"Kita mau ke mana, Kak. Pelan-pelan, kepalaku sakit, dan perutku terasa mual," protesku, saat Kak Arzi dengan cepat menghampiriku sepulang dia bekerja, lalu menggandeng tanganku dan membawaku keluar.
"Apa kamu hari ini minum obat?" tanya kak Arzi sambil terus menarikku keluar.
Aku menggeleng. "Tidak."
"Bagaimana perasaanmu?"
"Kepalaku sakit sekali sejak pagi dan tubuhku gemetaran."
"Apa itu menyiksamu?"
Aku segera menggeleng. "Ya, saat rasa sakit itu datang. Tapi pagi harinya aku bangun lebih segar dari pada jika aku mengkonsumsi obat."
"Tentu saja. Obat penenang memaksamu untuk tidur lebih lelap agar tidak terganggu mimpi buruk. Tentu saja itu membuatmu bangun dalam kondisi masih mengantuk."
Aku memgangguk, meskipun tidak begitu memahami maksud kak Arzi.
Lima belas hari tanpa obat penenang di malam hari, Kak Arzi bilang aku lulus di percobaan pertama. Dan hari ini adalah hari pertamaku tidak mengkonsumsi obat sejak pagi.
Sebenarnya hari ini kak Arzi mengijinkan aku untuk meminumnya jika sakit di tubuhku mulai tak terkendali, karena hari ini dia pulang lebih larut dan tidak bisa menemaniku berjuang melawan rasa sakitku. Tetapi aku bertekat bahwa aku pasti bisa melakukannya meski sendiri.
"Kenapa kesini?" tanyaku bingung, saat Kak Arzi membawaku melewati pintu balkon kamarnya, mengingat pintu balkon kamarku yang selalu terkunci dan tidak pernah boleh dibuka oleh Kakek.
"Menikmati Senja, tentu saja," kata Kak Arzi tenang.
Di luar gerimis, tetapi langit begitu cerah. Aku menatap semburat garis oranye di kaki langit yang terbentang begitu indah, membagi bumi menjadi dua belahan, langit dan tanah.
"Lihatlah." Kak Arzi menunjuk ke atas langit.
Aku menoleh ke arah yang di tunjuk kak Arzi dan mataku menangkap seberkas cahaya berwarna warni membentuk lengkungan sempurna.
"Pelangi...." gumanku, menatap kagum.
"Pelangi Senja. Cantik, bukan. Secantik pemilik namanya."
Aku tersipu, tetapi tatapanku tak dapat beralih dari keindahan lukisan Tuhan di atas sana.
"Kamu suka?" bisik Kak Arzi tepat di telingaku.
"Itu sangat indah," gumamku.
"Begitupun kamu, Senja. Tidak salah mama dan papa kamu memberimu nama Pelangi Senja, karena kamu memang seindah dan selembut pelangi di sore hari.
Aku tersenyum. Hatiku terasa begitu hangat. Denyut sakit di kepalaku yang sudah menyerang sejak sore tadi, seolah tiba-tiba menghilang. Rasa dingin yang membuat tubuhku gemetar juga perlahan hilang karena dekapan hangat kak Arzi di pinggangku. Dia memelukku erat, menaruh daginya di puncak kepalaku yang memang hanya setinggi lehernya.
"Kak...."
"Hmm."
"Sakit kepalaku hilang."
"Tentu saja. Karen kamu tenang."
Aku mengangguk.
"Pelukan kak Arzi membuatku merasa hangat. Aku tidak lagi menggigil kedinginan."
"Itu bukan karena pelukanku, tapi karena hatimu tenang."