Whuss....
Bruk!
Cklek.
Aku menoleh. Wajah bibi Mirah menatapku cemas, satu lengannya yang sebesar balok kayu memegang pinggangku erat. Mata wanita itu tertuju ke luar jendela.
Aku mengikuti arah tatapannya. Ku lihat di sana rombongan pemotor itu telah berhenti di depan toko ibu, dan puluhan penumpangnya turun.
Ibu.... Di mana ibu. Aku menatap berkeliling, tetapi tidak dapat menemukan ibu di mana pun.
Brak! Brak! Brak!
Para pemotor itu mengeluarkan sesuatu dari balik punggung mereka, lalu memukulkannya keras-keras ke pintu toko.
"Di mana mama?" tanyaku, mulai gemetar melihat tubuh-tubuh kekar yang bertingakah liar di depan toko ibu.
"Ibumu sudah sembunyi. Semoga Tuhan melindunginya," bisik Bibi di telingaku.
Brak! Brak! Brak!
Pintu harmonika berhasil di tarik paksa, jebol. Preman-preman itu menerobos masuk ke dalam toko ibu.
Sunyi. Tak ada teriakan ibu dari dalam sana. Ku putuskan ibu mungkin sudah bersembunyi di tempat yang aman.
"Bibi, apa mama akan menjemputku nanti?" tanyaku.
"Ya. Kamu tenanglah di sini," bisik Bibi.
"Ke mana mama? Dan siapa mereka?" tanyaku, masih menatap keluar jendela di balik tirai tipis yang tersingkap sedikit.
"Ssst. Aku juga tidak tahu, Senja." Bibi Mirah berbisik lirih.
Aku diam. Mendengarnya berbisik, aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk banyak berbicara.
Brak! Prang! Pyar!
Suara berisik terus terdengar dari dalam toko. Aku menatap tegang, menunggu kapan orang-orang itu akan pergi biar aku bisa segera mencari ibu dan melihat kerusakan di dalam toko. Berkali-kali aku menoleh bibi, tetapi wanita itu masih menatap lurus ke arah toko ibu sambil lengannya menggamit pinggangku erat.
"Ah!" Bibi berteriak tanpa suara, menarik nafasnya sangat keras sambil membelalak menatap keluar jendela.
Aku menoleh, dan mataku menangkap apa yang membuat Bibi berteriak kaget. Ibu, terhuyung dan di seret keluar dari dalam toko, tanpa mengenakan baju.
Mulutku menganga. Apa yang terjadi. Kenapa ibu tidak memakai baju. Apa ibu tadi sedang mandi, pikirku bingung.
Tubuh telanjang ibu di seret oleh beberapa orang laki-laki dan dilempar ke tengah-tengah gang sempit. Ibu bergelung di sana, kedua tangannya menutupi tubuhnya yang polos.
"Mama...." rintihku, air mataku menetes.
Bibi tersadar oleh rintihanku. Dia segera mendekapku, menggendongku menjauhi kaca dan membawaku ke lantai dua rumahnya.