“Sst … sst ....”
Nara menoleh kepada asal muasal suara. Seperti biasa, itu cara Luna, rekan sekerja yang berada tepat di samping meja kerja Nara, ketika memanggilnya.
“Apa sih Lun? Lagi banyak nih pembukaan rekening yang perlu diACC dari kamu dan Intan.”
“Ishh mentang-mentang dapat tugas dari yayang Andi, aku dicuekin nih.”
Nara tersenyum simpul, wajahnya memerah.
“Nggaklah, kan kamu yang bukakan rekening nasabahnya Andi, aku tinggal ACC. Lagipula aku sudah ada yayang Ryan,” sahut Nara sambil tetap menatap layar komputernya agar Luna tidak menyadari wajahnya yang mulai memerah.
Luna melengos, “Pacarmu yang kasar itu? Kok bisa sih kamu pacaran sama orang toxic begitu?”
Nara tertegun, lalu menoleh pada Luna, “Tahu dari mana kalau dia toxic?”
“Ya tahulah. Dari sikap gelisahmu yang sedikit-dikit ngintipin BB di laci meja, trus pas aku ke ruang belakang, tanpa sengaja aku menangkap suara keras cowokmu, walau itu BB sudah menempel banget dengan telingamu. Pasti dia orangnya posesif kan? Cemburuan ya?”
Luna menengok kembali pada Nara, menatap rekan sekerjanya itu dengan penuh selidik. Namun melihat Nara hanya diam dan terpaku, Luna melanjutkan kembali, setengah berbisik, “Mending kamu sama Deril deh, Nar.”
Nara mengernyitkan keningnya, “Deril?”
“Iya Deril! Masa kamu lupa sih. Itu loh, cowok yang waktu itu datang karena kasus penipuan BG travel!”
Nara berusaha mengingat, lalu dengan ragu bertanya, “Oh, kamu kenal?”
“Ih bukan kenal lagi. Dia kan sahabatan dengan suamiku, Ra. Kamu tahu nggak Ra, penampilannya memang seperti itu, tapi uangnya banyak sekali. Aku pernah mengintip pas dia mengecek amplop yang diletakkan di belakang mobil Altisnya.”
Umpan disambut dengan sempurna, tanpa diminta, Luna langsung bercerita panjang lebar dengan antusiasme yang meledak-ledak tentang Deril yang dikenalnya.
Nara tersenyum kecil. “Aku kan nggak matre kayak kamu, Lun.”
Luna sewot. “Enak saja matre! Itu namanya realistis, you know! Emang mau dikasih makan apa anak dan istri kalau lakinya belum kerja?!”
Kata-kata Luna membuat Nara terdiam. Ryan memang masih bergantung sepenuhnya pada orang tuanya. Dia melanjutkan S2 sebelum sempat merasakan dunia kerja, makanya dia bahkan sama sekali tidak bisa paham dengan kondisi Nara yang setiap harinya bekerja di kantor.
Kedatangan nomor antrian baru nasabah membuat percakapan dirinya dengan Luna terjeda, karena Luna harus memanggil antrian tersebut. Kebetulan Nara sedang tidak bertugas sebagai CS, melainkan sedang menggantikan tugas Indi yang sedang cuti.
Syukurlah ada jeda, Nara berharap sela ini bisa memutus obrolan mereka mengenai keburukan Ryan. Dia mulai merasa tidak nyaman jika sosok kekasihnya itu terbawa-bawa dalam obrolan mereka.
“Nar, apa rekening nasabahku sudah dibuka? Kebetulan dia pakai kuasa ke karyawannya untuk pengikatan, jadi nanti dananya langsung aku cairkan ke rekening itu saja. Aku janji hari ini kok. Besok baru dia ambil buku dan kartunya.”
Tiba-tiba Andi sudah duduk di hadapannya.
“Duh marketing, kebiasaan deh nambah kerjaan CS. Untung tim audit nggak datang tiap hari. Kalau nggak, kan aku dan Luna yang kena ini. Luna yang bukakan rekeningnya dan aku yang kasih persetujuan.”
Nara spontan sewot mendengar permintaan Andi yang terlalu mendadak, sampai-sampai dia lupa kalau yang ada di hadapannya itu adalah Andi, pria yang selalu menimbulkan rasa gugup berlebihan dalam dadanya.
"Kalau kamu cemberut begitu, kamu tambah cantik deh, Nar." Andi menatap Nara tanpa kedip, matanya seolah menelusuri setiap lekuk wajahnya.
Wajah Nara memerah, rona itu membuat Andi tersadar. Ia buru-buru beranjak dari kursi di hadapan Nara.
"Jangan cantik-cantik ya, Nar, nanti aku jatuh cinta lagi," gumam Andi sambil berlalu, suaranya mengambang di udara.
Andi selalu berhasil membuat jantung Nara berdegup kencang, terkadang membuatnya merasa bersalah pada Ryan. Ia pun buru-buru mengintip Blackberry yang ada di lacinya dan menemukan BBM masuk dari Ryan.
"Hun, kamu lagi kerja ya? Ntar pulang kerja langsung kabari aku ya? Sayang banget sama kamu." Pesan dari Ryan tiba-tiba muncul, membawa kelegaan bagi Nara.
Nara langsung membalas dengan senyum di bibirnya, "Iya Bun, sayang juga sama kamu."
Hari ini, Ryan seakan menghembuskan angin surga kepadanya, berbeda dari biasanya yang selalu panas seperti angin ribut di dekat kompor.
"Mbak Nara, pulang dari sini temani Intan dong ke toko buku. Temani Intan makan juga ya sebelum Intan balik ke kos. Kalau sudah sampai kos, Intan suka malas keluar makan." Intan, juniornya yang merupakan pendatang di Kota Balikpapan itu meminta dengan wajah penuh harap.
Nara menatap Intan dengan lembut, merasa iba. "Boleh Tan, ntar pulang kerja kita langsung ke Plaza Balikpapan dulu ya? Jalan kaki saja kita, menikmati sore. Lama juga aku nggak melintas di jembatan penyeberangan itu."
Mall yang dimaksud Nara tidak begitu jauh dari tempat kerja mereka.