Hari belum terlalu siang, meskipun dinginnya pagi telah lama berlalu. Cicit suara burung penyambut pagi pun seperti telah menghilang. Berpindah ke hamparan sawah atau pepohonan di tepi kali yang agak jauh dari tepi desa. Hanya terlihat beberapa burung perkutut dan tekukur yang terbang dari pelepah kelapa yang satu ke pucuk kelapa yang lain.
Suasana di sekitar pendopo terasa sepi. Gabah yang biasa dijemur di halaman pendopo kini hanya menyisakan gulungan anyaman bambu. Pertanda telah lama tak dipakai untuk mengeringkan gabah hasil panen sebelum dibawa ke penggilingan. Tiadanya gabah yang dijemur, tentu memaksa ayam-ayam pencuri gabah untuk mengalihkan tempat mereka mencari makan.
Pintu di sisi kiri dan kanan bangunan pendopo terkunci. Begitu pula pintu belakang di dekat sumur yang terkunci dari dalam dengan palang kayu.
“Mungkin, Ibu sedang tindak pasar, Den,”[1] salah satu tetangga yang tinggal sekitar dua ratus meter dari rumah pendopo Angling menjelaskan. “Tadi pagi ada dan tidak mengatakan mau bepergian jauh.”
Angling mengangguk hormat. “Baik, Bu Dhe. Saya tunggu saja di sini. Sebentar lagi Ibu tentu kondur.”[2] Lalu Angling mencoba membuka percakapan lebih panjang. “Sudah panen sawahnya, Bu Dhe?”
“Waa, sudah agak lama panennya. Tiga atau empat minggu yang lalu. Sekarang sudah menanam lagi.”
“Panen banyak?”
“Lumayan, Den. Air bagus. Pupuk pas mudah didapatkan. Tidak ada hama. Kalau setiap kali masa tanam seperti sekarang ini, panen padi bakal memuaskan petani.”
“Semoga saja begitu terus, Bu Dhe.”
“Iya, Den,” jawab orang itu pendek. “Maaf, Den. Saya harus ke sungai. Mencuci tikar. Kemarin malam dipakai acara kenduri. Selamatan satu tahun almarhum anak bungsu saya.”
“Iya, Bu Dhe.”
Angling termenung sendiri setelah itu. Seingatnya, almarhum anak bungsu orang yang dipanggilnya dengan Bu Dhe tadi bernama Damar. Sudah lulus SMP, bocah laki-laki yang gagah dan kuat, tetapi harus mati karena sakit tipes. Terlambat dibawa ke rumah sakit. Sayang sekali, memang. Seandainya tidak terlambat, nyawa Damar pasti dapat diselamatkan dan sekarang tentu sudah menjadi pelajar SMA. Bukan tak mungkin, setiap hari Damar sudah mondar-mandir dengan motornya. Berboncengan dan berpacaran dengan gadis-gadis dusun yang ada.
Di tiga anak tangga yang ada di pendopo, Angling duduk menanti ibunya. Kakinya terjulur lurus ke depan, sementara dua sikunya menopang badannya di sisi kanan dan kiri. Rasa kantuk dan penat diusirnya dengan bersiul-siul kecil. Sekadar memecah sepi. Kadang-kadang siulannya diganti dengan tiruan suara perkutut dengan menggunakan telapak tangan yang ditangkupkan.
Lain yang ditunggu, lain pula yang ternyata datang duluan. Angling bagai tak percaya. Ia pun tak menyangka kalau sepagi ini, rumahnya yang masih sepi, didatangi sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Mobil istana yang tentu hanya akan dinaiki oleh keluarga kerajaan.
Pangeran Timur turun dari pintu kiri belakang. Kemudian nampak Putri Intan dari pintu kiri depan sebelum disusul Pangeran Barat dari pintu di dekat kemudi.
“Sembah dan sujud saya, Kanjeng Pangeran berdua dan Kanjeng Putri,” Angling menyambut ketiga tamunya dengan sangat hormat. Meskipun telah tercipta kedekatan khusus antara dirinya dan mereka, tetap saja Angling tidak meninggalkan kesantunan dan adab istana.
Pangeran Timur membalas hormat Angling padanya dan kemudian membalas dengan pertanyaan. “Lah, …, kok malah sudah ada di sini?”
“Saya juga baru sampai, Pangeran. Belum sempat masuk ke rumah. Terkunci. Belum bertemu siapa pun. Ibu masih di pasar. Bapak sedang bepergian melihat-lihat sawah sepertinya. Lian, …, sedang sekolah.”
“Tidak apa-apa. Kita tunggu saja.”
Pangeran Timur berjalan ke sisi kiri pendopo, melihat-lihat bagian luar rumah Angling. Pangeran Barat menyusul Pangeran Timur. Menemani kakaknya melihat-lihat sisi luar rumah dan bagian belakang. Keduanya seperti sengaja meninggalkan Angling dan Putri Intan. Sedikit membuat Angling salah tingkah. Menyusul kedua pangeran itu, ehm, Putri Intan akan sendirian dan tentu tak bagus. Menemani Putri Intan dan mempersilakannya duduk di anak tangga pendopo, haduh, bisa dikira tak mau menemani Pangeran Timur dan Pangeran Barat.
“Di sini saja,” Putri Intan berkata lembut di antara senyum indahnya yang merekah.
Sebenarnya bukan sekali atau dua kali saja Angling dan Putri Intan ditinggalkan berdua bila sedang berada di istana. Dalam beberapa acara istana, acapkali Raja dan Ratu juga meninggalkan mereka. Kalau bukan Raja dan Ratu, Pangeran Timur dan Pangeran Baratlah yang melakukannya. Bahkan pernah sekali waktu saat duduk bertiga bersama Pangeran Selatan, tak lama kemudian Pangeran Selatan juga meninggalkan mereka.
Tetapi itu di istana. Tidak di pendopo seperti sekarang ini. Tidak di rumah Angling. Tidak sebelum Lian memberitahu kalau Putri Intan menyukainya. Jauh sebelum ada cerita tentang lukisan Putri Intan di kamar Angling dan lukisan Angling yang dipasang di kamar istana Putri Intan. Jauh sebelum itu semua. Jauh sebelum deburan-deburan perasaan aneh bergemuruh di dada Angling.
Dan sekarang, Angling seperti kehilangan kegagahannya. Angling tak ubahnya dengan laki-laki yang tak bisa berkata apa-apa ketika berhadapan dengan perempuan cantik. Putra sulung Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih itu mirip dengan pria gagu yang tak pernah mampu berucap sepatah kata.
“Kok diam?” senyum Putri Intan kembali terkembang.
Angling terhenyak. Katanya kemudian, “Bingung, Yu Mas. Bingung mau mempersilakan Yu Mas duduk di mana? Rumah terkunci.”
“Di sini pun tak apa-apa. Enak kok. Bisa sambil melihat pepohonan. Ehm, jangan panggil Yu Mas lagi ah, ….”
“Terus?” semakin gelagapan Angling jadinya.
“Intan.”
“Tidak berani,” Angling berkata jujur. “Kangmas Pangeran Timur dan Barat bisa marah. Raja dan Ratu pun pasti tidak berkenan.”
Putri Intan mengubah senyumnya menjadi tawa kecil. “Aku yang meminta, kan? Tidak ada yang akan marah.”
Angling mengangguk tak yakin. Beberapa kali ia memalingkan kepala dan melihat wajah putri bungsu raja dengan sembunyi-sembunyi. Benar-benar aneh sekarang. Permintaan sesederhana itu sudah membuat dirinya bergetar dan berdebar. Melumpuhkan kekuatan kaki Angling untuk menopang badannya.
Sedikit rasa syukur dinampakkan Angling bersama nafas yang dihembuskannya saat melihat Pangeran Timur dan Pangeran Barat mendekat kembali. Selamat sudah. Angling jelas lega.
“Tu Tih masih lama?”
“Mestinya tidak, Pangeran.”
Anehnya, Pangeran Timur dan Pangeran Barat malah tertawa mendengar jawaban Angling. Dua pasang mata mereka pun saling berkedip.
“Tak apa-apa. Bertemu Tu Tih itu acara nomer dua. Acara pertama, ….”
“Apa, Pangeran?”
“Aku mengantar Intan.”
“Aku juga mengantar Intan.”
Putri Intan membulatkan matanya. Lantas diubah biasa lagi ketika Angling menoleh padanya.
“Intan ingin bertemu. Katanya, kangen.”
“Kangen dengan Ibu saya?” tanya Angling belum paham juga.
“Iya. Aku kangen Tu Tih,” Putri Intan menyahut cepat.
“Bohong, …, tadi katamu, kangen Rayi Mas Pameling.”
Angling menundukkan kepala. Wajahnya memerah. Menahan malu. Juga tak berani menoleh untuk melihat kedua pangeran dan putri bungsu raja yang menjadi junjungannya. Begitu pun Putri Intan. Kulit wajahnya lebih kelihatan lagi kalau memerah. Sama-sama menahan malu, meskipun sebenarnya merasa suka dan gembira.
“Kalian tidak ingin kemana-mana?” Pangeran Barat memancing sebelum dilanjutkannya, “Rayi Mas Pameling, ajaklah Ni Mas Intan berjalan-jalan. Ke mana saja. Atau coba susul Paman Bagus Mas. Sampaikan kalau kami bertiga sowan.”
“Baik, Pangeran,” Angling beranjak. Bergegas untuk segera pergi menuruti kehendak Pangeran Barat untuk menyusul bapaknya. Namun sebelum langkah ketiganya terayun, suara Pangeran Barat kembali terdengar.
“Jangan sendiri, Rayi Mas. Ajaklah Ni Mas Intan. Biar Ni Mas tahu teriknya matahari di tepi sawah dan jernihnya air yang mengalir di parit-parit sekitarnya.”
Angling terlihat ragu. Perintah Pangeran Barat gampang-gampang susah untuk dilakukan. Pergi ke tepi sawah atau mengikuti aliran air parit tentu mudah ia lakukan. Angling kerap melakukannya dulu. Baik sekadar untuk menyusul bapaknya atau sekalian membantu turun ke lumpur persawahan. Mencangkul dan membajak sawah kerap dilakukannya dulu, bila semua penduduk desa sedang sibuk dan tak ada yang bisa dimintanya membantu mengolah sawah.
Tetapi kalau harus mengajak Putri Intan? Canggung sekali rasanya. Belum tentu Putri Intan bersedia. Bukan tidak mungkin Putri Intan menolak dan memilih untuk tetap berada di pendopo. Malu sekali rasanya kalau ajakannya itu, meskipun didasari perintah Pangeran Barat, harus mendapat penolakan. Dan sebaliknya, andaikata Putri Intan bersedia, oh, hal ini bukan tugas yang gampang. Angling harus menjaga keselamatan putri raja itu. Tidak boleh terluka sedikit pun biar kata hanya tergores ranting tanaman putri malu. Bahkan, ujung sepatu putri bungsu kesayangan istana semestinya tak boleh kotor terkena lumpur atau terciprat air sawah.
Apa pula kata Bapak nanti kalau dirinya datang menyusul bersama Putri Intan? Pasti mata Bapak akan menatap tajam dan memendam seribu macam pertanyaan. Berjalan-jalan ke tepi sawah bersama putri raja bukan persoalan ringan. Tidak sesederhana bila dirinya mengajak Lian ke sawah mengantar nasi dan minuman.
“Ayo,” Angling lebih terkejut ketika Putri Intan tiba-tiba telah berdiri di sampingnya. Keraguan hati dan lintasan pemikiran yang bermacam-macam telah membuat Angling tak menyadari kalau Putri Intan bersedia mengikuti perintah Pangeran Barat. “Ayo menyusul Paman Bagus Mas.”
“Baik, Yu Mas.”