Hari kedua aku tinggal di rumah kakek Sam. Rumah itu besar, sangat besar di bandingkan rumahku yang dulu. Tetapi rumah besar itu terasa sunyi tanpa tawa ibu dan suara merdu ayah yang memanggilku saat pulang kerja sambil menbawa permen loli coklat kesukaanku.
Aku berjalan pelan, mengamati seluruh bagian rumah. Teman yang dijanjikan kakek Sam belum juga muncul. Dia bilang anak itu masih berlibur dan baru akan tiba malam nanti.
"Nona kecil."
Aku menoleh pada suara yang terdengar begitu dekat di belakangku.
Mataku melebar menatap sosok pria berbadan gempal yang berjalan perlahan mendekatiku. Aku menoleh ke samping, Kakek Sam tidak berada di sampingku. Sebenarnya, sejak bangun tidur aku memang belum melihat kakek Sam di manapun. Hanya ada seorang wanita baya yang katanya bekerja untuk merawatku dan cucu kakek.
"Non...." Pria itu mengerutkan kening melihat aku yang berjalan mundur perlahan, ketakutan.
Aku menggeleng cepat, nafasku memburu. Sebelum pria itu sempat menyentuhku, aku berlari masuk ke dalam rumah, berharap Kakek Sam segera muncul dan menyelamatkan aku.
Berlari menaiki tangga lantai dua, samar-samar aku dapat mendengar suara kakek Sam di sebuah ruangan. Aku berjalan mendekat, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan pria tadi tidak mengikutiku. Untungnya, tidak ada siapa pun di belakangku.
Aku berjalan perlahan mendekati arah suara. Di sebalik pintu berwarna coklat gelap, kakek Sam terdengar sedang berbicara dengan seseorang. Aku membuka pintu yang tidak tertutup sempurna.
Hendak melangkah masuk, langkah kakiku tertahan oleh dua laki-laki dengan wajah berewokan yang duduk di samping kakek. Mereka terlihat sangat mengerikan.
"Ulangi sekali lagi. Sisir pelan-pelan supaya bisa melihat siapa pelaku penembakan itu." Kakek Sam berbicara dengan suara rendah, di hadapan ketiganya terpampang layar lebar seukuran dua televisi dijadikan satu. Gambar yang bergerak cepat di dalamnya berwarna hitam putih.
Aku membeku di tempat saat gambar itu berhenti pada sosok laki-laki tinggi, kurus, mengenakan kemeja dengan kamera di leher. Ayah. Meski gambar itu berwarna hitam putih, tetapi sangat jelas dan aku bisa langsung kengenali sosok ayah.
Ingin menghambur masuk, tetapi lagi-lagi penampilan dua laki-laki berewok itu menahan kakiku tetap di tempatnya. Dari balik pintu, aku berdiri diam mengamati gambar ayah. Ayah sedang bekerja entah di mana.
Ayah terlihat berlari-lari kecil, sesekali tangannya mengangkat kamera dan menempelkannya di depan wajah. Bukan hanya ayah yang tengah berlarian, tetapi banyak. Sangat banyak. Itu mengingatkanku pada kejadian dimana orang-orang mendatangi toko kami dan menyiksa ibu.
Ayah berlarian diantara orang-orang. Tiba-tiba terdengar seruan jelas, "gas air mata, gas air mata." Sebelum di susul suara tembakan dor! dor! dor!
Aku menahan nafas tegang. Menyaksikan video ayah secara langsung, seolah aku sedang menonton film laga peperangan. Meskipun gambarnya hitam dan putih, tetapi aku bisa mengenali seragam orang-orang yang berada di balik besi pelindung itu. Polisi dan tentara.
Kejar-kejaran. Gambar bergoyang tak beraturan, menandakan si pemegang kamera sedang berlari. Ayah menerobos gerbang tinggi, lalu berlarian diantara orang-orang yang panik. Suaranya... jangan di tanya. Aku sama sekali tidak dapat mendengar apa yang sedang mereka teriakkan.
"Sebentar lagi. Pelankan gerakannya dan sisir sekitarnya." Kakek Sam memerintah.