Darmawangsa International High School
Maaf, saldo Anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi ini ....
Pesan di layar ATM itu terus membayang di kacamata silindernya. Meledek. Huh, bisanya cuma minta maaf, rutuk Megan dalam hati. Mestinya kartu ATM dibuat cerdas, bisa kasih peringatan saat digunakan membayar. Menyala dan berbunyi sekalian. Warning, warning, saldo tinggal buat SPP, jangan dipakai yang lain.
Tanpa alarm, ia merasa aman-aman saja pakai autodebet untuk belanja buku dan peralatan gambar dua minggu lalu, kemudian lupa. Sekarang, saat ia perlu uang tunai, baru deh, dibikin shock. Cuma selembar seratus ribuan yang bisa diambil. Sampai ia harus memeriksa saldo dua kali, siapa tahu mesinnya eror.
Megan meninggalkan galeri ATM di basemen dengan kepala pening. Jantungnya terasa bekerja terlalu keras sampai kaki dan tangannya lemas. Rasanya enggak sanggup kalau harus naik tangga ke kelasnya. Sekali ini saja deh, pakai lift untuk difabel. Ia bersandar di dinding kabin yang membawanya ke lantai dua. Teman-teman pasti masih ngomongin hadiah ulang tahun kejutan buat Miss Mala, wali kelas mereka. Sambil menunggu bendahara kelas mengambil dana kas. Siapa bendahara kelas?
Dirinya. Megan Naja Nitisara. Dipilih secara aklamasi karena ia jago matematika dan enggak punya banyak duit pribadi, jadi kecil kemungkinan tercampur. Begitu alasan teman-teman. Konyol.
Mereka enggak tahu, justru karena pemasukan seret, uang kas juga sudah habis ia pinjam untuk membeli buku bulan lalu. Megan berniat menggantinya dengan uang SPP. Dan, SPP akan ia bayar dengan uang dari Tante Naura. Tante menjanjikan uang saku ekstra kalau nilai-nilai rapor bayangannya meningkat.
Ternyata nilainya jeblok, mengecewakan. Tidak ada ampun dari Tante, bonus melayang. Sekarang ia berutang pada kas, berutang uang SPP. Buku-buku tidak mungkin dijual lagi. Sebagian merupakan edisi langka dan sebagian lagi bertanda tangan penulis khusus untuknya.
Megan mengusap buliran keringat di dahi, menatap bayangannya pada cermin di dinding. Kacamata berbingkai hitam kontras menutup sebagian muka pucatnya. Rambutnya yang panjang bergelombang kusut karena banyak digaruk dalam perang emosi melawan ATM.
Sebentar lagi lift akan membuka di lantai dua. Mau bilang apa pada teman-teman sekelas?
Sori ya, uang kas habis aku pakai untuk keperluan pribadi. Tolong pinjami dulu. Kalian kan, banyak duit!
Megan menggeleng sendiri. Kalau begitu, selamanya ia enggak bakal bisa masuk kelas dengan kepala tegak lagi.
Maaf, ternyata kartu ATM-ku ketinggalan di rumah. Pakai uang kalian dulu, ya?
Bisa dipastikan akan ada usulan mampir ke rumahnya sebelum mereka pergi ke mal beli hadiah. Tidak. Jangan sampai Tante Naura tahu permasalahannya. Percuma juga. Tante enggak bakalan berbaik hati membayarkan utangnya. Pasti malah bilang begini, Meg, kamu enggak kapok juga? Boros lagi. Enggak perhitungan lagi. Selesaikan masalahmu sendiri. Pokoknya, waktu Tante bikin laporan bulanan ke ayah bundamu, urusan ini harus sudah beres. Kasihan mereka, kerja keras di kampung sementara anak sulungnya berfoya-foya di Bandung.
Astaga! Sejak kapan beli buku termasuk berfoya-foya? Iya sih, bukan buku pelajaran, sebagian besar novel. Tapi, tetap saja buku, beli sebanyak apa pun, enggak akan pernah cukup karena judulnya lain-lain, semuanya perlu dan layak koleksi.