Sugeng begitu bersemangat untuk ini. Dirinya merasa ini bisa menjadi awal langkahnya sebagai tabib. Awal rintisannya dalam dunia medis, ini cukup membuatnya berantusias untuk membantu desa tempat di mana Giandra tinggal. Namun disisi lain, Giandra merasa agak ragu, “Apa kamu yakin? Tidakkah ini begitu berat untukmu?”
Panasnya api dan terik matahari menambahkan kilauan wajah di matanya, begitu bersinar seolah memancarkan api antusiasme yang menggelora di sekujur tubuhnya. Dalam suasana yang panas dan penuh ketegangan ini, antusiasme dan keyakinannya kini menjadi kontras yang mencolok terhadap keraguan yang menyelimuti Giandra. Sugeng pun kembali meyakinkan, “Biarkan aku membantu, dan dengan begini kamu juga membantuku.”
Wajah itu dipenuhi hasrat membara, sehingga dalam kurun waktu yang cepat, Giandra mengangguk dipenuhi rasa terima kasih mendalam, "Dengan segala yang telah kamu lakukan untuk kami," Giandra berkata dengan suara tegas namun hangat, “Kami berhutang padamu.” ekspresi yang dihasilkan Giandra menunjukkan campuran rasa hormat dan syukur, menggaris bawahi betapa pentingnya bantuan dan dedikasi sugeng kepada dusun mereka. Anggukkan kepalanya ang mantap beserta tatapan mata yang penuh arti mencerminkan sejauh mana Giandra menghargai tawaran Sugeng untuk menghadapi masalah ini.
Keesokan harinya, perjalanan Sugeng dan Giandra dimulai. Keduanya berjalan melintasi hutan rindang dan danau kecil di dalamnya. Berdasarkan apa yang Giandra ucapkan padanya, perjalanan kali ini membutuhkan waktu tiga hari sebelum sampai ke Dusun Sedah. mereka tidak memiliki uang untuk membeli sesuatu ke tepi kota sekitar, karena itu keduanya memilih untuk mengambil rute dalam agar dapat memburu binatang sebagai asupan makan mereka.
Malam hari tiba begitu saja, hewan-hewan seperti kelelawar dan sejenisnya mulai menemani kebisingan hutan. Dalam perjalanan yang tidak singkat ini, Sugeng memulai percakapannya dengan rasa ingin tahunya, “Kau tahu, aku sebenarnya masih penasaran siapa wanita itu.”
Giandra, “Wanita mana yang kau maksud?”
Sugeng, “Yang merampokmu tentu saja.”
Menangkap arah pembicaraannya, Giandra menghela napas, “Oh, dia. Aku juga penasaran.”
Sugeng berhenti melangkah dan melihat giandra dengan malas yang mencerminkan ketidak puasannya, “Kamu bahkan tidak mengenalnya.” ujarnya dengan nada datar yang sinis.
“Sudah kukatakan dia mengenakan penutup wajah berwarna hitam.” Ucap Giandra.
Lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jalan sepetak dan licinnya lumpur-lumpur hutan membuat keduanya harus fokus untuk berjalan. Bulan sudah berada di atas kepala mereka, disisi lain Sugeng merasa lelah untuk terus berjalan dan meminta Giandra beristirahat sebentar di tepi danau. Karena Giandra merasa sama lelahnya, akhirnya mereka menepi untuk beristirahat.
Giandra menghampiri tepi danau dan membungkuk untuk mengambil air yang jernih dari permukaannya. Ketika ia mulai mencuci wajahnya, ia merasakan sensasi menyegarkan yang menyapu seluruh bagian wajahnya. Setiap tetes air tersebut begitu membawa kesejukan juga memuaskan rasa lelahnya. Sensasi dingin itu, meskipun tajam, memberikan kepuasan yang mendalam, seolah membangkitkan kembali semangat dan energi setelah perjalanan panjang. Sementara Sugeng sibuk menyatukan dedaunan dengan dedaunan lain di tangannya, ia juga terlihat menggosok kedua tangannya yang berisi daun tersebut. Giandra yang penasaraan pun bertanya dengan suara serak juga lembutnya, “Sedang apa?”
“Menghangatkan diri.” ujar Sugeng singkat.
Jawaban singkat yang Sugeng lontarkan semakin membuat bingung Giandra. Kerutan di wajahnya terbentuk berdampingan dengan rasa ingin tahunya, kemudian dia berjalan mendekat dan duduk di samping Sugeng dan berkata, “Dengan dedaunan ini?”
Sugeng mengangguk dengan penuh keyakinan dan mengeluarkan sebuah daun dari dalam tasnya. Daun tersebut adalah daun kayu manis yang tampak menggoda dengan warna hijau agak kemerahan yang berbentuk bentuk lonjong dengan tekstur sedikit berkerut. Ia mengangkat daun itu di hadapan Giandra., “Ini adalah daun kayu manis. Mereka akan menghasilkan energi panas yang lumayan untuk menghangatkan tubuh. Mau coba?”
Pemuda itu mengangguk dan segera menelungkupkan telapak tangannya hingga menyerupai wadah, setelahnya Sugeng memberi beberapa lembar daun diatas telapak tangan Giandra. Giandra menggosoknya seperti Sugeng menggosok dedaunan itu sebelumnya, hingga beberapa menit kemudian aroma khas dari daun kayu manis dan rasa hangat mulai terasa di telapak tangannya,”Kamu benar, ini hangat.” ucap Giandra senang.
Reaksi tersebut melahirkan keterpuasan Sugeng di dalam senyumannya. Keduanya pun terbaring lelah bersandarkan pohon-pohon rindang sembari menggosokan daun kayu manis di telapak tangan mereka. Begitu Sugeng sudah merasa lebih hangat, ia memulai topik, “Namun, aku begitu penasaran,”
Alis wajah Giandra naik sedikit sementara ia menoleh, “Penasaran akan apa?”