Pelangi Merah Putih

Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Chapter #19

Geger Istana

Sore menjelang petang. Matahari telah bergerak turun di sisi barat. Bahkan hampir hilang semuanya ditelan bumi. Udara senja pun bertambah redup. Tak menyisakan lagi rasa menyengat seperti beberapa jam sebelumnya.

Riuh suara orang di Alun-Alun yang telah dijejali begitu banyak orang yang datang dari berbagai arah. Tak hanya di situ. Jalan-jalan yang menuju ke Alun-Alun pun tak menyisakan tempat kosong. Semuanya terisi oleh orang-orang yang duduk dan berdiri dengan beragam wajah dan peluh kepenatan setelah menempuh perjalanan jauh.

Di lengan mereka, pita pelangi melingkar.

Saat-saat awal mereka datang, suara yang terdengar hampir seragam. Mereka meneriakkan kalimat tuntutan agar raja bersikap adil, kerajaan diperkuat, dan memisahkan kerajaan dari negara. Bersahut-sahutan dan tak henti-hentinya teriakan itu terdengar. Penuh semangat.

Dalam pengamatan Angling, pasukan keamanan negara yang diperbantukan di sekitar istana menghadapi hal itu dengan bertindak sangat baik. Mereka berdiri tegak dengan wajah memandang lurus ke depan. Ramah namun tegas. Terlihat gagah dengan senjata yang mereka pegang erat-erat.

Suara-suara riuh di Alun-Alun mendadak mereda ketika terdengar adzan Maghrib. Langsung hilang dan hening ketika suara muadzin memanggil mereka untuk menegakkan sholat. Sebagian besar dari mereka pun kemudian sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan sholat jamaah.

“Benar, Rayi Mas Pameling,” kata Pangeran Barat setelah tak terdengar lagi suara adzan. “Tujuan mereka sebenarnya mengacau negara. Menggunakan alasan istana. Berpura-pura menyoal kebijakan Ayahanda. Sangat rapi.”

“Kita belum menemukan siapa yang sebenarnya menggerakkan ini semua, Kanjeng Pangeran.”

Senyum tipis terkembang dari bibir Pangeran Barat. “Intel negara sedang bekerja. Kita tunggu hasilnya.”

“Apa yang akan dilakukan istana?”

“Seperti titah Ayahanda. Tidak melakukan apapun. Kakanda Pangeran Timur sedang menghadiri pertemuan dengan komandan pasukan keamanan negara.”

“Bersama Raja?”

“Tidak. Ayahanda tetap di istana.”

Angling mengangguk. Mencoba untuk tersenyum.

“Oh, Rayi Mas Intan tadi berulangkali menanyakanmu. Dia begitu khawatir.”

“Ah,” Angling tersipu.

“Rayi Mas, maaf kalau aku menanyakan ini. Rayi Mas mencintai Ni Mas Intan?”

Oh. Jawaban apa yang harus diberikan? Angling mengeluh dalam hati. Kadang-kadang Pangeran Barat menggodanya dengan pendekar Cin. Terkadang menanyakan hubungannya dengan Putri Intan. Bahkan sempat bertanya tentang Kenanga. Haruskah dijawab dengan kata iya? Ini mungkin jawaban paling aman. Pangeran Barat tentu senang dan tidak keberatan. Di antara Putri Intan dan Pangeran Barat, mereka sering membicarakan tentang hal itu layaknya adik yang bertanya pada kakaknya. Toh Putri Intan juga sering menampakkan secara terbuka ketertarikan dan kedekatan yang ada. Dulu di pendopo rumahnya, saat menyusul Gusti Bagus Mas ke persawahan, dan waktu menemaninya saat dipanggil Raja.

Tetapi bagaimana nanti dengan pendekar Cin? Sejujurnya hati Angling lebih tertambat pada perempuan pendekar ini. Dirinya lebih dapat merasakan getar-getar kasih yang ada saat bersama pendekar Cin. Banyak langkah bersama yang telah mereka lakukan. Menjalankan perintah Raja. Memenuhi panggilan ke kediaman Pangeran Barat. Juga, saat mereka bersama-sama menyatukan perasaan untuk Jagad.

Dan Kenanga? Perempuan muda ini benar-benar luar biasa. Baru sebentar mengenalnya, tetapi Angling dengan cepat seperti merasakan keinginan luar biasa untuk bisa lebih dekat. Lantaran penampilannya yang berbedakah? Lantaran dandanannya yang lebih memikatkah? Karena sampai harus menderita saat dihajar Perempuan Pelangikah?

“Kanjeng Pangeran, saya ….”

Gumang tiba-tiba datang dengan nafas memburu. Memberi hormat kepada Pangeran Barat dan Angling, “Pangeran berdua diminta ke kediaman Pangeran Timur.”

Angling segera beranjak bersama Pangeran Barat dan Gumang. Mereka menyusur jalan yang menghubungkan kediaman Pangeran Barat dan Pangeran Timur. Jalan khusus yang dapat dilalui tanpa perlu melewati banyak pengawal istana.

Saat melintas di sebuah belokan, Angling mendadak memisahkan diri. Matanya menangkap sekelebat bayangan yang bergerak cepat ke sebuah bangunan. Dengan cepat dan hati-hati Angling mengikuti bayangan itu. Sengaja tak langsung menangkap dan hanya mengikuti dengan mengendap-endap. Sayangnya orang dan bayangan itu kemudian masuk ke sebuah ruangan melewati sebuah pintu yang segera ditutup kembali.

Angling menebarkan pandangan ke beberapa arah. Mencari pintu lain, jendela, atau lubang yang memungkinkannya untuk mengamati suasana di dalam ruangan. Tidak ada sama sekali. Hanya ada satu pintu lain berwarna hijau dan kuning di samping bangunan. Itu pun harus didatangi dengan berhati-hati karena ada sejumlah bongkaran bangunan di sekitarnya.

“Kita mulai sebentar lagi. Dua orang di sebelah timur membuat kekacauan di situ. Bakar atau apa saja. Hati-hati. Ada kepala divisi timur yang ikut menjaga. Juga dua orang di sisi utara dan selatan, lakukan yang sama. Empat orang di sisi barat. Ingat. Sasaran kita menawan Pangeran Timur, Pangeran Barat, Putri Intan, dan, ….”

Stanley? Angling membatin. Meskipun tak yakin, dirinya cukup mengenal aksen suara Stanley. Ehm. Jadi Stanleykah yang berada di belakang semua ini? Siapa yang mendanainya? Dengan siapa saja dia bergerak? Oh, jadi dia mendekati Lian agar bisa dekat pula dengan Putri Intan sehingga bisa memiliki akses untuk masuk ke istana? Licik. Tangan Angling tergenggam. Geram. Hatinya terbakar marah. Lebih marah lagi karena Stanley berani menggunakan adiknya untuk melakukan gerakan di dalam istana.

“Brak,” Angling mendorong pintu dengan keras. Melompat masuk dan segera menyerang sejumlah orang yang langsung mengepungnya.

Benar Stanley. Mata Angling menangkap wajah dan sosok Stanley di situ. Hanya saja, Stanley langsung meninggalkan tempat itu dan tidak memberi kesempatan kepada Angling untuk mengejarnya.

Sepuluh orang yang mengepung Angling bahkan langsung menyerang dan mendesak Angling dengan senjata mereka. Kemarahan Angling memuncak. Ia menyambar sebuah tongkat yang ada dan kemudian membalas setiap serangan yang datang ke dirinya. Tak perlu waktu lama. Enam orang langsung terbaring dan terduduk ketika tongkat Angling menyambar kaki, punggung, dan kepala penyerangnya. Empat penyerang yang lain berusaha bertahan dari serangan Angling, namun itu pun tak lama. Mereka segera terpojok dan akhirnya terbanting di lantai.

Beberapa pengawal istana yang datang kemudian menawan kesepuluh orang yang sudah ditundukkan Angling. Menggiring mereka ke sebuah tempat yang kemudian dijaga dengan sangat ketat.

Angling segera menyusul ke kediaman Pangeran Timur. Bertemu dengan empat orang yang sudah menunggunya. Pangeran Timur dan Pangeran Barat langsung menghampiri dan bagai mencermati keadaan tubuh Angling yang agak kotor.

“Stanley, Kanjeng Pangeran. Dia ada di dalam istana. Dia yang memerintahkan beberapa orang untuk membuat kekacauan di dalam istana.”

“Kita perketat penjagaan di sisi timur, selatan, dan barat istana. Sisi utara nampaknya lebih aman. Aparat negara sudah ikut menjaga.”

Tanpa berembug panjang, Pangeran Timur bersama Gumang segera berpindah ke sisi luar. Pangeran Barat kembali melangkah ke barat bersama pendekar Cin, sementara Angling berjalan ke sisi selatan. Nalurilah yang menuntun Angling untuk pergi ke sisi selatan. Angling percaya kalau Gumang akan dapat melindungi Pangeran Timur. Angling juga percaya kalau pendekar Cin akan sepenuh hati menjaga Pangeran Barat. Tetapi untuk sisi selatan.

“Banyak tamu menanti di luar kediaman Pangeran Timur dan Pangeran Barat,” seorang pengawal memberi kabar kepada Angling.

“Tamu?”

“Sahabat-sahabat istana, Kanjeng Pangeran. Sebagian sudah disambut oleh Pangeran Timur dan Pangeran Barat.”

“Bagaimana dengan kediaman Raja dan Ratu?”

“Sudah dijaga dengan sangat ketat. Juga kediaman Kanjeng Putri Intan.”

“Kediaman Pangeran Selatan?”

“Sebagian sedang menuju ke sana. Kami belum bertemu dengan Pangeran Selatan dari tadi.”

Waktu merambat perlahan. Suasana di dalam istana terasa tegang. Hening namun seperti menyimpan sesuatu yang setiap saat bisa meledak. Dapat memadamkan seluruh lampu yang telah dinyalakan di dalam istana. Bisa membuat istana menjadi gelap gulita. Memaksa orang-orang untuk meraba-raba di dalam gelap.

Terpantik pemikiran dan kekesalan di diri Angling. Bagaimana orang-orang itu bisa menyusup ke istana? Setidaknya, bagaimana Stanley bisa sebebas itu menggerakkan orang-orang untuk mengacau di istana? Haruskah dirinya mencurigai Putri Intan? Haruskah Putri Intan dan Lian? Atau siapa?

Angling kembali terkesiap. Matanya menangkap bayangan Lian di sisi luar bagian selatan istana. Berdiri sendiri dan kelihatan menanti seseorang. “Lian!” teriak Angling begitu keras. Teriakan yang dimaksudkan untuk mengingatkan. Teriakan yang dilandasi oleh kekhawatiran Angling terhadap adiknya. Teriakan untuk memintanya berhati-hati.

Terlambat. Stanley sudah berada di dekat Lian. Tangan kirinya memegang pedang pendek yang ditempelkan di leher Lian.

“Mundur kalau ingin adikmu selamat.”

Angling bergeming. Ia tetap maju menghampiri Stanley dan Lian. “Lepaskan. Aku sudah tahu niat burukmu. Aku tahu niatanmu mendekati adikku, mendekati Yu Mas Putri Intan. Lepaskan adikku. Atau aku harus menghajarmu.”

Stanley tertawa. Dengan satu gerakan, dia memberi tanda pada sejumlah orang yang ada di situ. Menyuruh mereka untuk mengeroyok dan menyerang Angling. Sementara itu, tangan kiri Stanley semakin lekat menempelkan pedang pendeknya ke leher Lian.

Amarah Angling kembali meluap. Apalagi ia tahu Lian benar-benar berada dalam bahaya di tangan Stanley. Salah bertindak sedikit saja, leher adiknya akan digores tanpa ampun oleh laki-laki licik itu. Namun jika harus menunda tindakan, Angling pun khawatir keadaan Lian akan semakin berbahaya.

“Tolong, …,” terdengar Lian meminta perotolongan pada kakaknya. Tangisnya pecah. Air mata jatuh ke pipinya menandai ketakutan di diri Lian. “Aku takut. Aku salah, Kak.”

“Adikmu sendiri yang mengaku. Dia yang salah. Bukan aku,” Stanley tertawa licik. Tersirat kebengisan di wajahnya kala berucap seperti itu.

“Adikku tak pernah salah,” Angling membela adiknya. “Kamu yang menjebaknya. Lepaskan!”

Stanley kembali tertawa. Menyeret Lian ke belakang dengan tetap menempelkan pedang pendeknya.

Angling tak bisa menahan kesabarannya lagi. Ia menerjang maju dengan cepat. Menyerang langsung ke dada Stanley. Tetapi Stanley dengan licik memasang tubuh Lian sehingga memaksa Angling membelokkan serangannya. Itulah yang dikhawatirkan Angling. Kelicikan Stanley akan muncul dan menggunakan tubuh adiknya untuk melindungi diri.

Belum lagi, kini pengepung Angling mulai menyerang dengan gerakan-gerakan acak. Sisi kiri mengayunkan senjata dari atas, sisi kanan sebaliknya, dan sisi belakang menyerang secara membuta ke bagian dada dan punggung. Cukup merepotkan Angling akhirnya. Pukulan dan tendangannya banyak yang mentah karena sebelum mengena musuh sudah harus ditariknya kembali.

Kesempatan itu digunakan Stanley untuk menyeret Lian dan kembali menghilang di sebuah tempat. Hal ini membuat Angling tidak mau bertindak setengah-setengah lagi. Pukulannya menghajar bahu seorang penyerangnya dan tangannya dapat merebut pedang yang dibawa orang itu. Dipakainya untuk bertahan dan menyerang. Merobohkan musuhnya satu per satu hingga akhirnya Angling mendapatkan satu musuh yang dapat ditelikungnya.

“Kemana mereka pergi?”

“Istana selatan,” jawab orang itu dengan wajah takut.

Angling menekan lebih keras kuncian di tangan orang itu hingga meringis menahan sakit. “Aku akan potong lehermu kalau tak mau menjawab. Kalian dari mana? Berapa orang yang berada di istana selatan? Siapa yang memimpin kalian?”

“Ampun. Ampuni saya. Saya dari pesisir selatan sisi timur. Perguruan Kembang Inti. Tuan Stanley yang menyelundupkan kami sini. Berapa jumlah orangnya, saya tidak tahu. Datang dari sebelas perguruan pesisir selatan sebelah timur, dua perguruan pesisir sebelah barat, empat perguruan di lereng utara.”

“Kembang Inti? Bukankah Kembang Inti diketuai Raden Harya? Mengapa menyerang istana?”

“Bukan. Raden Harya sudah lama meninggal. Digantikan adiknya.”

Angling melepaskan tendangan keras ke punggung orang itu hingga terjengkang. Ia harus segera pergi dari tempat itu dan kembali mencari Stanley untuk menyelamatkan Lian.

Namun di balik dinding yang membatasi taman dan beteng istana selatan, Angling kembali dihadang sepasang penyerang yang mengenakan surban putih. Tanpa ragu-ragu, Angling membalas serangan mereka dengan gerakan silat istana. Cukup ampuh, namun tak juga langsung membuat dua orang bersurban putih itu menyerah. Belum lagi, tiba-tiba muncul tiga orang berpotongan rambut pendek dengan tubuh kekar. Tangan mereka mengepal menunjukkan otot-otot di lengan yang menggumpal keras. Juga muncul satu orang tua berperawakan kurus yang memegang seruling dan seekor ular berbisa.

Angling tak takut melawan orang-orang itu. Dirinya hanya khawatir Stanley semakin jauh dan semakin sulit pula baginya untuk menemukan Lian. Namun untuk mengalahkan keenam orang itu, tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Apalagi keenam orang itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada penyerang-penyerangnya terdahulu.

Satu hal yang segera terbungkus di benak Angling, semua orang yang menyerang dirinya bergerak dari arah selatan. Mereka menyebar ke timur ke kediaman Pangeran Timur, ke arah barat mendekati kediaman Pangeran Barat, serta berseliweran di sekitar tempat kediaman Putri Intan.

Assalamu’alaikum, Pangeran,” seru seseorang yang juga bersurban berwarna putih. “Ijinkan saya yang menghadapi dua orang ini.”

Angling menolehkan kepalanya. Membalas salamnya dan segera mengenali orang bersurban putih yang mengucap salam kepadanya sebagai imam masjid istana.

“Terima kasih, Gus Tam.”

“Biarkan kami yang menghadapi ketiga orang didikan bela diri Jepang ini, Tuan Pangeran.”

Angling kembali menoleh dan mendapati dua orang yang tersenyum ringan saat berhadapan dengan tiga orang berbadan kekar penyerangnya. “Terima kasih, Tuan Romanus dan Sikky.”

“Kita saling membantu, Tuan Pangeran. Kami hanya tak suka orang-orang yang dibeli pihak asing ini mengganggu istana. Entah mereka dibayar berapa, sampai harga dirinya dapat dibeli seperti ini.”

Angling tersenyum. Semakin sedikit musuh yang harus dihadapinya, akan semakin cepat dirinya untuk dapat mengejar Stanley.

Lihat selengkapnya