Bangunan ini… tak lagi berbicara tentang ilmu, hanya tentang waktu yang terlalu lama diam.
Langit-langitnya mengelupas seperti kulit luka yang tak pernah sembuh.
Dindingnya berjamur, menyimpan bau basah dari tahun-tahun yang dilupakan.
Papan tulis penuh goresan kapur tua, dan meja kursi… lebih layak disebut kayu rongsokan daripada tempat belajar.
Tapi anehnya, aku tetap bahagia. Karena di tengah reruntuhan ini, masih ada tawa.
Tawa anak-anak yang seolah tak sadar bahwa dunia telah lama mengabaikan tempat ini.
Mereka tersenyum saat datang, berlarian meski sepatunya bolong, tertawa walau lututnya berdarah.
Aku tidak melihat kemiskinan di mata mereka, yang kulihat justru keberanian untuk terus hadir.
Dan itulah yang membuatku bertahan.