Seperti judul pada chapter, Perintis bukan pewaris. Berjuang sendiri tanpa arah, meramu sendiri bumbu-bumbu kehidupan demi mencapai arti kehidupan.
Setelah pertemuan dikejar orang gila malam itu, tidak pernah lagi benang merah antara Angga dan Candramaya terjalin. Pertemuan itu hanya sebatas cerita, tentang pria kecil yang menjadi pahlawan penyelamat seorang gadis lusuh yang berlari karena dikejar orang gila diremang malam.
Setelah drama taman kanak-kanak yang diisi cerita pilu tentang rasa iri hati dari seorang yatim piatu yang mengharapkan kasih sayang kedua orang tua yang telah tiada, Kini Angga telah memasuki masa sekolah dasar.
Masa sekolah dasar sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh dengan taman kanak-kanak, dimanapun itu, anak-anak sekolah dasar masih dalam masa gemarnya bermain. Berlari-larian sampai seragam basah dengan peluh, noda kerah baju yang seumpama kerak nasi gosong jadi penanda ciri khas anak SD yang sangat aktif bermain. Senyuman mereka begitu asli -berkontradiksi dengan masa dewasa yang seringkali menyimpan luka dalam setiap senyuman.
Kebiasaan bergaul dengan perempuan serta bermain dengan permainan khas perempuan, sering diartikan temannya sebagai tanda Angga adalah pria yang berkelainan kepribadian, pernah sesekali mencoba berbaur dengan anak laki-laki yang lain pada akhirnya berujung pada bullyan. Meskipun terampil dalam setiap permainan, ada saja celah bagi para pembully untuk merendahkan Angga. Dari segi fisiologis memang terlihat mendekati dengan kondisi fisiologis wanita. Jari-jarinya lentik, kulitnya lembut dan halus, serta cara berjalanannya yang melenggok. Bukan disengaja, karena memang kebiasaan sedari kecil dibentuk mendiang Ibu untuk menjadi seorang wanita serta mungkin faktor genetik yang acap kali membuat seseorang harus patuh terhadap hukum biologis.
Setiap gerakan dari Angga seringkali bergerak sesuai dengan hal yang selalu diidentikkan dengan wanita. Duduk dengan kaki menyilang contohnya. Di Kelas saat jam pelajaranpun dia duduk dengan Anggunya dengan kaki yang saling menyilang. Bukan hanya teman, kadang para gurupun menceramai Angga -memberi tahu bila kebiasaan itu tabu jika dilakukan oleh seorang laki-laki.
“Duduknya macho dikit, kayak anak gadis saja kamu.” Ujar seorang guru.
Sebenarnya Angga tak sadar dan yang pasti bukan sebuah kesengajaan sebab memang kondisi fisiologis dan mungkin karena genetik serta sudah dilekatkan mendiang Ibunya, apapun gerakannya akan selalu terlihat kemayu dimata orang. Bahkan Tertawa saja menutup mulut dengan jari mungilnya yang lentik. Jujur saja, kebanyakan kaum pria risih dan agak jijik jika melihat itu dilakukan oleh seorang pria.
Kebiasaan kemayu itu, menjadi asal muasal cemooh orang-oranf yang mulai mengganti namanya dari Angga menjadi Anggun. Apakah Ia terima?. Tentu saja tidak. Apa yang melekat dalam dirinya bukanlah kemauannya.
Pada awal tahun, saat Angga menduduki kelas empat SD, Dinas pemuda dan olahraga setempat mengadakan lomba sepak bola antar SD se-kecamatan. Sekolah Angga sudah memiliki 11 pemain yang mewakili sekolah -dan pastinya dari anak-anak pilihan yang memiliki skill yang memumpuni.
Satu hari menjelang lomba, salah satu pemain dikabarkan mengalami patah tulang kaki akibat kecelakaan saat pulang dari sekolah. Sialnya, yang kecelakaan merupakan pemain andalan yang mereka punya. Tapi tenang, masih tersisa dua orang pemain cadangan yang bisa menggantikan posisinya.
Pukul 09.00 Pemain dari kedua sekolah berkumpul dilapangan. Peluit ditiup -permainan dimulai.
Keringat setetespun belum keluar, tim lawan sudah membobol gawang. Hingga turun minum babak satu, tim lawan mencetak 3 gol. Wajah teman-teman terlihat masam melihat skor tertinggal jauh yang tampaknya tidak akan mampu lagi membalikan keadaan.
Dari pinggir lapangan, Nampaknya Angga resah melihat teman-temannya yang luntang-lantung mengejar ketertinggalan. Suara pemandu sorak yang merupakan kumpulan wanita paling rempong dikelas perlahan mulai layu, tak mampu membakar semangat lelaki mereka yang berjuang demi mengharumkan nama sekolah lewat cabang olahraga sepak bola. Ditengah istirahat turun minum salah satu anak yang kelelahan itu berteriak meringis kesakitan. Sejak awal diporsir bermain belum diganti. Dari dua pemain cadangan satu orang menggantikan dan kini tinggal tersisa satu pemain cadangan.
Permainan babak dua dimulai, satu-persatu tendangan mengarah kegawang dapat ditangkis oleh kiper andalan. Tim mereka terus digempur hingga bernapaspun susah.
Ditengah tensi yang semakin tinggi dan tim mulai kelelahan, dua orang tumbang. kakinya keram, dan satu orang lagi asmanya kambuh, yang jelas tidak mampu melanjutkan permainan. Pemain cadangan tersisa satu dan kurang satu lagi untuk bisa melanjutkan permainan.
Kalian mungkin pikir Angga yang sebagai tokoh utama yang menjadi pemain pengganti. Namun nyatanya itu cukup sulit terjadi, Angga sebenarnya siap kapanpun jika di panggil bermain. Toh juga, teman-temannya tahu jika Angga lumayan piawai memainkan kulit bundar.
Teman-temannya yang masih ingin berjuang itu, menatap harap guru olahraga yang berdiri di pinggir lapangan, berharap bapak guru setuju dengan usul mereka untuk memainkan Angga.
“Ada satu orang yang bisa menggantikan ?” Matanya sambil menatap satu-persatu siswa laki-laki tapi matanya sengaja melewatkan Angga yang berdiri didepannya.
Tidak ada satupun siswa yang berinisiatif. Angga juga tak berani mengajukan diri, sebab Ia menaruh ketakutan terhadap guru olahraganya itu.
Bapak Alam namanya. Ganasnya bukan main. Salah sedikit, batu cincin giok dijarinya mendarat dikepala. Tidak ada siswa yang boleh berkompromi dengannya. Selain guru olahraga, sepertinya dia juga boleh dikatakan debtkolektor. Wajahnya yang sangar dan rambutnya gondrong kontras dengan stigma yang harus dimiliki oleh seorang guru sekolah dasar.