Anggi sedang menunggu Ryan saat sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk di akun Whatsapp-nya. dahinya mengernyit. Hatinya bertanya-tanya nomor siapa gerangan.
+62812******
Aku enggak kenal kakak ya. Tapi sepertinya Bang Ryan udah lama tau kakak. Cuma kakak perlu tahu cara mainnya kalo kakak masih pengen bertahan sama Abang.
Anggi sepertinya tahu siapa pemilik nomor itu. Ia tersenyum lalu membalas pesan tersebut.
Hai.. Naira ya.. Apa kabar?
Ada pesan masuk kembali.
+62812*****
Enggak usah sok baik deh kak. Bang Ryan itu Abang kesayangan aku. Aku gak mau perhatian Abang terbagi. Kalau kakak masih mau sama Abang, kakak harus bisa ngeyakinin aku kalo kakak itu pantes buat Abang.
Anggi mengernyitkan dahi kembali. Agaknya Naira lebih kejam dari apa yang diceritakan Ryan selama ini. Namun ia kemudian tersenyum.
"Aku ikut cara mainmu, Hai Adek Manis", dalam hatinya ia bergumam.
Setelah itu ia mengetik balasan.
Oke. We'll see.
Sent.
Ryan datang tak berapa lama kemudian. Mengecup lembut kening Anggi dan duduk di sampingnya.
"Bawel banget sih Naira. Masak ya dia cerita gak jelas ke Bunda tentang kamu. Tapi kamu tenang aja. Bunda ada di pihak kita", kata Ryan tanpa basa-basi.
"I know. Dan mas Ryan tahu, barusan Naira kirimi Anggi beginian". Anggi menyerahkan ponselnya ke Ryan dan menunjukkan pesan Naira.
"Udah bisa ditebak. Ya gini ini Naira. Maaf ya, sayang."
Ryan menngusap pelan jemari Anggi. Anggi tersenyum meyakinkann Ryan kalau dia tidak mempermasalahkannnya.
"Gi, apa menurutmu sebaiknya aku cariin Naira pacar aja ya?", tanya Ryan tiba-tiba.
"Emang dia mau? Bukannya selama ini dia gak mau pacaran ya. Lagian mas Ryan pernah bilang kalau Bunda baru memperbolehkan kalian pacaran saat kuliah"
"Liat Naira yang lama-lama bawelnya minta ampun, rasanya pengen cepet-cepet deh lulusin tuh anak dari SMA. Biar segera punya pacar dan gak ngeribetin kakaknya", tegas Ryan.
"Hei gak boleh bilang gitu. Bukannya kalian dari kecil barengan terus? Sudahlah...Disabarin aja. Toh mas Ryan juga gak pengen adeknya salah milih temen kan. Apalagi milih cowok. Nanti bakalan ada waktunya sendiri".
“Benar kata kamu, Gi. Aku sayang banget sama Naira. Tapi sekarang tambah ribet. Posesifnya keterlaluan”
Anggi memegang jemari Ryan, mencoba menenangkan. Ryan tersenyum. Ia bersyukur bisa memiliki Anggi yang memahami Naira lebih. Tidak seperti perempuan-perempuan sebelumnya yang selalu bertengkar dengan Naira dan berujung kandasnya hubungan mereka
---
Minggu pagi, Naira lagi-lagi mencari masalah. Ia memaksa ikut Ryan pergi. Padahal Ryan sedang janjian ketemu dengan Anggi.
"Udah dibilangin di rumah aja, Ra"
Ryan memasang wajah memelas.
"Ikut, Bang. Bosen di rumah. Bunda lagi Arisan. Aku sama siapa?"
"Kamu bisa baca buku atau pergi kemana gitu. Please, Ra. Let me go!"
Ryan memohon.