Senja duduk dengan kepala menunduk di atas rerumputan yang ditumbuhi gulma. Sebuah buku bertajuk Air Mata Surga, terbuka di pangkuannya.
Langit sore menggantung di ufuk barat, memancarkan sinar oranye yang memantul lembut di atas rambut kecoklatan Senja.
Senja menutup bukunya, menaruhnya di atas tanah. Kedua lengannya di tarik ke atas, mencoba meregangkan tubuhnya yang lelah setelah selama dua setengah jam duduk menunduk beralas tanah merah berbatu, membaca buku.
Senja mendongak, menatap cahaya matahari yang perlahan bergeser mendekati garis pemisah antara lagit dan bumi. Bayangan awan putih mengingatkannya pada jenggot kakek Sam yang juga memutih.
"Kakek, maafkan Senja harus pergi. Terima kasih telah merawat dan membesarkan Senja hingga saat ini, tapi Senja tidak bisa kembali lagi."
Senja menatap matahari yang kian turun hingga terbenam di kaki langit, meninggalkan rona keindahannya di garis cakrawala.
"Senja...!" Sebuah teriakan membuat kepala Senja berputar ke arah suara.
"Ayo pulang. Matahari sudah terbenam."
Senja menatap datar, sebelum kembali mendongak menatap sisa-sisa cahaya di langit temaram.
Arzinara, pria yang mengajaknya berbicara, berjalan perlahan mendekat dan duduk di sisinya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini. Aku mencarimu sepanjang sore."
"Tidak ada," jawab Senja lirih. "Aku hanya sedang membaca."
"Di tempat seperti ini?"
Senja menoleh sekilas, lalu kembali meraih bukunya dan membukanya di pangkuan.
"Ini bukan tempat yang nyaman untuk membaca, Senja. Di sini banyak nyamuk."
"Bagiku ini tempat yang nyaman," kata Senja datar.
"Kamu kenapa, Senja. Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Apa ayah memperlakukanmu buruk?" Arzi mengangkat sebelah lengannya, mengalungkannya di pundak Senja.
Senja menggeleng. "Bisa tolong tinggalkan aku sendiri, Kak?"
Arzi mengerutkan alis.
"Aku butuh waktu."