih mudah diciptakan.

“Kalau aku tidak setuju, posisi istri ketiga dan keempat pun tak akan bisa kalian pertahankan.”

“Memangnya Kak Angling begitu menurut ke Mbak Lian?”

“Sangat.”

“Oh.”

Lian menahan rasa gelinya. Beberapa kilas ia sempat mengawasi wajah Dini dan Dina. Tak salah. Mereka kembar. Kelihatan sekali kesamaan raut muka dan garis wajah mereka. Apalagi dua hidung mereka. Persis tak bisa dibedakan. Berbeda dengan Angling yang mengatakan Dina dan Dini tak mirip, Lian malah tak yakin dapat membedakan Dini dan Dina bila suatu waktu bertemu kembali.

Langkah kaki Dini dan Dina pun terlihat berbeda dengan langkah kaki orang kebanyakan. Cara kaki mereka menapak sangat ringan. Ayunan langkah mereka begitu lepas, namun seperti siap digerakkan ke arah mana pun. Dina dan Dini tentu memiliki kemampuan tertentu. Lian sangat yakin tentang hal itu.

Mereka tiba di samping gedung latihan. Suara di dalam gedung sesekali terisi dengan lengkingan lepas saat sebuah pukulan atau tendangan dilepaskan. Beberapa kali pula terdengar suara bak buk bak buk. Sesekali terlontar kalimat perintah pelatih wushu untuk bergerak, bergulung, dan melompat cepat.

“Itu Jagad,” kata Dina menunjuk bocah laki-laki yang sedang berlatih menendang di luar gedung. “Jagad! Ke sini sebentar,” lalu kata Dina ketika Jagad sudah mendekat. “Kenalkan, adik Kak Angling. Namanya Mbak Lian.”

Jagad membungkuk. Memberi hormat pada Lian. “Kakak pendekar,” katanya menyebut.

“Aku bukan pendekar. Panggil saja aku dengan Mbak Lian,” kalimat pembetul diucapkan Lian. “Lanjutkan saja latihanmu.”

Jagad menurut. Ia berjalan menyingkir. Menjauhi Lian, Dina, dan Dini yang kemudian beranjak dan masuk ke sebuah ruangan.

“Mbak, maaf, maafkan kami harus membawa Mbak ke sini. Maaf bila kami tidak berani menyampaikan pesan dari Kak Angling di jalan.”

“Kak Angling sendiri yang menyuruh kami untuk mengajak Mbak Lian ke sini,” kata Dini sambil mengeluarkan sebuah kertas bersampul. Diserahkannya pada Lian. “Silakan disampaikan juga dengan segera dan langsung kepada Ibu. Pesan Kak Angling seperti itu.”

Pesan itu berisi catatan Angling kepada ibu dan bapaknya. Meminta orang tuanya untuk lebih berhati-hati. Berdasar laporan yang diterimanya, rumah mereka telah diawasi sejumlah orang. Hanya saja Angling tidak menyebutkan siapa mereka.

“Di mana kakakku sekarang?”

“Sudah pergi. Selalu begitu. Datang dan pergi.”

“Dengan pendekar Cin?”

Dina dan Dini menggelengkan kepala hampir bersamaan. “Pendekar Cin biasanya baru datang malam hari.

Dina dan Dini kemudian mengantar Lian ke luar. Melepas kepergian adik Angling itu dengan tatapan mata lurus. Bagi mereka, yang penting, pesan telah disampaikan. Telah sesuai dengan permintaan Angling. Sekarang hanya perlu kembali ke tugas mereka. Menunggui Jagad berlatih. Mengajari bocah itu berlatih wushu sesuai perintah yang diberikan pendekar Cin kepada mereka.

Tak sulit. Jagad bocah yang berbakat. Tulang-tulangnya pun telah berkembang keras. Latihan yang dilakukannya pun seperti tak menemui hambatan berarti. Cepat menyerap ilmu. Cepat dan mudah mempraktekkannya. Jagad tak pernah mengaduh bila terjatuh. Tak mengeluh bila badannya kena sambaran pukulan yang tidak sempat dihindarinya.

Hanya saja, Dina, Dini, dan Jagad tidak tahu. Mereka kurang waspada dan tidak cukup awas. Sedikit jauh dari tempat mereka, sepasang mata mengawasi dengan cermat. Sepasang mata dari orang yang tidak mereka kenal?

*****

Perkenalan yang awalnya indah, kini harus diwarnai dengan pertengkaran hebat. Adorjan sampai mendorong-dorong tubuh Kenanga di pelataran parkir sebuah hotel di Solo. Berulang kali ujung jarinya mendorong bahu Kenanga. Beberapa kali pula suaranya terdengar membentak keras.

Orang-orang yang berada di sekitar mereka, hanya melihat sekilas dan kemudian bersikap tak perduli. Sepanjang masih sebuah pertengkaran, mereka cenderung memilih diam. Toh tidak ada yang terancam jiwanya. Mereka akan menganggapnya pertengkaran internal. Atau, pertengkaran pasangan muda.

Hanya pertengkaran di pagi itu kini sedikit berbeda. Kadang dengan adu argumen yang jelas. Kadang terisi kalimat-kalimat kalap khas Hungaria. Kalimat yang hanya bisa dimengerti Adorjan seorang diri tentunya.

Di dekat tempat mereka bertengkar, beberapa foto tersebar.

“Lihat itu!”

“Iya aku tahu. Tetapi jangan tuduh aku yang membuatnya.”

“Memang bukan kamu yang membuat. Tetapi, kamu pasti terlibat. Wajah yang kelihatan hanya wajahku. Wajahmu, tidak ada. Semua orang hanya akan tahu kalau itu aku. Tidak ada yang akan tahu kalau ada kamu di situ. Namaku hancur. Kalau sampai ke orang tuaku di Szentendre tahu, kalau teman-temanku di Szentendre tahu, aku harus bilang apa ke mereka?”

Lihat selengkapnya