Kami duduk bersila, menonton televisi di dalam kamar kak Arzi. Dia tidak membawaku kemanapun. Tidak, belum, katanya. Nanti kalau aku sudah pandai mengendalikan rasa sakitku, baru dia akan membawaku ke taman bermain yang sangat indah dan menyenangkan, juga mengenalkan aku kepada teman-temannya.
Sebenarnya kak Arzi seringkali membawa teman-temannya datang ke rumah. Tapi setiap kali itu terjadi, aku selalu bersembunyi di dalam kamar. Bukan, bukan. Bukan karena kak Arzi malu mengenalkanku kepada teman-temannya karena aku gila. Tetapi aku yang takut bertemu dengan mereka. Teman-teman kak Arzi bertubuh tinggi, gempal, dan beberapa berbadan tambun. Itu mengingatkanku pada orang-orang kasar yang telah menyerang ibu.
Hari menjelang sore. Seharusnya aku meminum obatku satu jam yang lalu, tetapi kak Arzi bilang aku bisa melakukannya tanpa obat.
Kepalaku mulai terasa berdenyut, dadaku berdebar cemas.
"Kamu baik, Senja?" tanya kak Arzi, saat dia merasakan tubuhku mulai gelisah dan berkeringat dingin.
Aku mengangguk.
"Katakan kalau kamu mulai merasa sakit," kata Kak Arzi.
Aku kembali mengangguk.
Dua puluh menit, dadaku berdebar lebih cepat, kepalaku terasa nyeri menusuk.
"Kak...."
Kak Arzi memelukku dari samping.
"Kamu sakit?"
"Kepalaku sakit," kataku.
"Apa yang membuatnya terasa sakit?" tanya kak Arzi sabar.
"Karena aku tidak meminum obatku."
Kak Arzi menggeleng. "Tidak. Obat yang kamu minum bukan obat pereda nyeri yang bisa menyembuhkan sakit kepala. Obat itu hanya membuatmu tenang, sehingga kamu bisa mengendalikan rasa sakitmu."
"Apa bedanya?"
"Tentu saja berbeda. Kalau kamu meminum obat pereda nyeri, zat yang ada di dalam obat dapat membantumu mengurangi rasa sakit di kepalamu. Tetapi kamu tidak pernah meminum itu. Kamu hanya meminum obat penenang. Kalau kamu tenang, kamu bisa mengendalikan rasa sakitmu."
"Ya. Dan aku sekarang membutuhkannya, Kak. Aku mulai merasa kedinginan," rengekku.
Kak Arzi menggeleng. "Tidak, Senja. Hari ini ada aku yang akan menemanimu dan menenangkanmu. Aku bisa menggantikan fungsi obat itu di dalam tubuhmu."
Aku diam, menatap kak Arzi dengan ragu.
"Percayalah." Kak Arzi balas menatapku lembut.
Aku mengangguk. "Ya. Aku percaya. Aku percaya kak Arzi bisa membantuku," kataku.
"Apa yang kamu butuhkan agar merasa tenang?"
"Obat," kataku.
Kak Arzi menggeleng. "Tidak. Bukan obat, tapi rasa. Rasa apa yang kamu cari supaya kamu menjadi lebih tenang."
Aku menggeleng, tidak mengerti maksud perkataan kak Arzi.
"Kamu mau aku memelukmu?"
Tubuhku mulai menggigil kedinginan. Sekujur tubuhku nyeri, pandangan mataku kabur.