Pagi ini, jalan belum sepenuhnya bangun dari kantuknya.
Embun masih menggantung malas di pucuk-pucuk rumput, sementara aku—dengan sepeda motor tua yang lebih sering batuk daripada melaju— menembus kabut menuju desa yang namanya hanya kudengar dari peta dan doa orang tuaku.
Namaku Danu. 27 tahun.
Dan hari ini adalah hari yang selalu kuimpikan... sejak dua pasang tangan yang kini telah tiada, pernah menggenggamku dan berbisik, “Jadilah guru, Nak. Bukan untuk dihormati, tapi untuk jadi pelita.”
Sepeda motor ini bukan hanya kendaraan. Ia adalah warisan.
Ia pernah dipakai bapak pergi kerja, membawa harapan dari desa ke kota.
Kini, aku mengendarainya ke arah sebaliknya—membawa ilmu, menuju anak-anak yang mungkin belum tahu cara mengeja masa depan.