Sebuah café, di petang hari.
Dua cangkir hot chocolate terhidang bersama pisang goreng keju dan french fries. Asap lembut mengepul. Menebar aroma segar dan harum. Memberi tawaran kehangatan untuk menindas udara dingin di luar yang tercipta lantaran hujan deras turun sejak pukul empat. Gerimis yang sekarang tersisa seakan masih membekap keengganan untuk beranjak.
“Jangan khawatir. Kamu dengan mudah akan dapat melupakan Kenanga. Aku jamin.”
“Tak semudah itu, mate.”
“Kamu bisa mencoba dan membuktikannya sendiri. Di desa-desa di sebelah selatan kota raja, banyak gadis yang tak kalah cantiknya dibandingkan Kenanga. Kata orang, mereka bisa cantik dan berkulit halus karena sesungguhnya masih keturunan ningrat. Aku tidak tahu pasti tentang itu memang, tetapi aku harus katakan, mereka memang benar-benar cantik.”
Adorjan mulai tertarik. Matanya lekat memandang ke arah Greg yang sedang menghirup coklat panasnya.
Hari ketiga setibanya Adorjan di kota raja bersama Greg, banyak cerita yang sudah didengarnya. Mulai dari kota raja yang luar biasa dan sangat istimewa, orang-orangnya yang ramah dan mudah mencair bila berkenalan, hingga gadis-gadis yang, kata Greg, begitu mempesona saat mereka tersenyum.
“Mudah bagi orang-orang seperti kita untuk mengenal dan dikenal mereka. Mudah pula bagi mereka untuk kita dekati. Percayalah, mereka pada dasarnya sangat mengagumi kita.”
“Karena kulit kita?” Adorjan menebak.
“Exactly. Tepat, mate. Wajah dan kulit kita seperti berarti berarti bagi mereka. Apalagi bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan. Mudah kita dekati dan kita pengaruhi.”
“How come?”
“Karena feodalisme, aku pikir. Mind set feodal. Bukan salah mereka sesungguhnya. Keadaan yang menjadikan mereka seperti terkagum-kagum dengan orang-orang asing seperti kita. You know, kolonialisme Belanda yang berlangsung begitu lama pada jaman dahulu membuat superioritas kulit putih seperti tak pernah terkelupas dari jalan pikiran mereka. Kalau boleh aku katakan, orang-orang di pedesaan itu sangat mudah terpengaruh oleh dua hal. Pertama, pengaruh kerajaan dan, kedua, pengaruh kita.”
“Terus?”
“Itulah yang aku bilang tadi. Begini. Kamu datang saja ke desa-desa dan, aku jamin, mereka akan menyambutmu dengan begitu ramah. Mudah bagimu untuk menarik perhatian mereka. Bahkan kamu tak usah bersusah payah menarik perhatian mereka. Begitu kamu datang, merekalah yang akan mendekat. Sepertinya mereka akan merasa bangga kalau dapat berdekatan denganmu.”
“Hmmh.”
“Gadis-gadis desa yang cantik pun akan berlomba-lomba mendekatimu. Aku tak bisa menjelaskan lebih jauh, tetapi seperti itulah yang akan kamu rasakan nantinya.”
“Oh.”
“Percayalah. Begitu kamu bertemu, kamu akan melupakan Kenanga.”
Adorjan sedikit membuang muka. Seperti sama sekali belum bisa melepaskan hati dan dirinya dari Kenanga. Setiap kali nama itu disebut, ia dengan mudah akan terbawa perasaan. Teriring luka di hati pula, sesungguhnya.
“Wait, visa-ku semakin terbatas. Aku sudah memperpanjangnya dulu, tetapi visa perpanjanganku pun semakin hari semakin habis. Tinggal tiga minggu sepertinya.”
“Makanya. Bergerak cepat. Siapa tahu jodohmu segera ketemu.”
“Di mana bisa kutemukan?”
“Karangpanjang, misalnya,” Greg menyebut sebuah dusun. Lalu dirinya terlihat berbisik-bisik. Bertutur panjang dengan volume suara lirih. Seperti meyakinkan dan memaksa Adorjan untuk semakin tertarik dengan ceritanya. Di ujung perbincangan, mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
“Berarti aku harus rajin datang ke sini,” sedikit perasaan lega terlihat di wajah Adorjan. “Pufff, andaikata Hungaria itu dekat, mudah bagiku.”
“Hanya empat belas sampai enam belas jam, kan? Mudah itu. Kamu bisa terbang Budapest- Jakarta dan terus ke sini berapa kali pun yang kamu suka.”
“Sounds good.”
Greg tertawa dan kemudian menepuk bahu Adorjan. “Mulailah besok pagi. Pergi ke Karangpanjang. Oh, aku mau titip sesuatu untuk Pak Marman. Tidak keberatan membawakan itu untuknya kan? Ia tinggal di pinggir jalan. Mudah mencari rumahnya. Pak Marman dengan senang hati akan membantumu berkenalan dengan tetangga-tetangganya. Aku jamin. Siapa tahu ada yang benar-benar dapat menjadi istrimu.”
Adorjan mengangguk. Seperti yang disarankan Greg, besok pagi ia tinggal pergi ke Karangpanjang, bertemu dengan Pak Marman, dan kemudian dirinya akan dapat melupakan Kenanga untuk selama-lamanya.
Jebakan sempurna.
Greg tersenyum. Wajahnya terlihat puas. Adorjan telah masuk ke dalam jebakan. Pemuda pemburu cinta dari Hungaria itu telah berhasil dilipatnya. Begitu mudah untuk dia tarik menjadi anak buah. Hanya dengan pancingan yang mengatasnamakan cinta. Hanya dengan sebuah bujuk rayu yang memang menjadi keahlian Greg. Dan hebatnya lagi, Adorjan tak sadar kalau ia telah masuk ke dalam jebakan. Sama seperti Kenanga yang dulu tak sadar kalau sebenarnya ia dimanfaatkan laki-laki itu untuk menjebak Adorjan.
Keesokan harinya, Greg sudah menanti Adorjan di depan lobby hotel. Berpakaian rapi dengan seulas senyum tersungging di bibir. Berhias keramahan pagi yang memang telah disiapkannya untuk Adorjan.
“Pakai mobil itu. Karangpanjang tak begitu sulit kamu temukan. Hanya sekitar dua puluh kilometer ke arah selatan. Oh, iya. Ini titipanku. Tolong sampaikan ke Pak Marman. Dan ini, sedikit untukmu jika ingin bersenang-senang ke pantai selatan.”
Adorjan sedikit terperangah. Tak disangkanya Greg begitu baik padanya. Menyediakan mobil dan bahkan memberinya uang saku.
“Kalau boleh tahu, apa isi bungkusan yang harus kuberikan kepada Pak Marman ini?”
“Ha, ha, ha, kamu begitu teliti. Tenang saja. Tidak berbahaya. Itu uang. Aku berhutang pada Pak Marman waktu membeli meubeler di bengkel kerjanya. Uang ini untuk membayar kekurangannya.”
Semua seperti dimudahkan. Adorjan harus mengakui itu. Kata-kata Greg pun benar semuanya. Meskipun sedikit kesulitan di saat awal mulai mengemudi dengan stir kanan, Adorjan akhirnya tiba dengan mudah tiba di Karangpanjang. Sekadar mengikuti jalan yang ada sepanjang dua puluh kilometer ke arah selatan, ia pun segera sampai di wajah dusun Karangpanjang.
Rumah Pak Marman dengan cepat ditemukan Adorjan. Bahkan, Pak Marman seperti sudah tahu kalau Adorjan akan datang. Laki-laki setengah umur berbaju lengan panjang coklat itu bahkan menyambut langsung Adorjan kertika keluar dari mobil. Tak ketinggalan, istri dan dua anak laki-laki Pak Marman ikut pula menjumpai Adorjan.
“Terima kasih. Tolong sampaikan pada Pak Greg nanti, titipannya sudah saya terima.”
Keramahan khas pedesaan. Adorjan dengan cepat merasakan itu. Cara penyambutan yang dilakukan keluarga Pak Marman, minuman dan hidangan yang disajikan, serta kedekatan yang diberikan sangatlah memberi kesan mendalam. Tidak ditemuinya di Solo, Sragen, atau di Szentendre. Benar-benar khas Karangpanjang.
Sewaktu Adorjan berjalan-jalan di persawahan Karangpanjang bersama salah satu anak laki-laki Pak Marman, beberapa anak kecil di dusun itu bahkan menguntit mereka beramai-ramai. Berteriak-teriak dan kadang bernyanyi. Membuat sejumlah penduduk lainnya keluar dan melambaikan tangan ke arah Adorjan.
Hanya memang, Adorjan tak langsung dapat berkenalan dengan gadis-gadis seperti yang diceritakan Greg kemarin sore. Beberapa yang bisa dikenalnya masih kecil-kecil, seusia anak-anak yang menguntit anak laki-laki Pak Marman dan dirinya ketika berjalan-jalan.
“Begitu tidak beruntungkah aku untuk urusan perjodohan?” Adorjan mengeluhkan nasibnya yang belum beruntung, “But, …, aku harus menemukan jodohku di sini.”
Selepas dari Karangpanjang, Adorjan sengaja mengarahkan mobilnya ke pantai. Tidak seperti pantai-pantai landai yang pernah dikunjunginya di Hungaria, pantai yang didatangi Adorjan terlihat lebih pendek. Sedikit banyak Adorjan bisa maklum karena di tempatnya berdiri, ia berhadapan dengan Samudera Hindia yang luas sehingga kebanyakan berupa pantai curam dan pasir pantai yang ada menjadi tidak begitu panjang. Di sisi kanan dan kiri, Adorjan dengan cepat melihat bukit-bukit karang terjal yang beberapa kali dihempas gelombang besar laut pantai selatan.
Saat Adorjan berjalan-jalan di pasir pantai sendirian, tatapan matanya melihat seseorang. Perawakan tubuhnya sangat bagus dengan rambut panjang hitam yang beriap-riap tertiup angin laut. Hati Adorjan segera berdegup kencang. Sekilas mirip Kenanga, namun saat mulai berdekatan Adorjan tahu kalau itu bukan Kenanga.
Bidadari pantai yang dikirim Greg-kah dia?
Adorjan dan orang itu berkirim lambaian tangan kecil. Berbagi senyum dan tak perlu waktu lebih lama lagi untuk keduanya terlibat dalam sebuah percakapan.
“Savitri,” sebuah nama terekam di daun telinga Adorjan.
“Adorjan. Panggil saja Ado.”
“Amerika, Australia, Inggeris, Jerman, Belanda?”
“Hungaria.”
“Oh.”
Di kemudian waktu, mereka telah duduk berdampingan sambil memandang ke laut lepas. Sesekali tawa mereka meledak ketika candaan muncul. Sesekali juga mereka saling bercerita panjang dengan yang lain menjadi pendengar yang baik.
“Tidak. Aku bukan penduduk sini. Kebetulan saja ke pantai. Ehm, tinggalku di desa di balik bukit itu. Kapan-kapan mampirlah ke rumahku. Karangsawi. Akan kukenalkan dengan keluargaku,”
“Good,” Adorjan tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. “Jauh dari sini?”
“Sekitar dua atau tiga kilometer. Tak begitu jauh.”
“Aku tadi dari Karangpanjang.”