Gumang datang terlebih dahulu. Mengenakan pakaian sederhana dan bersandal kulit warna coklat, tubuh laki-laki pengawal Pangeran Timur itu segera masuk ke sentong tengah di belakang pendopo rumah Angling. Ia memang dipesan seperti itu oleh Pangeran Timur atas seijin Ratu Ratih. Segera masuk ke sentong tengah tanpa harus berbasa-basi layaknya seorang tamu. Tujuannya jelas. Supaya kedatangannya tak banyak diketahui orang.
“Kanjeng Gusti Bagus Mas, Kanjeng Ratu Ratih, …,” uluk salam pendek diberikan Gumang kepada bapak dan ibu Angling.
“Duduklah, Gumang,” Gusti Bagus Mas mempersilakan, “kamu datang pertama. Kita masih harus menunggu beberapa orang.”
“Tidak apa-apa, Kanjeng.”
“Tidak ada yang mengikutimu ke sini, kan?”
“Setahu saya tidak, Kanjeng. Saya sudah berusaha berhati-hati sesuai pesan Kanjeng Pangeran Timur.”
Pembicaraan mereka sejenak terhenti ketika Angling masuk ke dalam rumah bersama Lian.
“Bapak, Ibu, …, mohon maaf, agak terlambat. Lian dandannya lama tadi.”
“Belum terlalu terlambat, Ngling. Gumang juga belum lama tiba,” ibu Angling menjawab dengan sebuah senyuman. Sepasang matanya memandang tajam ke arah Angling dan Lian.
“Kanjeng Pangeran,” Gumang memberi salam hormat kepada Angling dan kemudian menganggukkan kepalanya ke arah Lian.
“Lian, kemana saja kamu?” tegur Ratu Ratih. “Beberapa hari ini tidak pulang.”
“Saya bersama Yu Mas Intan, Bu,” Lian menjawab sedikit tergagap. “Juga dengan Puspa.”
“Benar, Ngling?”
“Saya tadi menjemput Lian di rumah Puspa, Bu. Lian yang menyuruh saya datang ke rumah Puspa. Ada Puspa tadi. Juga Stanley.”
“Stanley siapa?”
“Orang yang datang bersama Arjuna ke sini waktu itu.”
Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih tak memperpanjang percakapan itu. Bagi mereka sepanjang semuanya aman dan Angling tetap dapat melindungi Lian, hal itu sudah cukup. Suami istri ningrat ini begitu percaya pada Angling. Banyak hal yang mereka percayakan kepada Angling. Termasuk urusan Lian di kota raja.
Hanya memang, mereka sempat khawatir ketika dalam beberapa hari terakhir Lian tak pulang ke rumah. Ratu Ratih bahkan sempat ke kota raja sendiri untuk menemui Angling dan menceritakan kekhawatirannya mengenai Lian. Kekhawatiran yang wajar. Ketakutan seorang ibu yang sudah semestinya. Mengkhawatirkan anak. Apa lagi anak bungsu. Apa lagi anak perempuan.
Waktu itu, Angling pun segera menyuruh Dina dan Dini untuk mencari tahu keberadaan Lian. Selain itu, ia sendiri pun berusaha mencari adiknya. Kadang-kadang bersama pendekar Cin. Kadang pula sendiri. Dan sejauh keterangan yang diperoleh Angling dari pendekar Cin, Lian memang kerap pergi dengan Putri Intan. Kemana-mana berdua. Jika pun bertiga, Puspalah orang yang menemani Putri Intan dan Angling.
“Nampaknya sedang dekat dengan Stanley,” Dini memberi kabar yang sedikit lain. “Pemain sepakbola nasional itu.”
“Oh, hya. Aku tahu Stanley. Ia pernah datang ke rumahku di Sanggrahan bersama Arjuna.”
Benar atau tidak kedekatan Lian dengan Stanley, Angling belum tahu secara persis. Tadi di perjalanan ketika ia berusaha memancing-mancing tentang Stanley, Lian malah menjawab dengan paras tak suka. Tak satu kata pun ia peroleh tentang Stanley dari Lian. Dan jadinya, Angling lebih memilih diam.
Tak berselang lama, pendekar Cin datang dengan baju biru mudanya yang khas. Sejak membantu Angling secara khusus, pendekar Cin tak pernah lagi membawa pedangnya. Selain tak diperkenankan Angling, pendekar Cin memang tak ingin dirinya dikenal sebagai pendekar kejam dan karenanya lalu berusaha mengubah penampilan.
Lian sedikit melengos ketika melihat pendekar Cin. Ia menunjukkan rasa tak suka dengan kedekatan pendekar Cin dan kakaknya. Tentu, kesehariannya dengan Putri Intan secara tak langsung telah menempatkan dirinya untuk berada di belakang putri bungsu raja itu dan memandang orang selain Putri Intan sebagai pengganggu.
Menerima sikap seperti itu, pendekar Cin sedikit merasa tak enak hati. Ia mencoba melirik ke arah Angling dan mendapati kerdipan mata kecil dari Angling untuk tidak memikirkannya.
“Kangjeng Gusti Bagus Mas, Kanjeng Ratu Ratih, tuan Pangeran Pameling, dan tuan Gumang, salam hormat dari saya. Mohon maaf, saya datang paling akhir.”
Pintu dan jendela sentong ditutup Ratu Ratih dari dalam. Meninggalkan kesan sepi bila dilihat dari luar pendopo. Menghapus kecurigaan orang kalau di dalam sentong sedang berlangsung sebuah pertemuan. Pintu dan jendela yang ditutup memang membuat sentong menjadi agak gelap dan mengharuskan Angling menyalakan lampu penerang.
Lian yang tak jenak berada di dalam sentong berusaha pergi ke dapur. Beralasan menyiapkan minuman. Tetapi dengan cepat Ratu Ratih mencegah dan menyuruhnya kembali duduk. “Kamu juga harus tahu, Lian. Kita bertemu di sini untuk membicarakan hal penting. Tentang keselamatan kerajaan. Tentang keamanan negara.”
“Apa yang bisa saya lakukan, Bu?” Lian berusaha menawar. “Tak ada satu pun yang bisa saya lakukan.”
“Suatu ketika kamu akan tahu hal yang harus kamu lakukan.”
Lian menurut. Duduk diam dan berusaha mendengarkan pembicaraan panjang yang dilakukan berganti-ganti oleh keluarganya bersama Gumang dan pendekar Cin. Hanya memang, Lian belum sepenuhnya dapat menghilangkan rasa tidak sukanya pada pendekar Cin.
“Kamu dulu, Gumang,” perintah Ratu Ratih.
“Baik, Kanjeng Ratu Ratih,” Gumang menghelas nafas panjang. Tatapan matanya segera terlihat bersungguh-sungguh. “Situasi berkembang sangat cepat, Kanjeng. Kemarin dulu saya menemukan orang yang ditugasi membagi-bagi dana pergerakan untuk menggoyang istana. Namanya Adorjan. Dia yang mengantarkan uang itu ke sejumlah dusun. Beberapa kali saya membuntutinya dan baru kemarin sempat bercakap-cakap dengannya.”
“Adorjan? Aneh namanya,” pendekar Cin menukas cepat dan seperti ragu saat menebarkan pandangan matanya ke arah Gumang dan Ratu Ratih.
“Memang. Bukan orang sini. Saya belum tahu asal negaranya, memang, dan akan coba saya selidiki lebih jauh. Sekarang Adorjan sedang menjalih hubungan dengan Savitri, anak Pak Rusdiyanto, yang tinggal di Karangsawi.”
“Oh, orang yang sering bertemu dengan Raden Kuning?”
“Tepat, pendekar Cin.”
Angling memandang ibu dan bapaknya dengan wajah bertanya-tanya. Ia cukup takjub dengan komentar pendekar Cin dan berusaha mencari kejelasannya lebih jauh dengan melihat wajah bapak dan ibunya.
“Raden Kuning hanya seorang utusan. Saya masih berusaha mengetahui siapa orang yang menggerakkan Raden Kuning,” pendekar Cin menambah kabar yang membuat Angling semakin kagum, “maaf, tuan Pangeran, saya belum sempat membuat laporan tentang hal ini.”
Angling mengangguk.
“Adorjan pun bukan tokoh penting, Kanjeng,” Gumang kembali berkata setelah Angling mempersilakannya. “Nampaknya ia hanya dimanfaatkan. Bahkan mungkin ia juga tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan.”
“Maksudmu?” Gusti Bagus Mas bertanya cepat.
“Termasuk hubungannya dengan Savitri, Kanjeng. Adorjan nampaknya tidak tahu kalau ia masuk dalam jebakan asmara yang disusun Savitri, bapaknya, serta Raden Kuning.”
“Tetapi dia yang membagi-bagikan uang gerakan untuk menggoncang istana, kan?”
“Benar, Kanjeng. Namun sejauh kabar yang saya peroleh dari anak buah saya, Adorjan bahkan tak tahu tentang uang itu. Ia hanya mengantarkan sejumlah uang kepada beberapa orang, termasuk ke Pak Rusdiyanto, orang tua Savitri.”
“Kok bisa Adorjan tidak tahu tentang uang itu?” Angling menyahut dengan pertanyaan tentang Adorjan dan uang-uang itu.
“Adorjan berteman dengan Greg, begitu kabar yang saya terima. Greg berdiam di sebuah hotel di sebelah selatan istana. Greg inilah yang selalu memberikan sejumlah uang kepada Adorjan untuk diberikan ke beberapa orang.”
“Awasi terus Greg,” Ratu Ratih memberi perintah cepat kepada Gumang.
Gumang menatap Ratu Ratih dengan perasaan khawatir. “Terlambat, Kanjeng Ratu. Maafkan saya. Kabar dari anak buah yang saya tempatkan di hotel, Greg telah pergi dari kota raja. Menghilang. Mungkin ke Jakarta, mungkin pula ke kota lain.
Hening suasana di dalam sentong.
Lian dan Angling mendengar semua laporan yang diberikan Gumang. Berbeda dengan Lian yang masih harus meraba-raba semua cerita itu, Angling langsung dapat menangkap untaian cerita Gumang dan bahaya yang mengancam istana. Gerakan mengguncang istana bukan lagi kabar sebatas suara di telinga, namun sudah semakin mewujud. Benar-benar sudah disiapkan.
Dana yang disebarkan tentu dapat mempermudah beberapa tokoh di dusun itu untuk menggerakkan penduduknya. Dan seperti kabar lain yang ia terima, gerakan penduduk pedesaan memang diarahkan untuk mengganggu kewibawaan istana. Supaya penduduk desa tak percaya pada istana. Supaya mereka lebih percaya pada sejumlah tokoh yang kerap membagi-bagikan uang. Dan kalau kewibawaan istana terguncang, gerakan mereka akan diperlebar. Tak hanya dengan uang, tetapi juga dengan sebaran keyakinan tertentu. Semakin besar gerakan itu, semakin yakin mereka dapat mengganggu keamanan dan keselamatan negara.
Mereka ingin istana tak lagi dipercaya masyarakat. Bermaksud menguasai istana dengan cara mereka dan kemudian menyatakan tak lagi mengaku sebagai bagian dari negara kesatuan. Bila ini berhasil, mereka dapat lebih jauh memorakporandakan negara. Bila pun gagal, istanalah yang akan disalahkan.
Licik. Cara mereka licik. Mereka memang orang-orang licik.
Celakanya, gerakan mereka didukung pendanaan yang kuat. Dana yang diperoleh dari berbagai sumber dan diselundupkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab berkedok yayasan dengan segala macam aktivitasnya. Greg hanya salah satu. Angling yakin itu. Masih ada Greg-Greg lain dari beberapa negara yang tak menyukai gemah ripah loh jinawi-nya Indonesia. Masih banyak Greg-Greg lain yang memanfaatkan keterbatasan jiwa, pikiran, dan kecerdasan penduduk untuk membuat kekacauan di masyarakat. Ironisnya, niat jahat Greg-Greg itu mendapat sambutan hangat dari kekuatan-kekuatan tolol di dalam masyarakat yang memimpikan perubahan secara instan.
Angling benci hal-hal seperti itu. Mulut dan mimpi manis mereka teramat jelas kalau membodohi masyarakat. Dengan berdalih pada kebenaran dan kehidupan yang mudah, sebenarnya mereka tengah menjerumuskan masyarakat. Orang-orang itu hanya mengejar kepentingan mereka sendiri. Dan kalau kemudian negara kacau, merekalah yang akan menyatakan diri sebagai penyelamat negara. Menyatakan diri sebagai kelompok paling berjasa dalam membuat perubahan. Mereka tak akan perduli bila negara-negara lain bertepuk tangan melihat Indonesia yang subur dan makmur menjadi runtuh.
“Pendekar Cin?” Gusti Bagus Mas memecah keheningan.
“Saya, Kanjeng Gusti Bagus Mas.”
“Bagaimana laporanmu?”
“Sebagian sudah saya sampaikan kepada tuan Pangeran, ….”
“Panggil saja Angling kalau kamu terbiasa menyebut seperti itu. Tak usah dengan tuan Pangeran,” Ratu Ratih berucap sambil sedikit menahan senyum. “Aku sudah tahu.”
Tentu saja wajah pendekar Cin langsung memerah. Antara malu dan sungkan. Angling pun tak menyangka kalau ibunya akan berkata seperti itu kepada pendekar Cin. Benar-benar tak menduganya.
Tak jauh dari tempat Angling, Lian kian menunjukkan rasa tak sukanya. Bertambah dan menumpuk. Mengapa ibu pun seperti mendekatkan pendekar Cin pada Angling? Ah, hal ini tak boleh dibiarkan. Ia harus menceritakan hal itu pada Putri Intan.
“Sejumlah pedusunan kerap mengadakan pertemuan, Kanjeng Ratu Ratih. Di tempat terbuka. Banyak yang datang. Kadang-kadang penduduk lain dusun pun ikut datang. Setelah pertemuan mereka mendapat bingkisan. Saya tidak tahu persis isinya. Namun dari percakapan beberapa orang, mereka senang mendapat bingkisan setelah hadir di pertemuan-pertemuan seperti itu karena mereka bisa mendapat bahan makanan dan uang.”
Tentu bersumber dari dana yang dibagikan Greg melalui Adorjan, salah satunya. Angling dan Gumang memiliki pemikiran serupa dalam hal ini.
“Tetapi, dari penyelidikan saya, dana untuk pertemuan itu tidak hanya berasal dari Adorjan, seperti yang disampaikan tuan Gumang tadi.”
“Terus?”
“Dari sumber lain yang dibagikan oleh Zulfikar dan Yhasika. Orang Afghanistan dan Jepang, setahu saya. Mereka membagikannya untuk penduduk di pantai sisi barat. Ehm, sedang di pantai sisi timur, dibagikan oleh Sukisno dan Sutriman.”
“Sukisno dan Sutriman anak buah Raden Kuning?” Gumang bertanya.