Pukul sembilan pagi. Melalui celah-celah korden jendela, cahaya matahari masuk ke kamar kos berukuran 4 x 3 meter dan berhasil membangunkan laki-laki yang sedang meringkuk di kasurnya itu saking silaunya. Laki-laki itu berusaha menutupi mata dengan selimut, tapi suara gaduh dari dering ponsel makin menggagalkan niatnya untuk kembali tidur. Dengan penuh rasa malas ia menggapai-gapai ponsel yang ada di atas meja. Tanpa melihat siapa yang tengah menelepon ia segera memencet tombol terima.
“Saga!” bentak suara di seberang sana.
Saga masih berusaha mendapatkan kesadarannya, sedangkan suara di seberang itu sudah nyerocos tanpa henti.
“Kamu gimana, sih? Kan aku udah bilang jemput jam sembilan.”
Seketika Saga bangun dan melihat jam tangannya di meja. Mati aku, pikirnya.
“Aku nggak mau tahu. Pokoknya lima belas menit lagi kamu harus sudah sampai di depan rumah.” Sejenak sunyi, lalu suara itu kembali membentak, “Saga! Kamu dengar nggak, sih?”
“Iya.”
Telepon ditutup. Kacau sudah pagi Saga kali itu. Yang baru saja telepon itu Ava, pacarnya yang kalau sudah punya kemauan tidak bisa dinego-nego lagi. Dan kalau Ava sudah memanggil Saga dengan menyebut namanya, itu berarti Ava sudah mencapai batas kesabarannya. Sebab biasanya ia memanggil Saga dengan sebutan ‘Sayang’.
Saga sampai di depan rumah Ava dengan disambut rentetan kalimat protes. Saga meminta maaf dan menjelaskan kenapa ia sampai terlambat untuk menjemput. Masih dengan muka cemberut Ava naik ke motor dan menyebutkan tempat yang akan mereka tuju untuk sarapan.
Sebetulnya Saga ingat betul kalau hari itu harus menjemput Ava, menemani sarapan, lalu mengantar ke tempat kerja. Tapi Saga baru sampai kos pukul lima pagi dan matanya tidak bisa dipertahankan untuk tetap terjaga.
“Kamu ada kuliah?” tanya Ava di sela suapan.
Saga mengangguk.
“Sampai jam berapa?”
“Sore kayaknya.”