Pelarian

Annisa Tang
Chapter #4

Suratan Takdir

Di belakang Plaza Balikpapan, angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang khas. Langit senja mulai memerah, menciptakan pemandangan indah yang seakan hanya ada dalam mimpi. Nara berdiri di pinggir pantai, menatap ombak yang berkejaran menuju pantai dengan rasa gugup. Dia menanti kehadiran seseorang yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan cinta.

Andi datang dari kejauhan, langkahnya mantap namun perlahan. Melihat Nara yang berdiri dengan anggun di bawah sinar matahari senja, hatinya berdegup lebih kencang. Seiring langkahnya mendekat, kenangan lama berputar kembali di benaknya, memutar kembali hari-hari penuh tawa dan canda mereka. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi salah satu momen penting dalam hidupnya.

"Nara," sapa Andi dengan suara lembut, menyadarkan Nara dari lamunannya.

"Hai Ndi," balas Nara, tersenyum penuh kehangatan.

Mereka berjalan beriringan, menyusuri pantai yang semakin sepi. Ombak mengiringi langkah mereka, seakan mengerti betapa banyak perasaan yang ingin mereka ungkapkan. Senja semakin memerah, seolah ikut merasakan getar hati mereka yang dipenuhi kenangan.

"Nara, kamu masih ingat nggak waktu kita dulu janjian ikut jalan santai di sini?" Andi memulai, suaranya mengandung kehangatan nostalgia.

Nara tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca-kaca. "Tentu saja, waktu itu aku datang dengan sepupuku dan kamu datang dengan sepupumu, suasana jadi canggung, kita tidak tahu mau berbicara apa karena ada mereka."

"Tapi itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku," kata Andi sambil tersenyum. "Sejak hari itu, kita selalu saling berkirim pesan. Kita juga jadi sering janjian jalan bareng kan? Kamu pasti ingat waktu kita pergi bareng ke nikahan Luna. Mamamu bilang kalau aku calon mantunya."

Nara tertawa, mengikuti Andi yang juga tertawa usai mengatakan itu, namun lalu matanya berbinar mengenang masa lalu. "Dan kamu pernah bermain lagu favoritku, Close to You. Itu membuatku jatuh cinta padamu setiap kali."

Andi tersenyum, matanya menatap jauh ke laut. "Aku selalu berusaha membuatmu bahagia, Nara. Momen-momen itu adalah kenangan yang tak akan pernah kulupakan."

Suasana hening sejenak, hanya suara ombak yang terdengar, menambah keindahan suasana senja itu. Nara akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang telah lama mengganjal di hatinya.

"Andi, apakah kamu pernah tahu bahwa sejak awal aku selalu memperhatikanmu?" Nara menatap Andi dengan mata yang penuh harapan.

Andi terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Aku tahu, Nara. Aku juga selalu memperhatikanmu. Karena itu pula aku tidak paham kenapa kamu memutuskan untuk menjauhiku, Nara. Bahkan kamu tiba-tiba berpacaran dengan pria lain."

Nara menghela napas berat, “Aku putus asa, Ndi. Malam itu kamu tidak membalas pesanku, padahal kamu janji untuk menjemputku.”

Andi memukul-mukul pelan kepalanya sendiri dengan penuh penyesalan.

“Aku berpikir, foto perempuan yang ada di sosmedmu itu adalah alasan kamu tidak bisa menemuiku pada malam itu, jadi aku menggantikan pertemuan kita itu dengan bertemu kawan-kawan sekolahku dulu. Salah satunya Ryan. Itu awal mula kami bertemu lagi dan kemudian menjalin hubungan,” setelah mengatakannya tanpa jeda, Nara tertawa kecil.

“Dia Lala, kekasihku waktu masih kuliah dulu. Kan aku sudah katakan padamu Nar, alasanku tidak bisa menjemputmu pada malam itu,” Andi menatap wajah Nara lekat, tak percaya dengan pemikiran wanita yang dia sukai itu.

“Mana ada sih Ndi, lelaki yang bakal jujur kalau dia tidak menjemput wanita yang sedang dia dekati karena ada wanita lain yang mesti dijaga hatinya,” sahut Nara sambil membalas tatapan Andi.

Mata Andi berkaca-kaca dan bertanya pada Nara, “Apa dalam pandanganmu, aku adalah orang yang seperti itu?”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hati Nara berdebar kencang, ingin mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. "Andi, sebenarnya aku sudah putus dengan Ryan," ungkap Nara dengan suara lirih, penuh rasa harap.

Andi terkejut, matanya menatap dalam ke mata Nara. "Benarkah? Kapan itu terjadi?"

Nara menghela napas panjang sebelum menjawab. "Baru saja. Hubungan kami sudah tidak sehat lagi. Aku merasa terkurung dan tidak bahagia."

Lihat selengkapnya