Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #15

Manchester United

Konon, di saat-saat awal menjalani hukuman dari kahyangan dan harus turun ke bumi, Semar merasa kesepian. Togog yang juga menjalani hukuman turun ke bumi telah mendapatkan Mbilung, mantan raja selengekan, sebagai temannya. Tetapi Semar belum mempunyai teman satu pun. Kemana-kemana Semar harus sendiri. Melakukan semua hal tanpa siapa pun di bumi.

Tidak kekurangan akal, Semar memohon kepada orang tuanya untuk diberi teman agar tidak kesepian. Permintaan sederhana itu dikabulkan. Semar mendapatkan Bagong yang tercipta dari bayang-bayang tubuhnya. Selain itu, Semar juga bertemu dengan Gareng dan Petruk, dua begal yang ditundukkannya di hutan dan kemudian menjadi pengikutnya.

Bagong, Gareng, dan Petruk kemudian menjadi anak-anak Semar. Hanya saja, meskipun Bagong yang pertama kali menemani Semar, ia diposisikan sebagai anak bungsu dan urutan anak-anak Semar pun menjadi Gareng, Petruk, dan Bagong. Masing-masing memiliki kharakter dan sifat yang unik, namun pada dasarnya mereka ditakdirkan untuk menjadi penghibur, utamanya bagi ksatria-ksatria Pandawa dan anak-anak mereka.

“Selamat pagi, Bapak,” Gareng memberi salam pada Semar.

“Pagi, Pak,” Petruk menyampaikan salam hormatnya.

“Pagi, Mar,” Bagong berkirim salam dengan kekurangajarannya. Ia jarang memanggil Bapak dan selalu langsung menyebut nama bapaknya. “Masak apa? Aku belum makan.”

“Eh, Gareng, Petruk, Bagong, …, syukurlah kalian cepat datang. Aku memang membutuhkan kalian. Ada hal penting yang harus aku bicarakan.”

“Sudah masak apa belum?” Bagong masih saja mempertanyakan, “Aku belum sarapan. Lapar, Mar.”

“Semalam kamu sudah makan kan, Gong?” Gareng mencoba mengingatkan Bagong agar tak terlalu kurang ajar. Bagaimanapun juga ia merasa kasihan pada bapaknya jika makanannya selalu diganggu Bagong.

“Aku hanya makan Indihome empat bungkus semalam.”

Indomie?”

“Iya. Indomie.”

“Lah, empat bungkus semalam. Sekarang sudah lapar? Dasar kerbau. Makan banyak. Tidur. Dan tetap lapar.”

“Tapi aku semalam makan empat bungkus tanpa minum, Reng. Jadi kayak ular. Makan tanpa minum.”

“Berarti pagi ini kamu cukup minum saja,” Petruk menyahut ringan.

Semar terkekeh. Meskipun anak-anaknya kadang saling mengejek, sebagai orang tua ia menjadi terhibur. Namanya juga anak. Wingko katon kencono.[1] Bagi Semar, anak-anaknya yang bandel itu adalah permata hati. Selalu menghadirkan kebahagiaan. Selalu membuatnya dapat tersenyum di malam hari.

“Sudah sarapan dulu sana, Gong. Nasi, sayur, dan lauknya ada di meja makan.”

Bagong melenggang ke dalam. Menyerbu meja makan. Satu piring diisinya dengan nasi yang menggunung. Di atasnya diberi dua potong paha ayam,  leher dan kepala, serta dua hati dan ampela goreng. Ia seperti lupa kalau lauk ayam goreng itu sesungguhnya untuk satu keluarga dan Semar harus diutamakan.

“Bagong kalap,” komentar Petruk saat melihat sarapan yang dibawa Bagong ke ruang depan.

“Masa pertumbuhan,” sahut Bagong acuh. “Biar aku cerdas.”

“Cerdas dan serakah beda ya, Gong.”

Bagong menghentikan kunyahan nasinya. Matanya melirik ke arah Gareng. “Semar saja diam, kok kalian rewel?”

Semar kembali terkekeh. “Sudah, sudah. Makan saja dulu, Gong. Anak bungsu memang harus banyak makan. Ha, ha, ha, …. Habiskan nasinya, ya. Biar ayam di kandang langsung tertawa karena melihatmu kenyang.”

Suasana pagi di rumah Semar saat ini memang agak berbeda. Semar secara khusus memanggil anak-anaknya karena ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Sejak kedatangan Putri Intan, Pangeran Timur, dan Pangeran Barat  beberapa waktu yang lalu, sebenarnya Semar sudah berencana mengumpulkan mereka. Apalagi setelah Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih menerima kedatangan Gumang dan pendekar Cin. Semakin bulatlah tekat Semar untuk mengajak anak-anaknya mencermati keadaan. Meskipun dirinya dan ketiga anaknya hanyalah pembantu keluarga Ratu Ratih, tetapi mereka hampir selalu dilibatkan dalam banyak hal. Tak jarang, justru merekalah yang secara cermat mampu melihat permasalahan dan kemudian mengusulkan jalan terbaik agar terlepas dari permasalahan itu.

Di lain sisi, Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih pun sangatlah menghormati Semar. Bagi mereka, Semar seperti orang tua mereka sendiri. Keterbatasan Semar sebagai pembantu justru memudahkan mereka untuk menyerap pemikiran, nasihat, dan petuah-petuah klasiknya. Pun begitu pula sikap Gusti Bagus Mas dan Ratu Ratih kepada Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka sangat menyayangi ketiga anak Semar itu, seperti halnya mereka menyayangi Angling, Lian, dan tetangga-tetangga yang lain.

“Gareng, Petruk, Bagong, …,” Semar membuka pembicaraan di depan ketiga anaknya, “kehidupan kita yang selama ini nyaman, ternyata mulai mendapat gangguan. Istana digoyang beberapa kelompok masyarakat dan, menurut kabar, mereka mulai menimbulkan keresahan di bagian selatan istana. Liciknya, gerakan-gerakan yang mereka lakukan itu dibalut dengan alasan yang bermacam-macam.”

“Siapa yang mengganggu, Mar? Kelompok mana?”

“Pasti orang-orang licik itu lagi. Selalu saja mereka berulah. Menganggap diri paling benar, paling baik, paling suci, dan paling bisa menyejahterakan.”

“Mau mereka sebenarnya apa? Istana sudah berbaik hati dan selalu memperhatikan masyarakat sekitar. Juga sudah jelas, kan? Istana tegak berdiri di belakang negara kesatuan. Istana mengakui keberadaan negara dan dengan senang hati menjadi bagian negara.”

“Ya itulah, anak-anakku. Masyarakat banyak dibutakan mimpi yang ditebarkan orang-orang yang sebenarnya memiliki kepentingan tertentu. Mereka terseret untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan.”

“Terus kita harus bagaimana, Mar?”

“Eh, kita hanya orang kecil, Reng, Truk, Gong. Kita harus menunggu majikan-majikan kita. Menunggu aba-aba dari Gusti Bagus Mas, Ratu Ratih, dan Pangeran Pameling yang terdekat, menunggu titah kerajaan lebih jauhnya, dan perintah negara nantinya. Hal yang utama, negara harus tegak berdiri sebagai negara kesatuan. Kita tidak boleh tinggal diam kalau diminta membantu nanti. Meskipun kita hanya rakyat kecil, bukankah kita mencintai kedamaian, kita menghormati istana, kita bangga dengan negara kita. Kita siap melakukan apa pun untuk istana dan negara kita.”

“Setuju, Mar.”

“Sepakat.”

“Sepakat.”

“Karena pada dasarnya kita tahu dan sudah merasakan sendiri, kan? Negara kita yang kaya raya ini benar-benar ingin memberi kesejahteraan pada rakyat. Juga Istana. Sudah banyak melakukan hal yang baik bagi negara dan masyarakat, kan? Sementara kelompok-kelompok itu, eh, …, tak lebih dari kelompok yang sedang mencoba-coba. Kelompok yang senang bermimpi dan menyalahkan,” Semar berkata geram. Tangannya terkepal. “Senang mengadu domba.”

“Seperti VOC ya, Mar.”

“Seperti Sengkuni, Gong.”

“Oh, iya. Seperti Sengkuni. Ha, ha, ha. Tiga hari yang lalu Sengkuni dan Durna aku maki-maki, Truk, karena mereka kurang ajar. Menuduh aku mencuri pisang di kebun Mbok Lantip. Sengkuni bilang seperti itu ke Durna dan seperti biasa, Durna mempercayai Sengkuni, dan langsung mengomeli aku. Untungnya waktu itu Mbok Lantip pulang dari pasar dan tegas menyebut kalau pencuri pisangnya justru Aswatama, anak Durna. Ha, ha, ha, makanya Sengkuni dan Durna langsung aku maki-maki.”

“Kok tidak kamu sobek saja mulut Sengkuni, Gong,” Gareng memanas-manasi.

“Hampir saja, Reng. Hampir kupacul mulut Sengkuni. Nyaris juga kutempelkan sandal kulitku ini ke pipi Durna.”

“Terus?”

Lihat selengkapnya