Mandala, 2005
Kota dengan budaya yang masih terjaga dengan baik, Animisme masih tercium kuat dari segala penjuru sudut kota ini, dalam satu tahun, masyarakat kota ini bisa sampai lima kali melakukan tradisi kebudayaan dengan alasan menghormati roh leluhur yang selama ini menjaga sudut-sudut kota Mandala. Di kota Mandala, setiap rumah wajib memiliki bangunan yang dikhususkan sebagai tempat sembahyang dan tempat khusus peletakan dupa untuk penghormatan leluhur dari masing-masing keluarga mereka . Setiap kabar besar yang muncul dari salah satu rumah masyarakat Mandala -seperti kematian dan kelahiran,tuan rumah harus mengadakan upacara kecil di bangunan yang mereka dirikan di sisi depan pekarangan rumah. Bangunan tersebut seperti gazebo, diujung sisi bangunan yang menghadap kearah timur terdapat altar tempat dupa, sesajen, serta potret leluhur keluarga dari generasi ke generasi. Foto dari garis keturunan keluarga yang sudah meninggal sebagai bentuk penghormatan bagi keluarga yang sudah berpulang. Masyarakat Mandala percaya tidak ada kematian, mereka yang meninggal hanya berpindah kesadaran ke dimensi yang masih bersinggungan langsung dengan dimensi kita.
Sejak kematian Ayah Angga, Ibu Angga mulai menunjukan sifat aneh, dia sering berbicara sendiri diteras rumah, menangis tanpa sebab yang jelas, tertawa terbahak-bahak tanpa ada hal yang lucu, dan gejala penyakit depresi lainnya.
Angga yang berumur 5 tahun saat itu telah sadar akan keanehan perilaku yang ditunjukan ibunya, meskipun Angga sebenarnya merasakan kehidupan yang berkecukupan dengan semua harta peninggalan ayahnya -yang semasa hidup menjabat sebagai Walikota, Angga dirawat dan semua kebutuhannya tercukupi dengan baik. Hanya saja kegilaan ibunya yang terobsesi pada kecantikan dan seorang anak perempuan membuat Angga begitu tertekan, seringkali ibunya mendandani Angga dengan gaun , memberikan gincu merah menyala pada bibir mungil Angga, hingga mengajari Angga bagaimana menjadi seorang wanita yang anggun.
Rumah Angga berada diatas bukit kecil perkebunan teh -kota Mandala, rumah megah berdiri kokoh diatas bukit, dengan model arsitektur zaman kolonial belanda, peninggalan dari kakek Angga tepatnya dari jalur keturunan Ayahnya. Rumah itu bekas peninggalan belanda, sudah berapa kali direnovasi namun sedikitpun tidak merubah gaya arsitektur peninggalan kolonialisme. Dirumah itu Angga menghabiskan masa kecil tanpa seorangpun teman sebaya untuk bermain, sesekali Angga kecil keluar menghirup udara segar kota Mandala paling jauh diteras depan rumahnya. Ibunya khawatir kepalang jika anaknya bersentuhan dengan dunia luar, karena Ibunya takut -lambat laun anaknya akan sadar dengan fitrahnya sebagai seorang laki-laki tulen.
Rumah Angga telah diturunkan lima generasi, Wajar jika banyak perabotan dari keluarga sebelumnya yang mendiami rumah itu masih tersisa dan terjaga dengan baik.
Sore hari sekitar pukul 17.15 Angga yang sedang berbaring dari tempat tidurnya, matanya tertuju pada plafon kamarnya yang berada tepat diatas lemari baju. Plafon tersebut memiliki gagang yang bisa dipegang. Naluri anak seumurnya yang penuh keingintahuan menuntunnya untuk membuka plafon itu. Angga memanjat lemari bajunya namun tangannya yang masih pendek belum mampu menggapai gaggang itu, Angga turun mengambil buku-buku cerita anak yang berada disudut kamarnya -lalu ditumpuk hingga tingginya mencapai dua jengkal orang dewasa, perlahan dia menaiki tumpukan buku -membuat kakinya gemetaran saat melihat kebawah. Gagang tersebut akhirnya mampu digapai, lalu Angga membukanya dengan menggeser gagang plafon itu. Setelah terbuka, ternyata plafon tersebut mengarah keloteng rumah. Mata Angga terbelalak melihat barang-barang vintage peninggalan tempo dulu. Diatas loteng ditemukan Gramofone, beserta piringannya, Bermacam model tepak sirih berbahan kuningan, dan menariknya lagi Angga menemukan sekotak besar kumpulan mainan jadul yang sepertinya memang sengaja disembunyikan diatas loteng. Dia tertarik dengan mobil vintage berbahan dasar kayu jati dengan cat politure yang masih mulus -hingga ia pun menurunkan mobil mainan itu kekamarnya.
Angga sedari kecil tidak pernah disuguhkan mainan laki-laki dan tidak pernah bermain dengan seorangpun anak seusianya. Namun, karena fitrahnya sebagai laki-laki, hatinya tergerak, dan antusias ketika bermain dengan mainan khas anak laki-laki tersebut.
Asyik bermain dengan mobil-mobilan kayu. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka cepat dan tanpa aba-aba. Langkah ibunya tercegat, dan Ibunya termangu dibawah kusen pintu kamar Angga. Perlahan ibunya mendekati Angga dan menyentuh kepala belakang Angga -Ibunya berbisik "Nak...Jadilah wanita kecil yang baik, biar ayah sayang sama Angga." Bibir angga bergetar cepat seolah paham akan sesuatu yang buruk sebentar lagi menimpanya. 'Cetass...' Tamparan keras mendarat dipipinya. " JANGAN NAKAL....." Teriak ibunya persis dikuping Angga. Selang beberapa detik Ibunya menangis, memeluk erat tubuh Angga dan mencium lembut kepala anaknya, Angga termangu atas apa yang barusan dia alami. Ibunya berbisik lirih " Ibu mohon, jangan kecewakan Ayahmu di sana. Tolong nak, Ibu cuma punya kamu satu-satunya didunia ini, Tolong mengerti keadaan ibu." Angga masih diam termangu, dia tidak menangis, Angga diam tak bergeming. Mungkin antara bosan menangis atau memang sudah kena mental karena sebelum-sebelumnya dia sering mendapatkan kekerasan dari ibunya hanya karena hal sepele yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai masalah.
19.00