"Ayo, Senja. Cepatlah sedikit!" Kak Arzi meneriakiku dari lantai bawah.
Aku berlari-lari kecil keluar kamar, membawa tas punggung rilakuma hadiah kakek di usiaku yang ke 10 tahun.
"Astaga... kenapa bawa-bawa itu?"
"Ini bagus!" protesku.
"Hhh... baiklah, baiklah. Ayo cepat. Lily sudah menunggu kita sejak tadi."
Aku mengangguk, segera berlari mengikuti langkah kaki kak Arzi keluar rumah utama.
"Apakah kakek tidak ikut, Kak?" tanyaku.
"Tidak. Kakek sudah terlalu tua untuk bepergian jauh."
"Tapi aku belum berpamitan pada kakek."
"Memangnya kakek sudah pulang dari Savena?" tanya kak Arzi acuh.
Aku memutar otakku, mengingat kembali saat kakek berpamit untuk berangkat ke Savena dua hari yang lalu.
"Ah, benar. Dia tidak di rumah."
Kak Arzi membuka pintu mobil untukku, membantuku duduk dan memasang sabuk pengaman menyilang di tubuhku.
"Aah...." Aku menarik sabuk pengaman yang menahanku dengan erat. Rasanya tidak nyaman tidak bisa bebas bergerak, seperti sedang dikungkung oleh beberapa orang.
"Ada apa?" tanya kak Arzi, menatapku.
"Ini.... Aku tidak suka. Rasanya seperti...."
"Itu bukan untuk menahanmu agar tidak dapat bergerak. Tetapi benda itu akan melindungimu kalau-kalau terjadi benturan saat aku mengerem mobil secara mendadak."
"Kenapa harus mengerem mendadak?" tanyaku.
"Entahlah, mungkin saat ada kucing yang tiba-tiba menyeberang. Kau tahu kan, kucing mu yang gembul itu tidak pernah memperhatikan kanan kiri saat akan menyeberang jalan."
Aku tahu. Aku mengangguk, setuju.
Kak Arzi menutup pintu, lalu berlari-lari kecil memutari mobil sebelum duduk di sebelahku, di balik kemudi.
"Kak... Di mana rumah teman kak Arzi?"
"Tidak jauh. Dan kamu bisa memanggilnya Kak Lily. Dia baik, jangan takut."
Aku mengangguk.
Belum lama kami di perjalanan, mobil kak Arzi menepi.
"Apa sudah sampai?" tanyaku.
"Belum. Tapi kita sudah sampai di tempat Kak Lily. Lihat, itu dia."
Kak Arzi menurunkan kaca mobil.
"Hai, Senja. Salam kenal."
Aku menatap tegang. Ada rasa takut melihat seorang asing mengulurkan tangan padaku. Tetapi dari senyum yang terkembang di bibirnya, sepertinya dia ramah.
Kak Arzi meraih tanganku, mengulurkannya pada kak Lily yang menungguku menerima uluran tangannya.
"Kamu cantik," kata kak Lily, saat dengan ragu aku meraih tangannya dan menggenggamnya. Aku tersenyum, menatap senang padanya karena dia memujiku cantik. Dia pasti sama baiknya dengan Kak Arzi dan Kakek.
Kak Arzi memintaku duduk di belakang menemani kak Lily. Atau sebenarnya bukan aku yang menemani kak Lily, melainkan dia yang menemani aku.
Mobil kembali meluncur. Hari ini, untuk pertama kalinya aku pergi keluar rumah setelah berhasil melalui siksaan hari-hari tanpa obat selama dua bulan penuh. Melihat keramaian dan kendaraan lalu lalang, hatiku benar-benar cemas dan kepalaku mulai terasa berdenyut menyakitkan.
"Kau baik, Senja?"
Aku mengangguk. Tetapi, belum berhenti kepalaku mengangguk, deru keras sepeda motor dengan penumpang yang mengenakan pakaian serba hitam mendobrak pertahanan jantungku yang sudah semakin lemah.
Aku berteriak histeris, menutup kedua telingaku dengan tangan. Tubuhku merosot turun dari tempat duduk, meringkuk di bawah kursi sambil menangis menggerung.
Tubuhku menggigil, telingaku berdenging, kepalaku berdenyut nyeri. Gambaran orang-orang yang datang menyerbu ibuku tergambar lagi di dalam kepalaku, menusuk-nusuk mataku.
"Tidaaak... Jangan... Jangan mama, jangan... Mama... Mama..."
Sebuah tangan mungil namun begitu kuat, menarikku dari posisi meringkuk dan bersembunyi di bawah timbunan kursi. Aku meronta, meraung keras meminta tolong.