Tanggal 17.
Pagi, tepat pukul enam.
Orang orang yang telah berkumpul sejak kemarin di Alun-Alun terlihat gelisah. Nasi bungkus yang dibagikan siang sore, dan malam kemarin sepertinya tidak mampu menenangkan mereka. Berkalung penat dan kantuk, mereka bertambah resah.
Dulu, orang yang berdiam diri di Alun-Alun di bawah terik matahari disebut sedang melakukan pepe. Begitu cara mereka meminta keadilan pada raja. Cenderung sendiri. Diam. Tanpa banyak kata atau teriakan riuh. Sopan dengan menjunjung adat yang berlaku.
Tetapi sekarang di pagi hari, ratusan ribu orang telah berada di Alun-Alun dan sekitarnya. Berbincang sendiri-sendiri dengan suara menggaung bak kumbang sedang marah. Kadang-kadang diselingi teriakan penyemangat. Atau teriakan pembakar marah. Menghujat. Menyalahkan orang lain. Memburukkan orang lain. Jauh dari santun.
Di beberapa tempat, sejumlah orang berdiri. Mereka berteriak-teriak dengan tangan terkepal. Menyemangati orang yang tetap mencoba setia untuk berada di Alun-Alun.
“Bakar!”
“Kita serbu segera!”
“Kota raja tidak ramah untuk kita!”
“Di mana Raja?”
“Ayoooo!”
Mulai ada yang mengajak untuk merusak. Mulai muncul provokator-provokator kampungan dan pengecut. Sebagian orang membalas dan menyahut teriakan mereka. Sebagian yang lain, diam tak perduli. Sebagian mulai mencemooh dan bahkan tertawa. Terbahak ngakak. Menertawakan badut kerusuhan yang menganggap orang lain bodoh dan mau saja mereka perintah.
Benar kata Ratu Kelir semalam. Ia telah memerintahkan pengikut-pengikutnya untuk membuat kekacauan. Kembang api berwarna hijau yang diluncukannya ke atas sebagai tanda, telah diikuti dengan teriakan-teriakan sejumlah orang penyulut kericuhan.
Bingung. Orang-orang di Alun-Alun itu semakin resah dan menampakkan wajah bingung. Mengapa mereka diajak membakar dan merusak kota raja. Mengaja mereka harus mengubah kota raja yang selama ini damai dan nyaman menjadi kota raja yang rusuh? Padahal kemarin, mereka bergerak ke Alun-Alun karena diajak dengan kalimat-kalimat patriotik.
Di tengah-tengah suara yang semakin riuh, delapan drone berwarna putih tiba-tiba melayang ke udara dari depan istana. Quadcopter-quadcopter itu bergerak ke atas dengan dikendalikan enam orang aparat keamanan negara dan dua orang istana yang telah terlatih. Ketika telah membubung tinggi, delapan drone itu bergerak ke arah yang terpisah. Ke delapan penjuru mata angin.
Ibu mendekatiku. Memeluk pundakku dengan tangan kiri sambil mengamati layar tangkapan kamera yang dibawa masing-masing drone.
“Apa yang akan kamu lakukan untuk hari ini?”
Aku tersenyum. “Sesuai titah Raja, Bu. Memastikan semuanya aman dan damai.”
“Caranya?”
“Kontra terorisme. Ibu akan melihatnya nanti.”
“Kamu yakin bisa?”
“Seperti Raja yang yakin kalau rakyat di sini mencintai kedamaian, saya pun yakin kalau mereka mencintai istana dan negara kita.”
Dua tangkapan kamera dari quadcopter yang mengarah ke barat memperlihatkan orang-orang yang mulai keluar dari rumah mereka. Dua kamera lain menunjukkan sisi utara istana yang mempertemukan sejumlah orang dari berbagai arah. Berbaur. Dua kamera mengirimkan gambar suasana di sisi timur istana. Mirip dengan yang terjadi di sisi barat.
Sementara kamera pemantau dari quadcopter di sisi selatan istana mengirimkan gambar yang sedikit berbeda. Asap hitam nampak membumbung di dua tempat. Namun ketika quadcopter dibuat terbang merendah dan kamera lebih diarahkan ke sumber asap, terlihat aparat keamanan negara yang dengan sigap dapat membekuk orang-orang yang menjadi penyebab munculnya asap hitam itu.
“Bagaimana dengan Jagad, Bu?” tanyaku.
“Anakmu tak apa-apa,” jawab Ratu Ratih, ibuku, menenangkan. “Sempat lemas kemarin. Beberapa luka adadi tubuh dan kakinya. Kamu menyukai anak itu?”
“Sudah seperti anak saya sendiri.”
“Sudah seperti cucu Ibu juga, Ngling. Ha, ha, ha. Membingungkan. Denganmu, Jagad menjadi cucuku. Dengan Ni Mas Kelir, Jagad terhitung keponakanku. Juga Kenanga?”
“Di mana Kenanga sekarang?”
“Bersama Kanjeng Putri Intan dan calon istrimu.”
“Ah, Ibu.”
“Ha, ha, ha. Kamu tidak bermaksud menjadikan Putri Intan, Kenanga, dan Cin sebagai istrimu semua, kan?”
Aku membalikkan badan. Menghadap ke arah ibu. Berbeda dengan sejumlah hari sebelumnya saat berada di istana, pagi ini aku begitu bahagia. Ada seorang ibu yang menemaniku. Ada seorang bapak yang kemudian datang dan menyatu bertiga setelah mendampingi enam aparat negara yang menerbangkan drone.
“Ibu, apa yang sebenarnya terjadi dengan istana? Dan, Raja bersabda apa?” aku bertanya dengan mimik muka bersungguh-sungguh. “Semalam, usai keributan di istana, Raja menggelar pertemuan keluarga. Aku tidak diperkenankan ikut.”
“Biar Bapak yang menceritakannya.”
“Tidak. Dirimu saja, Ni Mas. Selama ini Angling lebih dekat denganmu dan selama itu dirimu juga yang selalu mendampinginya.”