Semakin dekat tujuan, semakin kacau detak jantung Rayn. Segala macam keramaian, terutama pesta ulang tahun, selalu membuatnya lemas melebihi dampak diare. Kenapa pula ia nekat? Rayn tidak kenal Jocelyn Xiao, cewek populer dari kelas 12, yang berulang tahun sekarang. Undangan ia dapatkan dari Arabelle Xiao, adik Jocelyn yang sekelas dengannya.
Rayn benci kehebohan yang ditimbulkan Arabelle tempo hari. Cewek itu punya sepuluh lembar undangan saja, sementara ada 30 orang di kelas. Harusnya dipilih secara diam-diam, enggak usahlah bikin kecemburuan sosial dengan seleksi enggak jelas. Rayn melipir ke bangkunya untuk lanjut membaca. Entah kenapa akhirnya ia terseret juga.
Rayn dipilih, Ardi tidak. Rayn menolak, Ardi pengin banget datang. Katanya, ini kesempatan bagus bertemu semua cewek cakep Darmawangsa. Rayn ingin memberikan undangannya kepada Ardi. Ardi malah bernegosiasi dengan Arabelle.
“Rayn dan Ardi itu sepaket. Kayak raja dengan patihnya. Kayak aktor dengan stuntman-nya. Kayak wizard dengan familiar-nya. Enggak bisa salah satu saja, Bel. RaynArdi atau tidak dua-duanya.”
“Aku enggak pengin datang,” Rayn berkata datar, mengembalikan undangan. Ia tahu yang mana Arabelle di kerumunan karena Ardi berdiri di depannya dan menyebutkan nama.
“Oke. Oke. Dua undangan. Tapi, kamu pastikan Rayn beneran datang! Awas kalau enggak,” Arabelle mengancam, yang dibalas Ardi dengan tawa bandel.
Rayn mendesah. Sekarang sudah separuh jalan menuju rumah Arabelle. Kalau ia mundur, entah apa yang bakal Ardi lakukan kepadanya. Enggak ada yang enggak mungkin buat patih, stuntman, sekaligus familiar-nya itu. Rayn jadi geli sendiri mengingat sahabatnya. Keresahannya berkurang. Ya, ia datang demi Ardi. Dan, Ardi akan ada di sana membantunya. Itu saja yang penting.
Mami tiba-tiba meraih tangannya, menggenggamnya sebentar, lalu kembali pada kemudi. “Jangan khawatir, Rayn. Kamu pasti bisa mengatasi situasi apa pun.”
Rayn tersenyum tipis. Mami is the best. Sejak Rayn dipastikan mengidap prosopagnosia, Mami membuat dirinya dikenali dengan banyak cara dan dari berbagai arah. Rambut digelung dengan tusuk konde bunga mawar, bros mawar besar di dada, parfum dengan wangi mawar lembut, pakaian dominan warna indigo, dan yang jelas, akan lebih dulu bersuara sambil menghampiri Rayn. Papi melakukan hal serupa, tentu saja versi maskulinnya. Tidak masalah tampilan jadi begitu-begitu saja demi putra tunggal mereka. Masa panik dan stres gara-gara kehilangan orang tua di keramaian pun sudah lama lewat.
Akan tetapi, di sekolah selalu beda cerita. Pakaian seragam saja sudah menyusahkan Rayn, apalagi kalau ada dandanan dan potongan rambut lagi happening. Penampilan teman-teman bisa begitu cepat berubah, senada pula, sebelum Rayn hafal ciri masing-masing. Hampir satu semester di kelas 10A, Rayn masih bergantung sepenuhnya pada petunjuk dari Ardi.
“Kayaknya itu deh, rumahnya.” Mami menepikan mobil. Membuka kaca jendela. Angin malam berembus masuk membawa debu dan asap jalanan tak kasatmata.
Rayn melongok melewati kepala Mami. Mengamati rumah mewah di seberang jalan. Halamannya terang dan ramai. Gerbangnya terbuka dengan antrean kendaraan yang hendak masuk. Tampak dua orang satpam memeriksa identitas dan undangan para tamu. Maklum, bapak Jocelyn orang penting di atase kebudayaan Tiongkok untuk Indonesia.
“Yakin enggak perlu diantar sampai dalam?” Mami menoleh kepadanya.
Rayn tertawa. “Atuhlah Mami, Rayn bukan anak SD lagi. Lebih cepat juga jalan kaki. Ardi pasti sudah nungguin di dalam. Katanya mau datang lebih awal.”
“Bagus kalau begitu.” Mami tersenyum. Papi bilang, senyum Mami cantik. Ke mana pun Papi pergi, pasti ingat senyum itu dan membuatnya rindu. Bagi Ryan, ia bisa lihat senyum Mami, tapi tidak ada bagian otak yang merekam senyum itu di memori lalu mengaitkannya dengan Mami. Seribu kali Mami tersenyum, seribu kali pula Rayn bisa melihatnya, tapi langsung terlewat begitu saja.
“Undangannya enggak kelupaan, kan?” tanya Mami, enggak pernah bosan tersenyum untuk Rayn.
“Ada kok. Kartu pelajar juga.” Rayn meringis, menepuk saku jasnya. Tapi, ia tidak segera beranjak, sampai Mami membelai pipinya.
“It’s okay. Penampilanmu perfect. So, have fun. Telepon Mami kalau sudah mau pulang. Papimu enggak bisa jemput karena bakal pulang telat dari Semarang.”
Rayn mencium pipi Mami. Lalu, turun dari mobil, menyeberang jalan, dan melewati security check tanpa masalah. Namun, begitu ia masuk, semua sensasi menyerbu indranya. Halaman dan bangunan begitu luas. Lampu sorot menyilaukan. Musik ingar bingar yang melatari suara-suara manusia. Aroma aneka masakan dari banyak stan. Wewangian campur aduk dari orang-orang yang berjalan melewatinya. Indra pencium dan pendengaran Rayn mendadak kebas, overloaded. Matanya bisa melihat orang-orang dengan pakaian pesta dan dandanan rambut berbeda, tapi semua asing baginya.
Ia terpaku. Jantungnya berdentam-dentam. Butuh Ardi sekarang juga.
Ponsel di saku celananya bergetar. Pasti Ardi mencarinya. Rayn menerima panggilan, sambil menyingkir dari arus tamu yang bergerak ke tempat pesta.
“Rayn! Kamu sudah di TKP?” Ardi berteriak. Rayn menjauhkan ponsel dari telinga. “Sori. Sori. Sori. Aku belum bisa berangkat, nemenin Jihan dulu sampai Ibu datang. Bentar lagi katanya. Tunggu ya. Jangan panik. Ingat saja trik yang kuajarkan. Kamu bakal baik-baik saja. Sudah ya, aku harus mengawasi Jihan. Itu anak apa bola bekel, sih! Hei ... hei, JIHAN! Jangan melompat-lompat! Aduh ....”
Rayn menelan ludah. Memegang ponsel erat-erat. Semakin mundur ke balik pilar. Ardi sudah memutuskan hubungan. Sabtu sore memang jadwal Bu Salwa memberikan les privat, mungkin terjebak macet di jalan. Sementara Jihan masih terlalu kecil untuk ditinggal sendiri di rumah. Tapi, berapa lama lagi Ardi akan sampai?
Rayn celingukan. Mungkin sebaiknya ia mencari tempat menunggu yang aman. Aman dari keharusan menyapa orang lain. Saat ini, ia berdiri di tengah beranda yang luas. Ada undakan ke bawah di kanan kirinya. Arus tamu datang dari sebelah kanan. Rayn pun berbalik ke kiri, relatif lebih sepi. Tapi, baru dua anak tangga ia turun, tiga orang tamu muncul dari arah sebaliknya. Satu cewek, dua cowok.
Rayn berhenti melangkah. Ingat trik Ardi.
Trik 1: Anggukkan kepala sambil tersenyum. Ini keramahan standar Indonesia.