PELANGI SENJA ARZINARA

Kandil Sukma Ayu
Chapter #3

KADO YANG TAK KUNJUNG TIBA #3

Aku masih terus berusaha mendorong tubuh Bibi Mirah menjauh dari pintu agar aku bisa pergi menolong ibu. Tetapi wanita itu terlalu berat. Tubuhnya seperti bongkahan batu yang mengganjal pintu.

"Mama... aku mau menolong mama, Bibi. Pergi menyingkirlah dari sini." Aku terisak, dorongan tanganku semakin lemah.

"Tidak ada yang bisa dilakukan oleh anak seusiamu, Senja. Mengertilah."

Aku menggeleng keras.

"Dengar. Hei, dengarkan aku!" Bibi Mirah berjongkok di depanku, mengguncang tubuhku dengan pelan.

Aku menatapnya, masih terisak.

"Dengarkan aku, Senja. Kau harus diam di sini, berlindung. Agar mereka tidak menemukanmu dan membunuhmu. Nanti setelah ayahmu datang, kau pergilah bersamanya dan tumbuhlah menjadi anak pintar yang hebat. Kalau kau sudah besar dan hebat nanti, ingatlah wajah mereka yang sudah tua, sudah tidak bertenaga seperti saat ini. Lalu kau bisa membalaskan dendam atas kematian ibumu kepada mereka satu per satu."

"Apakah ibu mati, Bibi?"

Bibi menggeleng. "Aku tidak tahu. Semoga seseorang segera datang dan membawanya ke rumah sakit agar ibumu bisa tertolong."

Aku diam, membeku dalam isakku. Kata-kata Bibi tertanam di kepalaku bagaikan bijih buah di tanah subur. Aku menatap manik mata bibi yang tampak bersungguh-sungguh, lalu mengangguk.

Aku berjalan menjauhi pintu, memanjat kursi di balik meja tepat di bawah jendela, lalu melongok ke arah toko. Tubuh ibu sudah tidak ada di sana, mungkin seseorang telah membawanya. Beberapa pria baya juga terlihat sedang mencoba untuk memadamkan api menggunakan air dalam ember. Mereka berlarian, mengisi ulang air dan menyiramnya ke arah toko hingga apinya benar-benar padam.

Bibi menepuk pundakku, aku menoleh.

"Kemarilah, anak manis. Tidurlah di pelukanku, sementara menunggu ayahmu pulang," kata Bibi, merentangkan tangannya menyambutku.

"Bibi, apa papa tahu aku berada di sini?"

"Kalau ayahmu pulang dan tidak menemukan kalian di rumah, dia pasti akan mencari kalian ke toko. Aku akan tahu kalau ayahmu datang nanti," kata Bibi.

"Aku akan menunggu papa pulang. Hari ini hari ulang tahunku, papa pasti membawa hadiah kejutan untukku," kataku, sudah melupakan kejadian penyiksaan ibu begitu aku mengingat ada hadiah yang akan di bawkaan ayah untukku.

"Baik, duduklah di sini biar aku membuatkanmu teh hangat."

Aku mengangguk, duduk di sofa panjang rumah Bibi Mirah, menunggu ayah dan hadiah kejutannya yang tak pernah dia lupakan.

Acara televisi yang menayangkan lagu-lagu kesukaan mama tiba-tiba berganti. Aku menatap tertegun melihat banyak orang berlarian dan toko-toko di bakar seperti milik ibu. Seorang wartawan perempuan membacakan keterangan penjarahan, pembakaran dan penganiayaan pada etnis Tionghoa.

Ah, mungkin papa masih di sana, berlari-larian di antara mereka untuk meliput berita. Aku tersenyum, menatap senang membayangkan ayah yang sibuk mengejar seseorang sambil mengacungkan benda hitam atau menjepret foto dengan kamera besar di lehernya.

"Bibi, apa itu etnis Tionghoa?" tanyaku saat bibi datang dengan membawakanku segelas teh hangat.

"Orang-orang Cina, Sayang."

"Kenapa mereka memukuli orang Cina?" tanyaku, menatap wajah Bibi dengan penasaran.

Bibi menatap televisi sejenak, sebelum menarik nafas panjang dan beralih menatapku.

"Kamu masih terlalu kecil, Senja. Tapi suatu saat nanti aku yakin akan ada seseorang yang memberi tahu kamu kenapa mereka membenci orang-orang etnis Tionghoa."

"Apakah mama etnis Tionghoa, Bibi?"

Bibi mengangguk pelan. "Ya," katanya singkat.

Aku diam, kembali kenatap televisi yang sudah berganti acara film anak-anak.

"Bibi, aku mau lihat yang tadi. Aku mau lihat ayah. Ayah pasti sedang di sana, meliput berita, kan?"

Lihat selengkapnya