Tergopoh-gopoh Semar memanggil anak-anaknya. “Gareng, Petruk, Bagong, ayo cepat! Kita harus ke kota raja! Aku melihat warna merah. Aku melihat prahara. Aku melihat bencana. Kota raja harus selamat.”
Bagong yang sedang tidur, terbangun karena kakinya ditendang Limbuk. Kena tepat di tulang kering. “Maaf. Sengaja. Kita dipanggil bapakmu, Gong.”
“Halah, paling Semar mau pamer selingkuhan barunya. Aku tidak tertarik. Anak bakul kacang, kan?”
“Bukan. Ada hal besar di kota raja.”
“Dangdutan? Siapa bintang tamunya? Via Vallen apa Nella Kharisma?” tanya Bagong setengah tidur. Lalu terdengar lagi dengkurannya yang keras.
Limbuk tidak menjawab lagi. Pasrah. Terserah Bagong saja. Dibangunkan dengan ditendang pun tak mempan. Mau bagaimana lagi? Harus dengan tindakan yang lebih keras lagi untuk membangunkannya?
Cangik meminta Limbuk meninggalkan Bagong. “Tidak usah dipikirkan. Biar kakak-kakaknya yang membangunkan. Kamu sendiri, Mbuk, cepat ganti pakaian. Bibirmu perlu diberi lipstick. Biar tidak pucat.”
“Iya, Mbok.”
Petruk berlari mendatangi Semar dengan kapak di tangannya. Senjata khas kepetrukannya memang itu. Kapak licin nan tajam dengan gagang hitam dari kayu jati hutan.
“Bencana apa? Prahara apa?”
“Nanti kita lihat. Mana Gareng?”
“Apa, Pak. Aku sudah di sini,” jawab Gareng cepat. Meskipun jalannya terpincang-pincang karena disequilibrium panjang kaki, anak tertua Semar ini lebih peka pada panggilan Semar.
“Mana Pak Dhemu Togog? Mana Mbilung?”
Sebelum Petruk bergerak memanggil dua orang yang ditanyakan Semar, Togog dan Mbilung telah berjalan mendekat. Setengah berlari.
“Ada apa, Semar, adikku? Ada apa Ismaya?” Togog berusaha meredakan kepanikan Semar dengan memanggil nama adiknya. Di sebelahnya, Mbilung berdiri tegak sambil cengar-cengir.
“Perasaanku tidak enak. Kota raja sedang bergolak. Kita harus ke sana.”
“Aku pun merasakan itu, Semar. Kamu benar, kita harus ke sana. Mungkin kehadiran kita diperlukan di sana.”
“Mana Bagong?”
“Masih tidur,” Limbuk menyahut.
“Bangunkan.”
“Tidak mau dibangunkan. Limbuk sudah menendang tulang keringnya. Tetap tidak mau bangun,” Cangik menjawab mewakili Limbuk.
“Guyur dengan air! Kalau perlu, lempar pakai gayungnya. Petruk, bangunkan adikmu!” Semar memerintah dengan nada keras.
Petruk beringsut ke belakang. Mengambil gayung tanpa air. Mendatangi Bagong, lalu memukulkan gayung itu di lantai dekat kepala Bagong beberapa kali. Meninggalkan suara keras. Memaksa Bagong untuk benar-benar bangun.
“Pukulkan ke kepalanya kalau tetap tidak mau bangun!” teriak Semar.
“Anarkis,” Bagong mengomel. “KDRT kamu, Mar. Tidak boleh. Anak harus kamu sayangi. Bukan kamu siksa.”
Delapan orang berjalan beriringan dengan langkah cepat menuju kota raja. Semar dan Togog berjalan di depan dengan langkah-langkah aneh karena bentuk tubuh mereka yang tidak ramah keluwesan. Cangik dan Limbuk menyusul di belakang mereka dengan mengangkat kain yang membalut tubuh hingga ke atas lutut. Gareng dan Limbuk berjalan berdampingan tanpa suara di belakang Limbuk dan Cangik. Barisan paling belakang, diisi Petruk dan Bagong yang berjalan setengah berlari.
“Istirahat dulu, Truk. Beli es teh atau milkshake strawberry,” Bagong merajuk.
“Kepalamu, Gong.”
“Wah, diajak baik-baik malah menjawab kasar.”
“Semar marah nanti.”
“Ya biar, marah. Aku haus, …, Truk. Beli es, yook.”
“Yook.”
Bagong dan Petruk memisahkan diri dari enam orang di depannya. Mereka menghampiri penjual minuman di tepi jalan. Menyiapkan uang dan kemudian memesan.
“Maaf, sudah habis,” jawab penjualnya sembari meringis.
*****
Tidak ada yang tahu.