Nara menatap undangan pernikahan yang tergeletak di meja makan dengan pandangan lelah. Orang tuanya sudah sejak pagi mendesaknya untuk ikut menghadiri pernikahan sepupu jauh mereka di sebuah gedung mewah di pinggiran kota. Namun, hati Nara terasa enggan. Rasanya semua energi dalam dirinya tersedot habis hanya dengan membayangkan harus menghadapi senyum-senyum basa-basi, percakapan kosong, dan serangkaian tatapan penasaran yang bertanya-tanya kenapa ia masih sendiri.
"Nak, ayo siap-siap. Kita harus segera berangkat," seru ibunya dari ruang tamu.
Nara menghela napas panjang. "Aku bisa nggak ikut, Ma?" tanyanya setengah berharap ibunya akan menyerah dan membiarkannya tinggal di rumah.
Namun, ibunya tak mau kalah. "Kamu harus datang, Nar. Ini sepupu kamu, keluarga besar kita. Nggak baik kalau kamu nggak hadir."
Dengan berat hati, Nara pun beranjak dari kursi. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah menuju lemari pakaian menjadi beban yang tak tertanggungkan. Pikirannya berputar-putar, bertanya-tanya apakah dia benar-benar harus melewati hari ini. Tapi, akhirnya, seperti biasa, ia tak mampu menolak keinginan orang tuanya. Lagipula, apa salahnya memenuhi undangan ini? Paling tidak, ia bisa menyelinap ke sudut ruangan dan menghindari obrolan yang tak diinginkannya.
“Nar, kamu pakai gaun ini ya?”
Baru saja Nara mau mengambil dress hitam yang biasa dia kenakan ketika ada acara kantor, ibunya datang membawakan gaun halter neck duyung bling-bling berwarna abu-abu yang elegan. Masih tergantung price tag pada label bajunya.
Nara mendesah. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian, terutama saat suasana hatinya sedang kurang baik, tapi kata-kata ibunya adalah perintah yang tak terbantahkan. Apalagi baju itu dibelikan khusus untuknya menghadiri pernikahan sepupunya. Nara terpaksa harus membiarkan dirinya terjebak dalam pendar halus yang berkilauan pada setiap lipatan kain gaun yang dia kenakan, membuatnya menjadi pusat perhatian yang tak terelakkan di tengah cahaya.
Suara riuh tamu undangan memenuhi ruangan resepsi yang megah. Lampu kristal berkilauan di langit-langit, menciptakan suasana yang meriah. Nara berdiri di sudut ruangan, memperhatikan sekeliling dengan senyum lembut. Dia merasa sedikit canggung di tengah keramaian, tetapi tetap berusaha menikmati acara.
Riana, adik sepupunya, menikah. Acaranya diadakan di sebuah Gedung dengan dekorasi yang sangat elegan. Suara sexophone dari pemainnya yang melantun tinggi dan tajam menggema ke seluruh ruangan, menambah suasana yang khidmat.
Kedua orang tuanya terlihat asyik bercengkerama dengan kerabat-kerabat mereka dalam kesempatan itu, sementara Nara berusaha menyingkir dari sorotan-sorotan tajam cahaya dan wajah-wajah asing yang tengah menatapnya.
Saat itulah seorang pemuda mendekat, dengan senyum yang lebar menghiasi wajahnya. "Nara! Lama tidak bertemu," sapanya dengan suara riang.
Nara menoleh dan matanya membesar melihat Rio, sepupu jauhnya yang terakhir kali ditemui saat mereka masih kecil. "Rio? Kamu sudah besar sekarang!" Nara tertawa, merasa lega melihat wajah yang dikenal di tengah keramaian.
Mendengar kata-kata Nara, wajah Rio memerah, matanya melirik ke segala arah. "Ah kamu. Jangan kencang-kencang ngomongnya.”
“Oops, ada yang salah ya dengan kata-kataku?” Nara buru-buru menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan.
“Jangan selalu menunjukkan kau lebih tua dariku, Nar.” Rio menekan pelipis Nara dengan jari telunjuknya.
Nara menghembuskan napas lega, “Astaga Yo, kamu kan memang lebih muda dua tahun dari aku.”
Rio sewot. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada lalu menyombongkan diri. “Memangnya kenapa kalau lebih muda dua tahun? Nyatanya sekarang tinggiku melebihi 15 centi dari kamu. Lebih cocok aku jadi abang, daripada jadi adikmu.”