Mundurnya Tribhuwana Tunggadewi sebagai penguasa Majapahit karena kematian Gayatri Rajapatni membuat Hayam Wuruk maju sebagai penguasa Majapahit tahun 1350 pada usianya yang masih dibilang belia. Namun, kepemimpinan yang dijalankan Hayam Wuruk menghasilkan kemajuan luar biasa kepada kerajaan Majapahit hingga saat ini. Kerajaan Majapahit bisa dikatakan sebagai kerajaan terbesar di nusantara. Tapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa masih ada banyak kalangan bawah yang terasa diasingkan oleh kata maju itu sendiri.
Desa kecil tempat tinggal seorang lelaki malang ini bahkan tidak memiliki nama. Orang-orang desa biasanya cukup menyebut desa ini sebagai ‘Desa Tanpa Nama’. Keseluruhan desa ini cukup kumuh, tidak banyak populasi manusia yang bertahan hidup di sini dan memilih untuk pergi merantau ke luar, mari kita ambil contoh kota Trowulan. Tingkat kehidupan di sana bahkan berkali-kali lipat lebih maju dan mahal, tidak heran masyarakat desa lebih memilih ibu kota sebagai kota kehidupannya. Bahkan Sugeng Rajendra sendiri merasa pun begitu.
Dirinya memetik beberapa obat herbal setiap pagi untuk bahan coba eksperimennya. Salah jika orang menyebutnya seorang tabib berbakat, karena Sugeng hanyalah seorang lelaki malang yatim piatu pengangguran sisi desa Tanpa Nama. Sebetulnya Sugeng juga begitu terkenal di desanya, Sugeng sedikit merasa bahwa tampang lumayan elok untuk dilihat, tetapi wajahnya dipenuhi kotoran tanah bahkan dedaunan kering ikut menempel sehingga menutupi wajah tampannya tersebut. Rambutnya pun kian memanjang dan keriting akibat Sugeng yang tak begitu peduli penampilan, karena itulah Sugeng dikenal sebagai ‘Manusia Jelek Pengangguran Desa’.
Menyadari hari menjelang malam karena langit oranye sudah mulai mengganti warnanya sendiri, Sugeng menyudahi pekerjaannya yang tak menghasilkan uang tersebut dan berjalan kembali menuju gubuknya di pinggir desa. Ladang herbal miliknya berjarak sekitar 20 km dari gubuknya di desa Tanpa Nama, jadi ketika dirinya sampai, Sugeng langsung merebahkan tubuhnya diatas daun pisang sebelum ia menyalakan lilin sebagai penerangannya malam ini. “Kira-kira… aku harus mulai dari mana dulu, ya?”
Matanya mengantuk, kelopak mata Sugeng yang biasanya nampak begitu indah dipandang kini kian mengerut karena kantuknya yang tak tertahankan. Beberapa menit silang setelah pada akhirnya Sugeng dapat tertidur, dirinya dikagetkan oleh suara dobrakan pintu kayu gubuknya oleh seorang wanita tua gendut yang ia kenal. Tubuh Sugeng seketika menegang begitu saja ketika dirinya menyadari bahwa wanita tua tersebut adalah Mak Ayu!
‘Gawat…’ Pikirnya, kerutan wajah terlihat di permukaan kening Mak Ayu, matanya memerah dan napasnya berat seolah kapan saja siap untuk melahap Sugeng kedalam perut besarnya tersebut. Mak Ayu dengan suara seraknya berbicara, “UANG SEWAMU KAPAN AKAN KAU LUNASI? KAMU PIKIR SAYA DAN KELUARGA SAYA TIDAK MAKAN, HUH?!”
Sugeng berhati-hati untuk tidak berbicara dan bertingkah agar tidak membuat emosi Mak Ayu semakin membludak, “M-mak Ayu… aku janji besok akan dilunasi, oke? Jangan marah-marah, ini sudah malam…”
“Apa kamu pikir aku dapat memegang omong kosongmu itu, huh?!INI SUDAH KALI KE DUA BELASNYA KAMU MENONTARKAN JANJI-JANJI ITU DAN TAK KUNJUNG MELUNASINYA!” Bentak Mak Ayu.
Terlihat warga-warga mulai terbangun karena kericuhan ini, namun warga desa sepertinya sudah tak lagi heran jika sumber kericuhan berasal dari gubuk sewaan milik Sugeng. Mereka pasti akan langsung berpikir bahwa Sugeng tidak membayar uang sewa lagi. Setelah puas melihat Sugeng dipermalukan lagi oleh Mak Ayu, warga desa pun kembali kepada rumah mereka masing masing sementara pada ujungnya Sugeng Rajendra diusir dari gubuknya. Bukan hanya itu, bahkan Sugeng dilarang lagi untuk memetik tanaman herbal di kebunnya karena kebun tersebut diserahkan kepada keluarga Mak Ayu sebagai pelunasan bayar sewa Sugeng sendiri.
Kejadiannya begitu cepat, hingga Sugeng pun menyadari bahwa dirinya sudah resmi menjadi tunawisma sejati sekarang. Tak ada uang, tak punya rumah, tak memiliki pekerjaan, sangat cocok sekali untuknya hingga Sugeng begitu ingin memaki-maki dirinya sendiri.
Saat ini Perjalanan Sugeng benar-benar tanpa arah juga tujuan, bulan malam pun sepertinya malu untuk menyinari langkah Sugeng malam ini. Selama perjalanan pemuda Jelek Pengangguran ini tidak berhenti melontarkan kata hinaan sembari menendang batu-batu yang ia lewati. “Apakah aku sehina itu untuk dihina? Tidak, tidak. Tentu saja karena mereka tidak mengetahui potensiku sebagai peracik obat handal, bukan? Baik, mulai sekarang akan aku tunjukkan kepada mereka bagaimana aku bisa terkenal sebagai tabib mahir di Trowulan nanti!” Kata Sugeng dengan kesal.
Namun jika dipikir-pikir… dia tidak memiliki uang, bagaimana dia bisa pergi ke Trowulan? Dia tidak memiliki uang, bagaimana dia mendapatkan resep dan bahan-bahan herbal selain yang ia tanam? Oh dewa, dunia begitu kejam untuk orang miskin. Semakin Sugeng memikirkannya, semakin frustasi pula dirinya. Dengan tas kayu yang ia jinjing di punggungnya, ia nyeletuk, “Bahkan tas kayu pun harus menjadi saksi bisu kemiskinanku.”
Berjam-jam terlewati seiring Sugeng menjelajahi hutan belantara, dirinya sekarang tidak tahu dimana dia berada. Melihat bulan sudah berada tepat diatas kepalanya, Sugeng kemudian memutuskan untuk beristirahat bersandarkan pohon beringin tua di belakangnya. Sugeng mulai menutup kelopak matanya serta pada saat yang sama pula terdengar suara gerusuk rumput. Sugeng menyadari itu bukan suara langkah kaki, melainkan seperti benda yang terjatuh ke atas tanah. Saat itu juga Sugeng membangunkan diri dan melihat sekitar juga mencari sumber suara.
Mata Sugeng terperangah ketika melihat tubuh seorang pria kekar yang tersungkur dengan luka parah di sekujur tubuhnya. Orang itu hanya mengenakan cawat dan kain selempang coklat di dadanya yang menandakan orang tersebut bukanlah bagian dari kerajaan. Setelah menelaah lelaki tersungkur tersebut adalah orang biasa yang tertimpa sial malam-malam, Sugeng pun menolongnya berbaring dan mendapatkan orang tersebut pingsan. Luka yang didapatnya cukup kompleks, namun keahlian Sugeng dalam meracik obat herbal terutama untuk luka luar seperti ini membuat proses penyembuhannya berjalan lebih cepat dan efektif.
Seiring berjalannya waktu, pria tersebut tak kunjung sadarkan diri sementara Sugeng memasak daging ayam bakar di samping pemuda kekar itu sembari menunggunya. Melihat wajah pemuda tersebut yang mungkin agak tampan, Sugeng menggelengkan kepalanya sembari menyayangkan, “Malang sekali… malang sekali wajah setampan ini harus terkena luka gores. Kalau aku jadi dia, aku tidak akan memaafkan pelakunya.” Lalu fokusnya kembali kepada ayam yang sekarang berada di atas kobaran api panas.
Sugeng pun mulai menikmati makanannya, setiap gigitan ayam ini terasa sedikit hambar namun tekstur yang diberikannya lembut dan kenyal di dalam mulut sehingga Sugeng merasa lumayan puas dengan masakannya sendiri. Ketika ayam tersebut sudah mulai habis, Sugeng menyadari pemuda di sampingnya mulai menampakkan tanda kesadaran diri. Mata pria itu meringkuk-ringkuk serta jari-jarinya yang panjang bergerak perlahan, lalu pada akhirnya pemuda tersebut berhasil membuka kelopak matanya dan menatap Sugeng dengan lemah.
“Jangan bergerak banyak, pemuda malang.” Sugeng menekan tubuh pemuda itu yang berusaha terduduk dari tidurnya.