Nara duduk di meja kerjanya dengan tatapan kosong, seperti melamun di tengah lautan sunyi. Suasana bank masih sepi, belum ada nasabah yang datang. Biasanya saat-saat payroll perusahaan tiba, antrian giro membeludak, disusul oleh permasalahan-permasalahan yang datang silih berganti hingga akhir bulan. Masa-masa gajian karyawan memang merupakan masa tersibuk di bank.
"Hhh." Nara mendesah pelan.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Biasanya Nara berharap antrian tidak terlalu ramai agar dia memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan beberapa dokumen yang tertunda, namun kali ini dia justru berharap nasabah datang ke mejanya, memberikan kesibukan yang berlebih.
Nara melirik pada Indi. Supervisornya itu tampak sibuk memeriksa beberapa dokumen, begitu serius, seperti tak ada beban lain yang dia pikul, tetap berfokus pada pekerjaannya. Padahal kemarin dia cuti untuk menghadiri panggilan sidang perceraiannya dengan sang suami.
“Kak Indi tidak mau mempertahankan Bang Kian sama sekali.” Nara sempat mempertanyakan itu ketika Indi melakukan serah jabatan sementara kepadanya.
Indi hanya tersenyum sinis, “Buat apa kita mempertahankan orang yang hatinya ada di luar sana? Sedangkan hidup ini masih panjang.”
Kata-kata Indi itu membuat Nara tertegun, jiwanya merasa tertampar. Nara tak sekuat Indi yang sejak awal sudah mampu bersikap tegas terhadap dirinya sendiri. Jika saja ia bisa memiliki separuh saja dari sikap tegas Indi, mungkin dia tidak akan terlalu jauh berjalan dalam hubungan yang menyakitkan bersama Ryan.
Terngiang pula kata-kata Intan semalam sewaktu mereka berpisah di depan pintu Plaza Balikpapan, “Mbak, ternyata Mas Ryan memang separah itu. Yang sabar ya, Mbak?”
Nara menggosok-gosok wajahnya dengan kedua tangan hingga terasa panas. Seorang junior yang masih dalam masa percobaan di kantornya itu bahkan bisa menganggap hidupnya sangat memprihatinkan. Nara merasakan pikirannya berkelana, seperti kapal tanpa nakhoda di lautan yang bergelora.
Mesin antrian berbunyi, tanda ada seseorang yang baru saja menekannya. Ternyata Bu Mia, perwakilan dari Perusahaan Bara Api yang biasa melakukan pembayaran gaji karyawan melalui bank tempat Nara bekerja.
Nara tersenyum pada Bu Mia dan bersiap memanggil antrian, namun dengan sigap, Intan sudah mengambil alih.
“Selamat pagi, Bu Mia. Silakan duduk. Pembayaran gaji karyawan ya, Bu? Saya terimakan ya list-nya untuk disampaikan ke back office.”
Samar suara ceria Intan terdengar di telinga Nara. Gadis itu menerima amplop tertutup berisi nama-nama karyawan dan jumlah pembayarannya, lalu beranjak dari tempat duduknya.
“Mbak baik-baik saja, kan?” tanyanya ketika mata mereka sempat bertemu saat Intan berjalan di dekatnya menuju back office.
Nara tertegun. Dia belum sempat menjawab saat menyadari Intan sudah menghilang di balik tembok. Rupanya, Intan sedang mengkhawatirkannya.
Nara membuang pandangannya ke layar komputer, alisnya mengernyit sehingga bertautan satu sama lainnya, berusaha mencari titik pemusatan pikiran.
Lalu dia melirik selembar kertas yang berada di samping printer kerjanya, teringat akan amanah dari Bu Ira, manajer operasionalnya kemarin sore, meminta dia untuk melengkapi data nasabah yang kurang hari ini.
Segera dimainkannya roda mouse, menggulirkannya ke bawah mencari file yang terkait. Bola matanya ikut bermain naik turun mencari. Tidak ketemu, padahal sudah mentok ke bawah.
Nara menekan tombol kanan dan kiri mouse secara bergantian, mencoba refresh halaman dokumennya yang tampak pada layar computer, namun lagi-lagi dia keliru.
Akibat kreasi dari jari jemarinya sendiri, dia justru membuat duplikat sebagian file yang ada dalam folder dokumen nasabah. Nara menggigit bibirnya gemas sambil mendorong mousenya dan melepaskan genggaman tangannya ketika ‘tikus imut’ yang biasa menemaninya bekerja itu sudah mendarat pada kaki monitor dengan sempurna.
Nara berusaha melepaskan ganjalan berat di kepalanya, namun selalu sebelum berhasil lepas sepenuhnya, kepingan peristiwa itu melintas kembali begitu saja dalam benaknya.
“Dasar kamu Nar! Pelacur! Tidak tahu diuntung! Kamu itu Cuma CS bank! Sedangkan aku? Calon notaris!”
Cakap kata Ryan itu yang membuat hatinya kemudian meronta, jiwanya berontak, “Bodoh kamu Nara! Laki-laki ini tidak pantas kau perjuangkan!”
Tak seperti biasa yang selalu besar permakluman terhadap sikap Ryan, namun kesabaran Nara malam itu sangat terbatas.
Pelacur?!
Mendengar kata-kata itu Nara tersenyum sinis, namun air matanya mulai berjatuhan.