PELANGI SENJA ARZINARA

Kandil Sukma Ayu
Chapter #4

KAKEK SAM #4

"Kakek, nama kakek siapa?" tanyaku, saat kami meluncur di atas roda bundar keluar dari pusat perbelanjaan terbesar di tengah kota. Kakek tidak berbohong. Dia membelikanku banyak pakaian baru dan mahal, yang sangat cantik di tubuhku. Aku tersenyum cerah. Hatiku begitu senang, apalagi saat ini kami sedang menuju perjalanan ke tempat ibu di rawat.

"Kau bisa memanggilku kakek Sam. Namaku Abdisam Zaman."

"Nama yang aneh," kataku.

Kakek Sam tersenyum. "Kau benar. Nama yang sangat aneh. Andai saja aku memiliki nama yang indah sepertimu, Mei Lien Senja."

"Kata papa, aku dulu terlahir saat senja. Dan kehadiranku di antara mama dan papa bagaikan bunga teratai mekar yang sangat indah di tengah telaga."

"Sangat hebat." Laki-laki itu menatapku kagum.

"Berapa usiamu?" tanyanya lagi.

"Lima tahun. Kemarin, aku ulang tahu ke lima. Dan papa berjanji, kalau aku menjadi anak yang pintar, maka di ulang tahunku yang ke lima, papa akan membelikanku boneka beruang coklat sebagai pengganti boneka putri ku yang dibawa kabur anjing liar."

"Oh ya? Nakal sekali anjingnya?" tanya kakek Sam, terbahak.

"Dia anjing Paman Kartomo. Nakal dan suka menggigit. Dia menggigit putri dan membawanya pergi karena aku lupa membawanya masuk setelah kami bermain di teras rumahku." Aku menceritakan bagaimana anjing nakal itu menggigit dan merobek-robek tubuh putri seperti laki-laki kemarin memukuli tubuh ibu.

Aku kembali teringat pada ibu. Kepalaku tertunduk, dan aku mulai menangis.

"Hei hei... Ada apa?" tanya kakek Sam, membelai kepalaku.

"Aku ingin cepat bertemu mama. Kenapa jauh sekali mereka membawa mana pergi?" tanyaku.

"Mereka tidak jauh membawa ibumu ke rumah sakit, tapi kita yang pergi terlalu jauh saat kita membeli pakaian dan perlengkapanmu. Tapi jangan takut, sebentar lagi kita akan sampai."

Aku mengawasi jalanan dan ya, sepertinya kami memang kembali ke desa kecil tempatku tinggal, Sidotopo. Aku mengenali beberapa sudut jalan yang dulu sering kali kami lewati saat jalan-jalan sore bersama ayah dan ibu.

Kakek memasuki pelataran sebuah rumah sakit, seseorang mengenakan seragam satpam membungkuk memberi hormat.

"Ada yang bisa di bantu, Tuan?" tanya pria itu.

"Aku ingin melihat kondisi Mei Shyang."

Satpam itu melirikku sekilas, sebelum mengangguk cepat. "Silahkan, Tuan." Dia membuka portal, mempersilahkan kami masuk ke pelataran parkir mobil.

Kakek menuntunku berjalan memasuki rumah sakit yang tidak terlalu besar. Dia menuju sebuah meja dengan tulisan besar resepsionis.

Kakek berbicara dengan suara pelan dengan wanita yang mengenakan seragam berwarna hijau muda yang kini berdiri di balik counter. Lama kemudian, kakek berbalik dan menuntun lenganku.

"Senja...." Kakek memanggil, tetapi kepalanya tetap melihat lurus ke depan saat aku menatapnya.

"Apa pun yang terjadi pada ibumu, Kakek tidak ingin kau menyesalinya. Hidupmu masih sangat panjang. Jangan pernah takut kehilangan, karena akan selalu ada pengganti yang dikirm oleh Tuhan untuk menggantikan yang hilang."

Aku berkedip tidak mengerti, menatap Kakek yang tak juga kunjung menatapku.

"Memangnya apa yang hilang, Kek?" tanyaku.

Kakek menggeleng kecil.

"Ikhlas. Ikhlaskan saja apa pun yang hilang darimu, maka Tuhan akan menggantinya berkali-kali lipat."

Meski bingung, tetapi aku mengangguk. Toh kakek tidak melihat wajahku yang bloon dan tidak mengerti, jadi aku terus berjalan mengikutinya sambil mengangguk.

Lihat selengkapnya