Candramaya, gadis periang berambut panjang, panjangnya menutupi seluruh punggungnya,pipinya gampang merah terkena sengatan matahari saking putihnya. Candramaya lahir di Kota sejuk yang bernama Tanjung Heran. Kota dimana Angga sekarang berada.
Kota itu dingin dan misterius. Konon nama Tanjung Heran berawal dari asal-muasal sejarah dari masyarakat kota itu.
Dahulu kala, saat indonesia masih menganut sistem kerajaan, hampir seluruh pulau di Nusantara memiliki kerajaan yang mengatur sistem kehidupan peradaban saat itu. Nenek moyang rakyat kota Tanjung Heran berasal dari kerajaan kecil yang berdiri di Semenanjung pulau Sumatra. Kerajaan mereka mengalami kekalahan dari serangan kerajaan Malaka yang dulu terkenal dengan kekuatan pasukan yang besar. Sehingga kerajaan kecil yang tidak disebutkan namanya dalam sejarah itu melarikan diri ke dalam hutan belantara yang jauh dari peradaban.
Kehidupan baru pun dimulai. Tidak ada yang aneh sebelumnya, sampai terjadi kejanggalan di pemukiman baru itu. Setiap anak laki-laki yang lahir, hidupnya tidak akan bertahan lama, para petuah-pun kebingungan menghadapi masalah yang terjadi. Berbagai ritual dilakukan untuk mencari jawaban.
Bertahun-tahun mereka hidup bermukim -generasi-pun terus berkurang hingga terjadi kesenjangan antara jumlah populasi wanita dan laki-laki.
Suatu malam, seorang wanita paruh baya mendatangi tetua adat -melaporkan sejak tiga hari yang lalu, anak sematawayangnya tak kunjung pulang dari berburu kijang di tengah hutan.Masyarakat dikumpulkan malam itu juga untuk melakukan pencarian, segala sudut hutan rimba belantara terang benderang malam itu akibat nyala obor yang menemani pencarian lelaki tanggung yang hilang itu.
Tiba di suatu tempat yang belum pernah terjamah siapapun, bersama para warga lainnya, mereka melihat pria yang dicari itu sedang meringkuk kedinganan tanpa sehelai benang-pun menyelimuti tubuhnya.
"Pindah dari sini, Mak Sumay tidak suka dengan kehadiran laki-laki, dia akan merenggut nyawa laki-laki hingga tidak lagi bersisa laki-laki di sini."Ujar pria itu dengan bibirnya bergetar kencang.
Entah siapa entitas Mak Sumay yang dimaksud pria malang itu, orang-orang kampung yang mulai putus asa menghadapi kejadian aneh layaknya kutukan yang merenggut bayi laki-laki di pemukiman mereka itu, mulai berbondong meninggalkan pemukiman yang mereka dirikan ditengah belantara hutan itu.
Mereka berbondong meninggalkan pemukiman itu dan memulai kehidupan baru di seberang gunung. Lokasinya diapit oleh perbukitan yang mengelilingi pemukiman baru itu. Peradaban baru dimulai, orang-orang mulai berkembang biak, dan anak laki-laki yang lahir pun tingkat kematiannya menurun drastis.
Mereka heran, sebab apa yang membuat mereka layaknya mendapatkan kutukan di pemukiman yang lama , karena setelah mereka pindah ke sisi Semenanjung, semua kekhawatiran yang selama ini mengantui itu hilang, sirna tanpa bekas. Sebab itulah yang menjadi asal-muasal nama Kota Tanjung Heran yang bukan hanya menjadi legenda kota itu melainkan sejarah dari nenek moyang mereka yang dulu pernah dilanda kutukan.
Candramaya tinggal bersama neneknya yang termasuk tetua di kota itu. Kemampuan neneknya sebagai cenayang membuat rumahnya tiap hari pasti kedatangan orang. Yang ingin berobat, bujang dan gadis yang ingin mendapatkan jodoh, hingga pejabat yang ingin meminta berkat agar selalu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu jati yang masih terlihat kokoh dengan cat kusen berwarna hijau toska -kebanyakan sudah terkelupas dimakan waktu. Rumah itu reot,namun selalu terasa hangat dan nyaman. Terbukti dengan orang-orang yang hanya sekedar bertandang kerumah itu -bisa berhari-hari menghabiskan waktu hanya untuk mengobrol dengan nenek. Mereka bilang suasana dirumah itu mengingatkan mereka kepada kampung halaman yang hangat dan tentram. Berkumpul disana rasanya nyaman seperti suasana hari raya idul fitri di kampung halaman sendiri dan menariknya lagi mereka bisa merasakannya setiap hari.
Candramaya sering bertanya kemana orang tuanya, tapi selalu dijawab hanya dengan senyum teduh sang nenek. Mungkin karena bosan dengan reaksi yang sama dan selalu tanpa jawaban setiap dia bertanya, dia pun tak ambil pusing, toh juga rumahnya selalu ramai kedatangan tetangga yang sudah ia anggap sebagai keluarga-nya sendiri saking akrabnya.