Angling dan pendekar Cin telah beberapa saat berada di kediaman Pangeran Barat. Keduanya duduk bersebelahan. Tak banyak berbicara meskipun mereka tadi datang bersamaan. Setengahnya mereka menerka-nerka alasan Pangeran Barat mengundang mereka di pagi hari. Padahal kemarin malam pun mereka baru saja bertemu di tempat yang sama seperti saat sekarang ini.
“Pangeran Pameling dan pendekar Cin, silakan masuk ke dalam. Pangeran Barat menghendaki bertemu di dalam,” seseorang menyampaikan pesan Pangeran Barat kepada Angling dan pendekar Cin.
“Baik,” sahut Angling cepat. Diajaknya pendekar Cin masuk ke ruang dalam.
Ruangan masih sepi ketika Angling dan pendekar Cin masuk. Hanya terlihat enam kursi kosong berwarna hitam dan sebuah meja berbentuk lonjong dengan sebuah keramik putih berbentuk kucing di atasnya. Tiga jendela di dinding ruangan terbuka setengahnya. Memberi kesempatan sinar matahari dan angin pagi untuk menyeruak masuk.
“Kalian nampak semakin akrab,” suara Pangeran Barat memecah keheningan ketika kakinya melangkah masuk.
“Maksud Pangeran?” tanya Angling sedikit tak mengerti.
“Akrab, …, dekat, …, mesra, kalau boleh kusebut seperti itu.”
Angling dan pendekar Cin agak terhenyak. Sulit bagi mereka untuk memaknai kalimat Pangeran Barat. Sebuah pujiankah? Atau justru sebuah teguran?
“Mohon maafkan, bila kami salah,” Angling menunduk hormat. Diikuti pendekar Cin yang tersipu dan harus menyembunyikan wajahnya.
“Tidak. Tidak apa-apa. Tidak ada yang salah. Aku ikut senang kalau kalian memang menjalin hubungan seperti itu.”
Pendekar Cin tak berani mengangkat kepalanya. Tetap menunduk dan bahkan terlihat semakin dalam. Di benaknya terbentang berbagai pemikiran. Tentu Pangeran Barat tidak mengundang mereka hanya untuk mengatakan hal itu. Pasti Pangeran Barat memiliki hal-hal lain yang lebih penting untuk disampaikan.
“Duduklah.”
Angling dan pendekar Cin pun duduk menghadap Pangeran Barat. Sekadar duduk dan tak berani memulai bicara.
“Semalam, aku dan kakanda Pangeran Timur dipanggil Ayahanda. Waktunya, …, tak lama setelah kalian meninggalkan tempatku.”
Angling merasa kalau pendekar Cin melirik kepadanya dengan sembunyi-sembunyi. Ucapan Pangeran Barat menyiratkan adanya sesuatu yang sangat penting dan itu membuat pendekar Cin seperti berharap dapat berlindung di balik punggung Angling. Hanya setelah Angling mengirimkan seulas senyum, pendekar Cin mulai sedikit merasa tenang.
“Ayahanda mendapat berbagai kabar lain tentang perkembangan yang terjadi di sekitar istana. Tidak hanya di kawasan selatan. Sisi timur, utara, dan barat dikabarkan juga menghangat. Kakanda Pangeran Timur diminta Ayahanda memperhatikan sisi utara istana dan itu nampaknya akan diserahkan pada Gumang. Sementara sisi timur dan sisi barat, …, dipercayakan pada kalian untuk mengatasinya. Aku dan kakanda Pangeran Timur akan menangani wilayah selatan istana. Ehm, semoga pergolakan di sisi selatan istana dapat segera kami tangani.”
Angling menganggukkan kepala. Begitu pun pendekar Cin yang sudah mulai dapat menguasai diri setelah mendapat titik terang tentang tugas yang akan diembannya.
“Atau lebih baik, pendekar Cin menangani sisi barat istana, sementara sisi timur, ….”
Pangeran Barat tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Suara langkah seseorang terdengar mendekat mendatangi tempat mereka.
“Oh, bagus. Sudah ada di sini. Kakanda Pangeran, mohon maaf, Ayahanda ingin bertemu dengan Rayi Mas Pameling,” suara Putri Intan terdengar tergesa-gesa. Sepasang mata Putri Intan sempat beradu pandang dengan pendekar Cin sebelum dilanjutkan dengan anggukan kepala.
“Baik, Yu Mas Intan,” Angling menjawab tegas dan pasti.
Angling segera meninggalkan tempat itu setelah Pangeran Barat memberi persetujuan. Tentu ada hal yang sangat penting hingga Raja pagi-pagi sudah mengutus Putri Intan ke kediaman Pangeran Barat.
Putri Intan berjalan di samping Angling ketika meninggalkan kediaman Pangeran Barat. Telapak tangannya menggandeng lengan Angling. Sedikit bergayut. Agak manja. Seperti disengaja. Seperti ingin menunjukkan pada pendekar Cin kalau di antara Angling dan dirinya sudah terdapat kedekatan khusus.
Pertempuran hati. Pendekar Cin hanya dapat memandang tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak mungkin juga melakukan sesuatu di lingkungan istana. Betapa pun tak enak hatinya, ia tak boleh bertindak gegabah di lingkungan istana. Lagi pula, apa salahnya bila Putri Intan begitu dekat dengan Angling? Apa haknya untuk berkeberatan dengan hal itu? Siapa Putri Intan dan siapa dirinya?
Pendekar Cin hanya dapat berharap agar Angling dan Putri Intan segera menghilang di balik tembok istana dan tak terlihat lagi oleh matanya sekarang ini. Sementara jauh di dalam sanubari, pendekar Cin harus mengakui kalau hatinya merasa panas. Bagai terbakar. Hatinya terjilat api cemburu yang tak bisa ia kendalikan. Di saat rasa sukanya pada Angling semakin tumbuh dan di kala Angling pun menunjukkan hal yang sama kepada dirinya, mengapa ada perempuan lain yang hadir? Mengapa harus ada orang lain yang juga hadir untuk merebut hati Angling darinya? Mengapa hal seperti itu justru dimunculkan oleh Putri Intan? Dihadirkan oleh perempuan yang jelas tak akan mampu dilawannya.
Hati pendekar Cin sedikit terhibur saat mengingat kekonyolan mereka di titik nol beberapa hari yang lalu. Saat Angling dan dirinya berpelukan. Saat rasa gelisahnya dipudarkan Angling melalui petikan gitar. Saat-saat ketika pendekar Cin merasa Angling sangat menyayanginya.
Tetapi gandengan tangan Putri Intan yang baru saja dilihatnya? Ah, pendekar Cin kembali merasa resah. Dirinya seperti tercampak oleh kenyataan baru yang tak mampu ia hindari. Hatinya seperti dilumat dengan penumbuk batu. Bagai dipipihkan oleh hantaman perasaan.
“Masih bolehkah aku menyayangimu?”
*****
Angling berhenti di sebuah warung makan nasi rames sekitar lima belas kilometer di sisi timur laut istana. Dipesannya satu piring makanan dan segelas teh panas. Sambil menunggu pesanannya terhidang, Angling mengambil sepotong tahu goreng. Digigitnya bersama gigitan cabe berwarna hijau kecil. Masih kurang, Angling mengambil sepotong tahu lagi.
Suasana di warung nasi itu benar-benar sepi. Hanya ada perempuan tua yang sedang sibuk mengambilkan nasi dan lauknya untuk Angling. Di bagian belakang warung, Angling melihat bocah laki-laki tengah mencuci belanga dan panci.
“Mas, …, Mas bukan orang asli sini?” tanya perempuan tua itu ketika Angling menyantap makanan pesanannya.
Angling menggeleng. Menghirup teh panasnya.
“Saya tidak pernah melihat Mas sebelumnya. Tidak pernah atau tidak ingat,” kata perempuan tua itu lagi. Disambungnya dengan suara tawa pendek.
“Belum pernah, pastinya. Ini pertama kalinya saya mampir ke warung. Kenapa, Mbok?”
“Tidak apa-apa. Sekadar bertanya saja. Sepi soalnya. Dari tadi belum ada pembeli. Dari tadi, saya belum bercakap dengan siapa pun. Lah, mau bicara dengan siapa kalau pembeli juga tak ada.”
“Ha, ha, ha. Iya, Mbok. Benar juga. Nah bocah di belakang warung itu?”
“Cucu. Cucu satu-satunya. Sejak kecil ikut.”
“Kemana orang tuanya?”
“Tak mengenal orang tua kandung. Sejak lahir dititipkan ibunya ke aku. Menantu perempuan kurang ajar, …. Ah, nasib cucuku itu memang buruk. Ditinggal ibunya sejak kecil.”
“Bapaknya?”
“Sudah mati. Hanyut di kali ketika mencari ikan.”
Tanpa sengaja Angling melemparkan pandangannya ke belakang warung lagi. Cucu laki-laki perempuan tua itu telah menyelesaikan pekerjaannya. Tangan basah dikibaskannya ke kaos merah yang dikenakannya. Kaos Manchester United lagi. Nomer 6 dengan tulisan Pogba di punggung.
“Mbah, sudah selesai. Apalagi yang harus dibersihkan?” tanya bocah laki-laki itu kepada neneknya.
Pertanyaan bocah itu menyiratkan kalau dirinya bukan bocah yang malas. Dalam penangkapan Angling, bocah itu tak hanya seorang bocah yang rajin, tetapi bahkan bocah yang sudah tahu membantu orang tua.
“Sudah, Nang. Tidak ada lagi. Nanti kalau sudah sore, ambilkan saja cabe, kacang panjang, buncis, dan kelapa. Sudah kubayar. Tinggal kamu ambil.”
“Ya, Mbah.”
Angling tak bisa mengikuti pembicaraan perempuan tua itu dan cucunya terus menerus. Seseorang datang masuk ke warung. Duduk tak jauh dari Angling dan memesan segelas teh panas. Awalnya Angling hanya sekilas melihat orang itu. Tak begitu memperhatikan. Tetapi kemudian, …..
“Kenanga?” tanyanya sedikit ragu. Angling berusaha menepis keraguannya dengan sebuah senyuman.