"Ayah. Aku ingin berbicara denganmu, juga kakek." Arzi berjalan mendekti keduanya yang sedang asik menonton pertandingan bulu tangkis.
"Ada apa, Arzi?"
"Ayah, Kakek. Aku minta maaf. Karena yang ingin aku bicarakan sedikit serius, jadi bisa tolong matikan televisinya?"
Ayah Arzinara mengerutkan kening tidak setuju, tetapi kakeknya segera menekan tombol merah pada remote control untuk mematikan televisi.
"Kita bicara di meja makan," kata pria tua itu, beranjak berdiri.
Arzi mengikuti langkah kakeknya menuju meja makan, baru kemudian ayahnya berjalan timpang di belakangnya.
"Kakek. Aku tidak ingin berbasa basi. Jadi, aku akan langsung pada inti pembicaraan kita."
Kakek Arzi mengangguk.
"Kakek, tolong ceritakan padaku bagaimana kakek mendapatkan Senja."
"Ada apa ini? Apa...."
Arzi mengangkat tangan untuk menghentikan ayahnya.
"Biarkan kakek berbicara, Ayah. Tolong."
Pria tambun itu mendengus panjang.
"Aku tahu saat ini pasti akan tiba. Sejak awal aku tahu kamu sangat peduli dan sangat mencintai Senja. Pelangi Senja, atau Mei Lien Senja ibunya memberinya nama sebelum aku mengubahnya saat mendaftarkannya sebagai anak angkatku...."
"Kenapa?" Arzi memotong.
"Karena kala itu, mama Cina sangatlah berbahaya untuk di sandang, terlebih oleh seorang perempuan. Ibu Senja adalah seorang Cina, dan ayahnya Indonesia."
"Bagaimana kakek menemukannya?"
"Gwen. Laki-laki tinggi kurus berwajah pas pasan, adalah reporter terbaikku. Dia adalah ayah Senja. Gwen sangat menyayangi putrinya. Setiap hari sepulang kerja, aku selalu melihatnya membeli permen loli coklat untuk diberikan kepada Mei Lien. Gwen laki-laki giat, pekerja keras, dan bertanggung jawab."
Kakek menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan.
"Gwen tinggal di daerah pertokoan di Simokerto. Istrinya memiliki kois kecil di sebuah gang di dekat rumahnya."
"Pada kerusuhan Mei 1998, seperti yang pernah aku ceritakan, aku saat itu tengah memerintahkan Gwen untuk meliput demo yang berpusat di UNAIR menuju Grahadi. Kerusuhan terjadi di luar kendali. Beberapa kelompok mulai melakukan tindakan anarkis saat aparat keamanan melawan pendemo dengan kekerasan. Rakyat turun ke jalan diikuti beberapa pemuda yang hanya senang berhura-hura. Perusakan mulai merajalela. Pemukulan, penyerangan, pembakaran."
Kakek Sam berhenti sejenak, mengenang kembali kejadian 25 tahun yang lalu.
"Pada saat aku mendapatkan berita bahwa mahasiswa banyak terluka, aku memerintahkan kepada seluruh reporter untuk mundur, termasuk Gwen."
Arzi memperhatikan dengan seksama, menatap serius kakeknya yang terlihat mulai berkaca-kaca. Sementara Ayah Arzi, tampak gelisah dalam duduknya.
"Dua jam kemudian, aku mendapat telepon bahwa istri Gwen di serang. Temanku yang tinggal tak jauh dari kios Mei Shyang, memberitahuku dengan harapan aku bisa memberitahu Gwen. Aku mencoba menghubungi Gwen agar langsung pulang, tetapi pria itu tidak dapat dihubungi."