Musik instrumental hasil perpaduan piano dan biola mengalun lembut. Di satu sudut, berdiri seorang perempuan mengenakan jubah panjang berwarna kuning keemasan. Pada rambut yang terurai sebahu, ia memakai mahkota ikat yang melingkar dari dahi hingga kepala bagian belakang. Cahaya kekuningan yang tersorot dari sebuah lampu membuat penampilannya makin menakjubkan. Saat tempo musik melambat, ia mengucap sepenggal kalimat dari penyair favoritnya.
“Jika kau dapat bertemu dengan jati dirimu meski hanya sekali, maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu. Wajah dari Yang Maha Tersembunyi, yang ada di luar alam semesta ini, akan nampak pada cermin persepsimu.” Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Jalaluddin Rumi.”
Perempuan itu bersiap melanjutkan kalimat, namun wajahnya mendadak tegang saat seseorang meneriakkan namanya.
“Bia!”
Bia segera melakukan hal-hal ini dengan tempo super cepat: mematikan pengeras suara yang sejak tadi memutar musik, melepas ikatan jubah yang melingkar di leher, melepas ikatan mahkota di kepala belakang, mematikan lampu sorot, lalu terakhir membuka korden jendela. Dan sekarang jelas sudah ia sedang berada dimana: kamarnya. Satu-satunya ruang yang menurutnya bisa digunakan untuk menunjukkan dirinya yang sesungguhnya.
“Bia!” Suara itu terdengar lagi dengan volume yang lebih tinggi.
Bia memasukkan mahkota ke sebuah kotak lalu menyimpannya ke dalam lemari. Mahkota itu adalah benda miliknya yang paling berharga. Pemberian papanya yang terakhir kali ia lihat tiga belas tahun lalu.
Papa menghadiahkan mahkota ikat itu saat ulang tahunnya yang keenam. Malam harinya, di depan keluarga besar ia memakai mahkota itu dan membaca puisi untuk pertama kali. Sejak saat itulah ia tahu apa cita-cita yang kelak ingin ia wujudkan: menjadi aktris.
Sayangnya cita-cita itu hanya bertahan, atau lebih tepatnya ‘hanya boleh bertahan’ selama satu tahun. Setahun setelah ulang tahunnya itu, Papa meninggalkan Bia dan ibunya. Berdasarkan apa yang dikatakan ibunya, Papa lebih memilih mengejar karir sebagai aktor daripada mengurus keluarga. Meski ibunya sudah memberitahukan alasan itu, dalam hatinya Bia masih percaya, pasti ada hal lain yang melatarbelakangi keputusan Papa. Namun sampai sekarang Bia tidak tahu dugaannya itu benar atau tidak. Yang Bia tahu, akibat kepergian Papa ia harus susah payah menyembunyikan kecintaannya pada akting. Sebab sejak saat itu ibunya menegaskan agar ia menjauhi segala hal yang berhubungan dengan akting.
Bia mengganti bajunya dengan blus lengan pendek berhias renda pada bagian leher. Memakai sepatu converse 1970s high warna black egret. Kemudian bergegas menuju depan cermin untuk mengamati penampilan. Bia memang selalu begitu. Memastikan penampilan adalah hal penting yang tidak boleh dilupakan.
“Bia!”
Pada panggilan ketiga, Bia menyambar jaket kuning dan tas ransel hitam dari gantungan. Saat membuka pintu dan bersiap keluar, ia teringat sesuatu. Seketika ia kembali berlari ke dalam dan yang ia lakukan: menutup kembali korden jendela. Menutup korden memang beberapa kali ia lupakan, tapi ada satu hal lain yang tidak pernah lupa karena itu adalah pekerjaan wajib sebelum keluar rumah: mengunci pintu kamar. Ia memang sedang berada di rumahnya sendiri. Tapi kamar itu adalah istananya. Tidak ada satu orang pun yang boleh masuk tanpa izinnya, termasuk ibunya sendiri.
Bu Desi, ibunya Bia, sedang duduk di meja makan dengan masih menggunakan seragam. Meskipun Bu Desi sudah jadi perawat senior, jatah kerja shift malamnya tidak pernah berkurang. Sebetulnya ia tidak begitu suka pada shift malam, karena jam kerjanya lebih panjang daripada shift pagi atau sore.
“Tumben jam tujuh sudah pulang?” tanya Bia.
“Tadi izin pulang lebih cepat. Harus ketemu Om Ian sebelum dia berangkat kerja.”
Om Ian itu kakak kandung Bu Desi yang berprofesi sebagai psikiater. Menurut Bia, Om Ian adalah satu-satunya manusia di bumi yang bisa memahaminya dan selalu jadi pendengar terbaik bagi segala keluh kesahnya.
“Ini apa?” tanya Bia saat melihat bungkusan yang belum di buka.
“Bubur ayam.”
Bia duduk dan menuang air putih. Bu Desi membuka bungkusannya dan mulai makan.
“Kamu ngapain tadi? Harus dipanggil tiga kali baru keluar.”
“Ya, lagi siap-siap,” jawab Bia berusaha tenang.
“Mama nggak mau lihat kamu akting-aktingan lagi ya, Bi.”
“Siapa yang akting?”
“Mama dengar suara kamu,” sahut Bu Desi ketus.
“Bia sudah dua puluh tahun, tapi Mama memperlakukan Bia seperti anak umur tujuh tahun. Lagi pula kita kan sudah sepakat. Kamar Bia itu wilayah kekuasaan Bia sepenuhnya. Jadi terserah Bia mau ngapain di situ.”
“Dan kita juga sudah sepakat kalau kamu nggak akan dekat-dekat sama hal-hal yang berhubungan dengan akting.”
Suasana meja makan mulai memanas.