Lima belas tahun berlalu...
Kak Arzi mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit.
"Senja."
Aku menoleh, tatapanku kosong.
Kak Arzi tersenyum. "Boleh aku masuk?"
Aku mengangguk.
Kak Arzi. Dua minggu yang lalu, dia kembali ke rumah ini dari studinya di luar negeri. Sejak kecil aku tumbuh bersama kak Arzi, hingga ibunya membawanya ke Finlandia saat kak Arzi masuk SMP.
Sepeninggal kak Arzi, kehidupanku goyah. Aku lebih sering sendiri, terpuruk, dan mudah mengamuk. Hari-hariku dipenuhi cambuk karena hanya benda itu yang bisa menenangkanku saat aku mengamuk.
Tahun pertama setelah kepergian kak Arzi, aku dikeluarkan dari sekolah karena menyerang murid-murid dan guru. Kakek telah memindahkanku ke empat sekolah yang berbeda, tetapi setiap tempat hanya mampu menahanku tidak lebih dari tiga bulan. Sejak itu aku diam di rumah, terkadang di kurung dan terpaksa harus di pasung setiap kali amukanku tak terkendali.
Kakek mencarikanku guru privat, agar meski tidak sekolah, aku tetap bisa belajar. Saat kondisiku baik, obat masuk dengan tertib, aku aman. Aku bahkan bisa belajar dengan pintar. Paman Kim, guru yang dipanggil kakek untukku, bahkan mengatakan aku sangat hebat dan cerdas. Tetapi setiap kali aku terlambat meminum obat, atau ada pemicu yang datang seperti suara motor, petasan, dan teriakan, maka aku akan mengamuk dan memukul hingga babak belur siapa pun yang dapat aku jangkau dengan tanganku.
Tahun demi tahun aku lalui dengan kekerasan, amukan, teriakan, dan tangis histeris. Hingga dua minggu lalu, aku mendapati kak Arzi pulang. Dia memelukku erat, mendekapku dengan hangat. Sentuhan cinta dan kehangatan mengaliri tubuhku, hingga aku bisa mengingat kembali bagaimana rasanya tersenyum dan bahagia.
Kak Arzi melewati pintu, membiarkannya terbuka lebar, lalu duduk di depanku yang sedang sibuk dengan kertas putih dan cat warna, di atas tempat tidur.
"Bagus," kata Kak Arzi, menatap lukisanku. Lukisan seorang wanita ayu dengan tatapan mata kosong. Ada darah mengalir dari kedua matanya, berhenti di pipi alih-alih jatuh ke tanah.
"Siapa dia?" tanya kak Arzi.
"Mama."
Kak Arzi cemberut.
"Mama kamu tidak menangis begitu. Dia bahagia di surga berkumpul bersama papa kamu dan melihatmu sukses di dunia."
Aku menatap kosong.
"Aah... Ya. Maafkan aku. Mungkin memang mama kamu saat ini sedang menangis pilu, karena melihat anaknya patah semangat dan kehilangan senyum," kata kak Arzi, menatapku masam.
Aku tersadar, tatapanku beralih dari kekosongan.
"Kak, apakah mama bisa melihatku dari surga?" tanyaku.
"Tentu saja. Kalau kamu bersedih terus, mama kamu pasti menangis seperti apa yang sedang kau lukis. Itu kenapa kamu tidak boleh menangis. Kamu harus lebih banyak tersenyum supaya mama dan papa kamu juga bahagia di surga."
Aku menarik nafas panjang, menatap manik mata elang kak Arzi yang menatapku tulus.
"Aku tidak bersedih," kataku, mengubah ekspresi wajahku menjadi gembira, meski itu tak dapat mengubah tatapan mataku yang memang sudah tak bernyawa semenjak kejadian itu.
"Kalau kamu tidak bersedih, bagaimana kalau sekarang kita bermain di taman belakang. Matahari pagi sedang bersinar terang. Kau harus merasakannya barang sebentar, biar kulitmu lebih sehat dan tidak pucat seperti ini." Kak Arzi menekan lenganku yang memang tampak pucat karena sehari-hariku hanya terkurung di dalam kamar.
Kak Arzi menuntunku keluar. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, waspada. Meski rasanya tidak setakut saat pertama kali kak Arzi membawaku ke taman belakang, tetapi tetap saja aku masih cemas, kalau-kalau sesuatu tiba-tiba datang menyerangku seperti orang-orang yang datang menyerang ibu.
"Senja...!" Aku menoleh. "Lihat! Kau tahu ini apa?" teriak kak Arzi, berjongkok di sudut taman, sedang memperhatian sesuatu yang tak terlihat dari tempatku berdiri.
"Apa?" tanyaku dengan suara yang masih sedikit enggan, tetapi tetap melangkah mendekat.
"Lihat!" seru kak Arzi bersemangat, menunjuk bunga putih yang bergelayut lemah tertiup angin.
"Itu dandelion. Kak Arzi tidak pernah tahu?" tanyaku.
Kak Arzi tersenyum. "Kau lihat. Dia cantik sekali kan," katanya. "Sama seperti kamu, yang walaupun rapuh tapi begitu indah dan mengagumkan."
Aku menunduk, pipiku terasa hangat.
"Senja. Sini." Kak Arzi duduk di rerumputan, di dekat bunga dandelion tumbuh mekar.
Aku menurut, mengikuti kak Arzi duduk bersila di rerumputan.
"Senja. Kamu itu cantik. Kamu hebat. Kamu juga wanita yang sangat kuat. Tidakkah kamu ingin melihat dunia luar bersamaku? Di luar sana begitu indah, kau tahu?"
Aku terdiam. Mataku menatap kosong pada Kak Arzi . Kak Arzi sekarang sangat tampan. Dia tumbuh dewasa begitu cepat, padahal kami hanya terpisah 10 tahun saja. Dan dia sering kali menyanjungku seperti ini, membuat hatiku merasa hangat dan nyaman.
"Hei. Jangan melamun." Kak Arzi menepuk pipiku.